“Mudik” kata yang tampaknya sudah tidak asing lagi dalam telingga manusia bahkan bagi telinga gajah yang begitu lebarnya. Apalagi bagi mereka yang mempunyai julukan si perantau, julukan yang dianggap sebagai misi suci manusia dalam perjalanan hidupnya bahkan tak sedikit juga yang mengatakan merantau juga bisa membuat spiritual manusia lebih baik.

Sebelum mengkritisi bagaimana budaya mudik di negeri ini alangkah eloknya kita meninjau asal-usul mudik dari perspektif budaya. Di antara anda pasti bertanya apakah makna dari mudik itu? Apa sih pengertian mudik? Apakah ini merupakan kebiasaan ataupun rutinitas yang dilakukan oleh penduduk negeri ini.  Atau sebenarnya ada makna lain dibalik budaya mudik itu sendiri.

Ya, perayaan Idul Fitri di negeri ini memang tak terlepas dari budaya mudik, seolah-olah seperti bagian antara badan dan kepala yang tak terpisahkan jika diruntut dari akar keterkaitannya. Karena dua hal ini memanglah saling berkaitan yang hubungannya erat sekali, bak seperti sepasang kekasih yang tak mau dipisahkan gitu. Nggak kebayang!

Patut dicermati pula bahwa Idul Fitri dan budaya mudik mempunyai kedudukan yang berbeda. Kalau Idul Fitri berasal dari syariat agama. Berbeda dengan mudik karena, ia berasal dari budaya. Tetapi mudik sebagai hasil dari budaya sangat erat kaitannya dengan Idul Fitri. Karena momentum mudik hanya ada pada bulan Syawal pada saat kaum Muslimin merayakan Idul Fitri. Tidak ada kan mudik pada saat Idul Qurban, padahal itu juga hari raya juga.

Itulah dua hal yang saling berkaitan antara Idul Fitri dan budaya mudik itu sendiri. Bisa jadi budaya mudik tidak ada jika tidak ada hari raya Idul Fitri. Istilah mudik sendiri memang memiliki akar yang pengertian yang berbeda-beda seperti kepercayaan orang Betawi bahwa mudik artinya kembali ke udik. Seperti layaknya orang yang dari kota ke desa, bisa juga dikatakan orang yang dari hilir ke udik.

Dari akar itulah yang sekarang menjadi makna kata dalam serapan bahasa Indonesia. Kalau kita lihat dalam pendekatan epitemologisnya mudik berarti kembali ke udik, yang kemudian menjadi kata kerja. Tapi kalau dikaitkan ke dalam bentuk budayanya, maka sesungguhnya mereka punya kaitan yang sangat dalam hubungannya dengan mudik spritual.

Mudik spiritual pengertiannya bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan yang diciptakan dalam keadaan suci seperti yang tercantum dalam teks kitab suci agama. Manusia lahir dalam keadaan bersih tanpa memiliki dosa. Tetapi dalam perjalanannya, karena manusia dikuasai oleh nafsu, dikalahkan oleh hawa yang mendorong manusia untuk berbuat dosa, maka manusia menjadi kotor.

Jiwa manusia seolah pergi menjauh dari fitrahnya sebagai manusia yang bersih. Karena itu maka mudik spiritual itu artinya manusia kembali kepada titik nol. Seperti apa yang diiklankan Pertamina dalam layar kaca dalam setiap pengisian bahan bakar kendaraan dengan denga pelayannya yang bilang “Dimulai dari nol ya, Pak!”

Bahkan seperti dalam babak pertandingan sepakbola seperti skor kembali ke kosong-kosong yang sering banyak orang bilang dengan klaim perkataannya “Kita kembali ke kosong-kosongnya”. Yang tanpa kita sadari seolah kita mau bertanding lagi besok lusa dengan skor itu.

Kembali bersih sebagai jalan mudik spritual dengan tujuan menjadi pribadi-pribadi yang bersih secara spiritual dengan catatan manusia menjalankan ibadah-ibadahnya selama bulan Ramadan. Menunaikan puasa, membayar zakat fitrah, mengkaji kitab suci atau lebih populernya tadarrus, hinga melakukan sholat malamnya dan ibadah-ibadah yang lainnya. Hal itu dalam rangka membersihkan jiwa, supaya manusia kembali kepada fitarahnya sebagai manusia.

Jika dilihat budaya mudik dengan pendekatan spiritual yang juga sesunggunya mempunyai nilai sosial. Seperti yang kita lihat banyak orang yang berbondong-bondong dari tempat ia bekerja, atau bahkan sudah menjadi tempat kediamannya ke kampung halamannya. Itulah kenapa mudik dikatakan kembali ke udik.

