Waktu itu hari Senin. Banyak dari kita sedang sibuk masuk ke suasana kerja setelah hari libur mingguan. Di tengah kesibukan itu pula Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan mengumumkan bahwa seorang Brigpol berinisial J telah tewas tertembak dalam insiden baku tembak antar polisi di kediaman seorang Jenderal yang mengisi jabatan Kadiv Propam Polri.
"Yang jelas begini ya, itu benar melakukan pelecehan dan menodongkan senjata dengan pistol ke kepala istri Kadiv Propam itu benar," kata Ramadhan saat memberi keterangan kepada wartawan.
Konferensi pers ini adalah laku lumrah Humas Polri ketika ada suatu kasus. Di sana kasus diterangkan, kronologi diungkap, motif dipaparkan, modus dijelaskan sejelas-jelasnya. Bagi Ramadhan, kesimpulan yang dipaparkannya merupakan hasil dari olah tempat kejadian perkara (TKP) serta hasil pemeriksaan sejumlah saksi.
Saksi yang dimaksud adalah Bharada E (Penembak) dan Istri Kadiv Propam. Ramai lah diperbincangkan bahwa seorang istri Jenderal telah dilecehkan oleh supir pribadinya sendiri, oleh Polisi yang ditugaskan untuk mengawalnya.
Kronologi dipaparkan demikian; Brigadir J memasuki kamar Kadiv Propam dan diduga melecehkan istri Jenderal tersebut. Di sana tak ada Jenderal. Ketika tersadar, istri Kadiv Propam langsung berteriak minta tolong dan Brigadir J menodongkan senjatanya karena panik. Dari luar kamar, ia mendengar langkah kaki dari pengawal yang lain, Bharada E.
Bharada E yang mendengar teriakan permintaan tolong dari istri sang Jenderal secara responsif berlari menuju lokasi kejadian. Sesampainya di lokasi, Bharada E bertanya kepada Brigadir J tentang apa yang terjadi. Kepanikan yang berkecamuk di dalam diri Brigadir J kemudian memicunya melepaskan sejumlah tembakan ke arah Bharada E yang sedang berdiri di depan kamar.
Tapi Bharada E memang lincah, dia berhasil menghindar dan entah bagaimana Bharada E berhasil naik ke atas dan bersembunyi di balik tangga. Sehingga medan tembak-menembak dikuasai oleh Bharada E dan pada tubuh Brigadir J setidaknya bersarang 5 peluru. Sementara pada Bharada E, bersarang semacam traumatik. Tubuh sehat, tapi membutuhkan perlindungan dari LPSK.
Bagi saya sangat wajar jika Bharada E mengalami traumatik, sebab yang ditembaknya adalah seniornya sendiri--sosok yang dikenalnya sebagai orang dekat Jenderal sekaligus supir Ibu Kadiv.
Penjelasan 11 Juli itu ditutup dengan pernyataan Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Budhi Herdi Susianto yang mengatakan bahwa status Bharada E masih sebagai saksi dalam kasus penembakan tersebut, sebab belum ada bukti yang mendukung ke arah peningkatan status menjadi tersangka. Dirinya juga mengatakan bahwa setidaknya telah diperiksa 4 orang saksi atas kejadian tersebut.
Mengutip kata Karo Penmas Divisi Humas Polri, "Yang jelas begini ya...," tapi memang kasus ini belum demikian jelas, belum terang dan menyisakan banyak pertanyaan publik.
Sejumlah Persoalan
Ada sejumlah persoalan dalam upaya mengungkap kasus kematian Brigadir J ini. Sejumlah soal ini kemudian menjadi pemantik bagi riuhnya tanda tanya dan spekulasi publik mengenai saling tembak yang mengakibatkan kematian ini.
Pertama bahwa saling tembak yang berujung kematian Brigadir J ini terjadi pada hari Jum'at 8 Juli 2022 dan baru diumumkan kepada media pada Senin 11 Juli 2022. Rentang waktu dari kejadian hingga pengumuman menimbulkan tanda tanya tentang apa yang dilakukan Polres Metro Jakarta Selatan selama dua hari tersebut?
Kedua, Kapolres Metro Jakarta Selatan dengan kewenangan yang dimilikinya melakukan olah TKP dan mengautopsi Jenazah sebelum kejadian diumumkan. Autopsi dilakukan tanpa sepengetahuan keluarga Brigadir J, bahkan adiknya yang juga seorang polisi di Mabes Polri dilarang untuk melihat jenazah, alih-alih mengikuti proses autopsi.
Ketiga, Locus Delicti kasus ini terjadi di rumah singgah salah satu pejabat di tubuh instansi Polri, sehingga kekaburan sekecil apapun akan menjadi pertanyaan besar bagi publik.
