Realitas menunjukkan bahwa Madinah tersorot pada perbincangan dunia, terutama bagaimana negara ini diurus dengan sistem dan tata kelola yang belum dikenal sebelumnya dalam tatanan baru politik dunia pada waktu itu. Robert N. Bellah seorang sosiologi politik menyatakan bahwa bukan Amerika yang memulai pemerintahan demokratis, akan tetapi justru Nabi Muhammad telah melakukannya sejak 14 abad silam (Bellah, 2000:210).

Untuk memperkuat pernyataan  Robert N. Bellah, perlu dulu mengetahui hulu alasannya yang dimulai dari latar belakang hijrahnya Nabi ke Madinah. Hijrah berawal dari peristiwa perjanjian aqabah yang dilakukan sebanyak 2 kali. Perjanjian pertama terjadi saat musim haji, yaitu ketika 12 orang penduduk Yastrib datang ke Makkah untuk menunaikan haji. Mereka mendengar dari orang Yahudi Yastrib bahwa akan ada Nabi yang diutus pada masa itu

Mereka mengakui kerasulan Muhammad dan berjanji tidak akan meyekutukan Allah, tidak mencuri, berzina, membunuh, berdusta dan sebagainya yang mana perjanjian tersebut dikenal dengan Baiat Aqabah (perjanjian yang dilakukan di tempat yang bernama Aqabah). Ketika rombongan tersebut kembali ke Yastrib, Nabi mengutus Mus’ab bin Umair untuk menyertai mereka dan mengajarkan Islam di sana.

Pada musim haji berikutnya tahun 622 M, datang rombongan haji sebanyak 73 orang. Mereka bermaksud mengajak Nabi untuk segera hijrah ke Yastrib karena mereka mengakui Nabi sebagai pemimpin mereka, berjanji melindungi Nabi dan Kaum Muslimin. Selain itu, kedatangan Nabi juga dimaksudkan agar menjadi penengah diantara Kaum ‘Auz dan Khazraj yang selalu bertikai dan bermusuhan.

Akhirnya Nabi bersama Abu Bakar berhijrah dan tiba di Yastrib pada 16 Rabiul Awal/20 September 622 M. Setelah hijrah, Nabi mengganti nama Yastrib menjadi Madinah. Langkah pertama ynag dilakukan Nabi di Madinah adalah mengajarkan dan mengaplikasikan persaudaraan (mu’akhah) internal antara Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar demi kejayaan dan kemakmuran bersama dengan pijakan agama.

Sebagai kelanjutan dari “pembibitan” peradaban Islam dengan benteng keimanan sebagai kubu pertahanan yang kuat, Nabi mengarahkan pendekatan konstruktif dengan menginfakkan dana untuk pembangunan masjid. Di Quba, Nabi pertama kali mendirikan masjid sebagai konstruksi kelangsungan dakwah, lalu dilanjut dengan Masjid Nabawi. 

Selanjutnya berbagai langkah ditempuh untuk mendorong institusi masjid demi meningkatkan daya saingnya, termasuk menjadikannya pusat informasi, strategi pembinaan pemuda, pentaksiran hasil pertanian dan baitul mal, aktivitas keilmuan, markas tentara, dan pusat kesehatan serta dakwah.

Di Madinah, selain mejadi pemimpin agama, Nabi juga menjadi kepala negara. Untuk itu, langkah Nabi selanjutnya setelah mendirikan masjid adalah masuk pada ranah politik, yaitu mulai menyatukan penduduk Madinah yang heterogen dan sering terjadi permusuhan dan pertikaian antar suku. Nabi mengadakan suatu perjanjian hidup bersama secara damai antara kelompok muslim dengan kelompok yahudi yang dikenal dengan piagam Madinah.

Kelompok yang melakukan kesepakatan tersebut menurut Hasan Ibrahim Hasan diantaranya; Muhajirin (orang Islam yang hijrah dari Makkah), Anshar (orang Islam penduduk Madinah), Munafiqin (penduduk Madinah yang belum masuk Islam) dan orang Yahudi. 