Menaruh contoh jika seorang perantau yang sudah lama merantau selama sepuluh tahun harus pulang ke kampung halamannya untuk ketemu dengan orangtua, keluarga bahkan saudara dengan rutin saat menjelang Idul Fitri. Mereka akan merayakan secuil kebahagiaan di kampung. Apakah hal ini perlu? Apa hal ini hanya bentuk meminta maaf si perantau kepada pihak orangtua, keluarga dan saudara karena kita sering berada di tanah rantau daripada di kampung halamannya.

Jika hanya meminta maaf apakah perlu datang jauh-jauh kembali ke kampung halaman padahal sekarang meminta maaf sudah bisa dengan entengnya bisa dengan menggunakan SMS, telepon, komunikasi chat di berbagai media sosial, bahkan bisa bertatap muka dengan video call telepon gengam yang pintar.

Kenapa budaya mudik perlu kita sibuk-sibuk agendakan bisa jadi kita lebih banyak berbuat salahnya dengan orang-orang yang berada di rantauan dari pada di kampung halaman. Lagi-lagi hanya karena masalah psikologislah si perantau ingin mengalami suasana yang berbeda ketika berada di tanah rantau dan mencoba menghibur diri di kampung halamannya.

Ya, seperti liburan begitu, jika pikiran sudah terlanjur buntu. Karena manusia memang sejatinya dalam hidup membutuhkan refseshing, rileks darii kejenuhan-kejenuhan yang dihadapi selama bekerja di rantauan. Dengan refresing dan rileks itulah, kemudian kita ingin merayakannya dengan orang-orang yang kita cintai.

Inilah yang dikatakan bahwa mudik itu merupakan suatu budaya dan momuntum yang melahirkan budaya itu adalah Idul Fitri. Karena itulah maka kemudian, kegiatan selama mudik mulai menyangkut bagaimana menu yang dihidangkan di hari raya selama budaya mudik berlangsung. Tentu jenis masakan antara satu daerah dengan yang lainnya berbeda.

Seperti mudiknya orang Jawa dan orang Jakarta tentu berbeda, misalnya orang Jawa ketika hari raya harus ada makanan ketupat, yang mempunyai makna filosofinya yang sangat dalam ketupat yang lebih sering disebut dalam Jawanya “kupat”. Adalah bentuk apresiasi aku lepat, artinya bahwa ia mengaku kalau dirinya salah. Sehingga ia mengakui bahwa ia pernah berbuat salah dan ia meminta maaf terhadap sesama baik itu orangtua, keluarga, bahkan saudara.

Berkaca pada rentetan di atas untuk kembalinya si perantau ke kampung halaman menjelang waktu lebaran atau sering disebut dengan hari raya Idul Fitri. Apakah harus berbondong-bondong dengan membawa semua keluarganya pulang ke kampung seperti halnya pengungsi dalam kejadian bencana alam.

Kalau kita lihat budaya mudik seolah sudah menghegemoni tata tertib kondisi sebuah struktur masyarakat yang dalam hal ini terjadi bentuk ketidakseimbangan, terjadi bentuk ketimpangan dari masyarakat itu. Ditambah lagi hal ini membuat jalanan jadi dipadati mereka yang mudik ke kampung halaman secara bersamaan menjadikan jalanan penuh sesak, masalah dan polusi yang mengancam keselamatan manusia itu sendiri.

Apakah tidak bisa diatur waktunya untuk mudik secara bergantian, agar tidak terjadinya kemacetan panjang yang menuntut banyak pihak untuk mengatasinya, hingga media pun dari tahun ke tahun jika lebaran berlangsung terus memberitakan mudik itu. Mungkin itu perlu, agar masyarakat tahu bagaimana hal terjadi di sekelilingnya. Tapi tampaknya kurang efektif pula jika hal itu terus diritakan berjam-jam bahkan berhari-hari pula.

Sebagai pribadi yang berpikiran visioner, yaitu orang yang memiliki pikiran jauh ke depan. Bukan berarti saya sombong, loh mempunyai pikiran yang sok visioner. Jelasnya saya tidak menggunjing mereka yang tetap bersikukuh mudik meski harus menuggu satu minggu di jalan, melembur kerja demi dapat THR di tempat kerjanya, bahkan tak jarang juga yang mengemis dengan bosnya tanpa bersipu malu.

Hal itu kamu lakukan demi sebuah budaya yang terlanjur nenek moyang kita lakukan yaitu budaya mudik. Dan bisa jadi budaya mudik ini hanya ada di negeri ini, jika ditinggalkan serasa berbuat dosa gitu. Selamat mudiklah, semoga anda menjadi orang terdidik karena kesabaran anda menempuh ribuan kilometer dengan berjalan siputnya demi menemui orang tercinta, baik orangtua, keluaraga maupun saudara dan keluarga.