Keempat, beberapa hari setelah diumumkan ke publik, terjadi pertemuan antara Irjen Pol Ferdy Sambo dengan Kapolda Metro Muhammad Fadhil Imran, di mana pertemuan tersebut di/ter-publish sedemikian rupa, sehingga publik membacanya sebagai perkara di depan panggung dan karenanya publik mencium aroma kuat dari belakang panggung.
Yang keempat ini belakangan menimbulkan sejumlah kritik pedas dari para pengamat, aktivis HAM bahkan simpatisan FPI yang masih punya ingatan kuat mengenai KM 50--yang mana meski persidangan mengenai kematian para pengawal pimpinan FPI itu telah usai, para simpatisan ini membuat semacam asumsi skematik; Bahwa para korban yang meninggal, terbunuh bukan dalam keadaan melawan.
Di belakang skema yang bercokol kuat di kepala simpatisan FPI ini ada nama Fadhil Imran, sebagai sosok yang secara terbuka mengatakan bahwa pengintaian itu dilakukan atas perintahnya.
Hal ini mengakibatkan kekhawatiran berlebih dari publik, dan telah menimbulkan asumsi, bahwa Brigadir J adalah korban yang ditersangkakan. Ini tercermin kuat dari tweet-tweet yang dilemparkan dan didukung dengan #CopotJugaFadhil.
Jenazah Diantar Ke Jambi
Keluarga Brigadir J membuat pengakuan yang mengejutkan. Menurut keluarga, mereka dilarang membuka peti sebelum menandatangani sejumlah surat. Bahkan menurut mereka, terdapat intensi (dalam bentuk permintaan dan penjelasan) agar keluarga tidak membuka peti, sebab semua proses sudah dilakukan. Keluarga hanya diminta untuk memakamkan Brigadir J.
Pada saat negosiasi agar keluarga diperbolehkan melihat Brigadir J sebelum dimakamkan ini lah kemudian keluarga mendapat kesempatan. Keluarga mendapat informasi bahwa formalin yang disuntikkan ke tubuh Brigadir J hanya berjangka satu hari saja, sehingga keluarga merasa perlu untuk memanggil tim kesehatan setempat guna menambah formalin sesuai kebutuhan keluarga. Di sini keluarga berkesempatan mengambil foto dan mengambil video dari tubuh Brigadir J.
Permintaan keluarga untuk mengadakan upacara pemakaman khas Polri juga belum dipenuhi.
Tuduhan Serius Pengacara
Setelah video tangisan dan ratapan keluarga Brigadir J, kuasa hukum keluarga yang dipimpin Kamaruddin Simanjuntak bersuara ke media dengan keras, bahwa terdapat kecurigaan adanya pembunuhan berencana yang dilakukan terhadap Brigadir J.
Kuasa hukum kemudian melaporkan kecurigaan tersebut ke Bareskrim Polri. Kuasa Hukum mengungkap sejumlah kecurigaan mereka ke dalam beberapa kategori:
Pertama, kecurigaan terhadap waktu kejadian/Tempus Delicti sebagaimana yang telah diumumkan. Perlu diketahui, sebelum kejadian Brigadir J sedang mengantar nyonya Ferdy Sambo ke Malang untuk melihat anaknya yang sedang bersekolah. Analisis terhadap jam kejadian di rumah singgah, jarak tempuh Malang-Jakarta, hingga pertanyaan kenapa Brigadir J tidak melakukannya di tengah perjalanan.
Kedua, sejumlah luka-luka pada tubuh Brigadir J yang berhasil didokumentasikan keluarga, memicu sejumlah pertanyaan dari kuasa hukum. Semisal soal luka yang diduga luka sayat, jari yang patah, hingga rahang yang bergeser. Di depan kantor Bareskrim Polri, pengacara mengungkapkan terdapat kecurigaan adanya penyiksaan hingga pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Ketiga, Kuasa Hukum juga meminta Mabes Polri untuk menonaktifkan sejumlah orang yang menduduki jabatan penting di Kepolisian yang berpotensi memiliki conflict of interest dengan pengungkapan kasus ini. Secara terang dan jelas pula Kuasa Hukum menyebut nama Fadhil Imran yang sempat berpelukan dengan Ferdy Sambo, atau dalam bahasa Kamaruddin, main Teletubbies.
Kicauan akun Twitter Opposite6890TM, Bisa dipercaya?
Internet adalah Medan di mana informasi dipertarungkan satu sama lain. Lapangan informasi semua orang, di dalam kerangka demokrasi dan digitalisasi adalah Internet dengan segala paltform yang tersedia.
Melalui Twitter misalnya, akun Opposite6890TM, berhasil memuaskan hasrat keingintahuan publik tentang apa yang terjadi. Thread yang dibuat bertajuk "Sebuah Utas Yang Bocor dari Tembok Sebelah Div Propam Polri" mengandaikan si pemilik akun mendapat informasi dari sumber yang otoritatif, atau bahkan si pemilik akun adalah otoritas sumber itu sendiri.
