Mudik menjadi ritus lebaran di Nusantara. Selain itu, ada pula budaya halalbihalal. 

Bagi yang tidak bisa mudik dan tidak bisa bersua, halalbihalal tetap berlangsung menggunakan berbagai media. Dahulu banyak digunakan surat, kartu ucapan, hingga telepon. Kini berkembang melalui SMS, WA, Video Call, YouTube, dan media sosial lainnya.

Kesakralan tertinggi tentu ada pada tatap muka langsung. Disusul kemudian menggunakan budaya kertas, baik surat maupun kartu ucapan. 

Budaya kertas menuntut kesungguhan melalui tulisan. Begitu pula membalasnya. Ada ruang dan waktu yang meyakinkan ketulusan dan sampainya interaksi dari hati ke hati. Sedangkan kini cenderung terjadi distorsi.

Distorsi sastra terjadi seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Misalnya saja terkait momentum lebaran. Halalbihalal kini cenderung lebih ramai di jagat media sosial daripada faktual. 

Narasi maaf memaafkan juga secara instan mudah dilakukan melalui metode copy paste. Tidak ada yang salah. Namun jika dibiarkan begitu saja, bukan tidak mungkin akan menggerus ritus dan mengkhawatirkan bagi kelestarian sastra lebaran.

Harapan pelestarian sastra religius seperti saat momentum Lebaran berada di pundak generasi muda. Kaum muda memiliki jiwa menggelora sekaligus penuh romantika. Jiwanya berapi-api, namun di sisi lain juga mudah berbunga-bunga. Salah satunya karena sentuhan sastra. Kaum muda dekat dengan sastra, baik sebagai produsen maupun konsumennya.

Keberadaan dan peran pondok pesantren dan santri menjadi pelengkap khasanah Islam di nusantara. Santri menjadi sumber sekaligus pelestari khasanah budaya dan sastra berbalut spiritualisme. Produk sastra dari santri atau alumni santri telah bertebaran dalam blantika budaya nusantara.

Spiritualitas Sastra 

Sastra dan budaya erat kaitannya dengan ritual dan spiritual. Karya sastra selalu mengikuti dan menjadi penanda historis dinamika spiritual. Isinya pun membuka ruang pada ungkapan dan lantunan spritualitas. Misalnya sastra lebaran.

Perjalanan lebaran dari waktu ke waktu selalu tertangkap sejarah dan karya sastra. Sayangnya sastra seputar lebaran cenderung mengalami dilema akibat degradasi kualitas. Hal ini seiring dengan perkembangan teknologi informasi.

Salamun (1954) menerangkan, kata “Lebaran” berasal dari tradisi Hindu yang berarti “selesai, usai, atau habis”. Artinya, menandakan habisnya masa puasa. 

Para wali memperkenalkan istilah Lebaran agar umat Hindu yang baru masuk Islam saat itu tidak merasa asing dengan agama yang baru dianutnya. Hal ini diperkuat budayawan Umar Khayam yang menyatakan tradisi Lebaran menunjukkan hasil terobosan akulturasi antara budaya Jawa dan Islam.

Karya sastra lebaran yang berkualitas masih cenderung elitis dimiliki sastrawan. Kuantitas dan kualitasnya pun ditengarai menurun drastis. Dahulu muncul sastra lebaran fenomenal karya budayawan Umar Kayam. Cerpennya yang berjudul “Menjelang Lebaran” menghadirkan sebuah ironi, yaitu sebuah kedukaan menjelang hari lebaran (Widiyanti, 2012).

Puisi lebaran yang monumental juga pernah tercipta oleh seorang sastrawan bernama Sitor Situmoran. Puisinya berjudul “Malam Lebaran” sangat pendek, hanya terdiri dari satu kalimat yang disusun dalam dua baris, yaitu “Bulan...di atas kuburan”. 

Pembaca dan bahkan kritikus sastra repot untuk membaca dan menilai puisi “Malam Lebaran” karena konstruksi teks pendek dan simbolis (Patria, 2003). Lebaran pasti jatuh pada awal bulan dan tidak mungkin rembulan terlihat kasat mata. Sedangkan Effendi (2016) menganalisis bahwa Sitor sedang melakukan pembalikan kata dalam memainkan imajinya.

Sastra lebaran lain dalam bentuk puisi yang terkenal masih banyak lagi. Antara lain karya Gus Mus berjudul “selamat idul fitri”, karya Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Idul Fitri”, dan lainnya.

Budayawan senior yang lahir dari pondok pesantren, antara lain Cak Nun, Gus Mus, Ahmad Fuadi, Kang Abik, dan lainnya. Karya kalangan santri juga kerap menghiasi media dalam bentuk cerpen, esai, atau novel.

Peran Melestarikan

Sastra memegang peran vital dalam dinamika tradisi. Effendi (2016) menekankan urgensi membaca baca karya-karya sastra sebagai salah satu cara untuk menggali kedalaman bahasa sastra yang ada di Alquran.

Karya sastra religius penting mendapatkan apresiasi melalui upaya pelestarian. Sastrawan dan budayawan era kekinian mendapatkan tantangan menghasilkan karya berbobot seperti pendahulunya. Selain itu, perlu upaya membumikan ke khalayak awam agar mampu tercerna hingga mendapatkan apresiasi produktif dan aplikatif.

Kurikulum pondok pesantren penting mengakomodasi sastra dan budaya secara optimal. Penggalian sastra mulai dari Timur Tengah hingga nusantara penting dilakukan. Santri penting dikembangkan bakat sastranya serta peran pelestariannya.

Karya sastra santri membutuhkan panggung. Media, ruang, dan even budaya penting diperbanyak guna menampung segudang karya. Pemerintah penting melakukan fasilitasi. Media massa juga perlu melirik karya santri.

Regenerasi sastrawan juga penting melalui penampilan karya anak-anak muda seperti santri. Mereka membutuhkan jam terbang. Sanggar-sanggar seni budaya penting dikembangkan di tengah masyarakat umum. Motivasi membumikan sastra lebaran dapat menjadi proyek awalan.

Sastra religius merupakan bagian kecil dari sastra tematik. Karya sastra tidak sekadar untuk dinikmati keindahan bahasanya. Namun, perlu penghayatan hingga menjadi bahan yang aplikatif bagi semua sendi kehidupan. Karya sastra dapat menjadi lontaran kritik, refleksi, usulan, dan lainnya.

Hal terpenting elitisme karya sastra dan sastrawan mesti diminimalisasi. Publik penting menjadi prioritas agar bisa meresapi isinya. 

Bagi santri, sastra dapat menjadi media dakwah kontemporer yang efektif. Gus Mus, Cak Nun, Kang Abik, dan lainnya dapat menjadi teladan dalam upaya melestarikan dan mengembangkan sastra religius. Pondok pesantren dapat menjadi pusat budaya dalam upaya pelestarian tersebut.