Dalam butir perjanjian aqabah terlihat bahwa Nabi sangat bersikap demokratis dan jauh sekali dari nuansa otoriter dalam memimpin umatnya. Oleh karena itu dalam mengambil kebijakan politik, Nabi senantiasa meminta pertimbangan penduduk Madinah.

Konsultasi secara terbuka demi kepentingan bersama selalu terjalin dengan baik. Musyawarah adalah salah satu perintah Allah dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 159 dan musyawarah merupakan pilar demokrasi yang sangat prinsipil. Syekh Muhammad Abduh menyatakan bahwa ayat tersebut wajib hukumnya bagi setiap pemimpin muslim melaksanakan musyawarah. 

Pernyataan Muhammad Abduh itu sangat beralasan, karena tidak mungkin persatuan dan kekuatan terbangun jika pengambilan keputusan hanya dari satu pihak atau perorangan saja (Elwa, 1983:21).

Selain musyawarah, prinsip politik yang amat penting pada masa itu adalah persamaan dan keadilan. Kedudukan Rasulullah di sisi umat Islam sangat istimewa, akan tetapi beliau menyatakan bahwa “Saya ini manusia biasa seperti kamu juga, cuma kepadaku diberi wahyu”. 

Dalam pemerintahan yang demokratis tentu hal ini menjadi prinsip yang harus ditegakkan dalam pelayanan publik, pelaksanaan hukum, dan pemberian hak-hak yang semestinya diterima sesuai dengan kinerja dengan standar yang adil.

Oleh karena itu tidak berlaku nepotisme dan gratifikasi yang dapat membawa penyimpangan dalam pelayanan publik bagi seorang pemimpin. Sementara menurut ahli sejarah, dengan dideklarasikannya piagam Madinah, Nabi menjamin kebebasan beragama, menekankan persatuan dan kesatuan dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian. Langkah-langkah Nabi menurut Watt telah menciptakan situasi baru dalam memperkecil pertentangan antar suku.  

Para ahli mengakui keterpaduan tugas ini dalam diri Nabi Muhammad sebagai rasul dan kepala negara. H.A.R. Gibb menyatakan Agama Islam tidak hanya menyangkut agama semata, tetapi juga mampu membentuk masyarakat yang merdeka, lengkap dengan perangkat undang-undang dan sistem pemerintahan yang spesifik. 

Senada dengan itu, C.A. Nallino mengatakan bahwa selama hidupnya Muhammad telah sukses membangun Islam sebagai agama dan sebagai negara yang harmonis (Gibb dkk, 1983:23).

Menurut Billah, sistem politk tersebut adalah sesuatu yang terlampau maju dan tidak terbayangkan bagi masyarakat Arab abad ketujuh. Meskipun banyak para ahli politik dan pemikir muslim yang memuji pola pemerintahan demokratis Nabi, tapi ada beberapa kelompok muslim garis keras atau fundamentalisme yang belakangan ini berkembang terutama di Irak dan Suriah. 

Mereka menganggap bahwa pemerintahan yang di bangun oleh Nabi di Madinah sama sekali berlainan dengan demokrasi bahkan bertentangan dengan demokrasi itu. Mereka condong untuk menyuarakan dan mendirikan sistem negara khilafah.

Terlepas dari hal tersebut, Nabi dan al-Quran tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan tertentu. Nabi menyerahkan urusan tersebut pada umat, karena umat yang lebih mengetahui urusannya. Mengenai bentuk pemerintahan suatu bangsa, juga erat kaitannya dengan sejarah, kondisi, dan peristiwa yang mengiringi bangsa tesebut. Untuk itu bukan perdebatan bentuk negara, yang terpenting adalah kemaslahatan agar mengarah pada kesejahteraan umat.

Hal tersebut sejalan dengan Bangsa Indonesia yang heterogen dan majemuk, dimana sistem pemerintahannya sama dengan sistem pemerintahan Nabi yang demokratis dan tidak sesuai jika sistem khilafah diterapkan di sana. Elemen-elemen substansi demokrasi pada Nabi seperti musyawarah, persamaaan, keadilan, penghargaan HAM, dan lainnya sudah berhasil membangun masyarakat madani di Madinah dan menjadi inspirasi negara modern termasuk yang terjadi di Indonesia.