Pada pengandaian ini pula publik membayangkan bahwa akun ini dikelola oleh orang dalam atau orang yang memiliki akses ke dalam Locus Delicti.
Berangkat dari medan Internet tadi, ditambah akun yang mengandaikan dirinya sebagai sumber otoritatif ini, maka penulis harus memberikan penilaian bahwa apa yang diceritakan dalam utas telah mengakibatkan bias konfirmasi di dalam kepala/keyakinan publik.
Dengan kata lain, informasi yang dilempar akun tersebut sulit untuk dipercaya, kecuali "sanad" informasi tersebut dijabarkan secara gamblang dan berani. Naif memang, tapi kalau kita menginginkan pengungkapan yang Saintifik, seluruh metode untuk sampai pada kesimpulan harus pula didasarkan pada fakta yang dapat dikonfirmasi secara objektif.
Ini sama dengan yang terjadi ketika Virus Corona menyebar. Di Amerika pendukung Trump memprotes sejumlah kebijakan pemerintah dan pendapat para pakar. Sebab bagi para pendukung Trump saat itu, pengetahuan mengenai Corona Virus itu dapat diakses semua orang melalui internet tanpa perlu opini pakar-pakar itu.
Apa yang dilupakan para pendukung Trump ini adalah para pakar mengerti jalan pikiran untuk sampai pada kesimpulan, sementara publik hanya tau apa yang disimpulkan.
Hanya dengan mengkonfirmasi sumber dari utas tersebut lah kita dapat memasukkannya ke dalam kategori sumber yang legitimate.
Penuntasan, Bukan Sekedar Menghukum Pelaku
Bila orientasi dari penyelesaian kasus ini adalah menghukum para pelaku yang terlibat dalam kasus ini, maka kasus ini (sebagaimana yang dilaporkan kuasa hukum keluarga) akan berhasil memberikan kepuasan psikologis kepada Keluarga Brigadir J, mungkin juga sebagian publik yang berempati kepada keluarga.
Apa yang melampaui penghukuman terhadap pelaku itu adalah pengungkapan itu sendiri. Sebab di dalam kasus ini, telah berlangsung pengingkaran terhadap martabat manusia melalui terbunuhnya Brigadir J maupun terlecehkannya Istri Kadiv Propam. Meski kedua hal ini masih di dalam status dugaan, Brigadir J sendiri sudah terbunuh.
Sebelum penonaktifan besar-besaran yang dilakukan Kapolri terhadap sejumlah jajarannya, terdapat upaya penolakan dan penyangkalan terhadap Brigadir J dan kesan pembiaran terhadap Bharada E maupun Ferdy Sambo.
Di samping hal Ini, terdapat relasi kuasa yang melatari kasus ini, setidaknya pada Ferdy Sambo sendiri yang merupakan Kadiv Propam Polri. Ini lah yang menjadi titik tolak di mana rasa keadilan publik terganggu.
Penuntasan kasus-kasus pembunuhan yang punya latar relasi kuasa semacam ini tidak hanya bertujuan meminta pertanggungjawaban pelaku, tetapi terutama mengidentifikasi kepentingan pelaku, konteks, sebab dan perspektif yang membuahkan tindak kejahatan ini. Serta mengungkap apakah ada keterlibatan berbagai pihak lain yang memiliki kewenangan, atau yang memberi perintah serta (jika ada) dari lembaga mana saja mereka berasal.
Gambar luas ini lah yang memungkinkan kita memahami penyebab mengapa terjadi hal seperti ini. Tanpa pemahaman ini tidak mungkin kita merancang masa depan yang memiliki mekanisme untuk mencegah peristiwa serupa terulang.
Pada level ini institusi Polri mendapat tantangan yang bukan hanya bagi kredibilitas Polri, jauh di atas itu semua, seperti kata Usman Hamid, adalah tantangan bagi penegakan hukum di Indonesia secara keseluruhan.
Penulis percaya institusi Polri memiliki kapasitas untuk mengungkap kasus ini dan memiliki kemampuan untuk merancang mekanisme pencegahan agar kasus serupa tidak terulang.
Bagi Netizen yang penulis termasuk di dalamnya, penulis ingin menutup tulisan ini dengan mengatakan bahwa hiruk-pikuk media sosial yang kian gaduh telah melahirkan kekosongan yang menyebabkan kita semua lebih senang berkomentar ketimbang mencari tau.
Semoga budaya komentar ini dibarengi dengan kemampuan untuk mendeteksi persoalan dengan kerangka metodologis tertentu, bukan sekedar asumsi yang menyebabkan sekedar kegaduhan.