Pram yang banyak diisukan sebagai komunis dan mendapat banyak tuduhan tanpa bukti sebagai penganut komunis merupakan penulis yang melegenda dalam dunia sastra Indonesia bahkan sebelum Republik ini meraih kemerdekaan.

Dalam edisi unik ini, Ia memiliki gagasan yang direalisasikan yakni posisinya sebagai penyunting (editor) buku yang berisi kumpulan cerita bertemakan “Digul”, yakni sebuah tempat yang sekarang telah menjadi daerah administrasi sebagai “Kabupaten” di tanah Papua dan ber-ibu kota “Tanah Merah”.

Digul di era kolonial adalah Penjara bagi para tahanan politik, sebagian besar adalah yang ditangkap dan dijatuhi hukuman tanpa proses peradilan dan tanpa ada tahapan sidang-sidang hukum di pengadilan resmi. Digul juga memicu kontroversi bagi pemerintahan Hindia di mana di bawah kekuasaan gubernur jenderal tapi tetap dalam pengawasan anggota Dewan (Volksraad).

Volksraad menuntut agar kamp tahanan itu ditutup karena keadaan di Tanah Merah itu tidak manusiawi. Cara yang paling ampuh untuk merumuskan apakah dipertahankan atau dihapuskan saja kamp tersebut adalah dengan mengirim delegasi dari kedua pihak (eksekutif; pemerintah Hindia, dan legislatif; anggota dewan Volksraad.) turun langsung ke lapangan di tempat yang dulu dikenal sebagai “Irian Jaya” itu.

Dua orang tersebut adalah Hillen (Gubernur Jawa Barat) dan satu anggota dewan yang tak diketahui namanya (anonim). Kedua diutus untuk melengkapi data dan mencari bukti kuat dalam mengawasi Kapten Becking sebagai pimpinan Kamp Boven Digul serta mewawancarai banyak tahanan digulis saat itu.

Hasilnya adalah kesepakatan untuk menutup kamp tersebut secara bertahap dengan beberapa step yang mesti dilakukan, salah satunya adalah memecat sang Kapten yang terkenal kejam dan tidak ber-peri kemanusiaan dengan orang sipil yang humanis. 

Langkah kedua adalah membebaskan para tahanan secara bertahap dalam dua kali pembebasan hingga di akhiri di tahun 1932 untuk dihapuskan sebagai penjara politik yang kebanyakan adalah orang komunis yang memberontak pada pemerintah Hindia.

Kira-kira begitulah gambaran yang amat singkat soal Digul. Buku yang disunting Pram ini merupakan buku yang berisi lima cerita eks-digulis yang menurut ukuran/standar sastra Pram itu amat penting dibaca oleh orang Indonesia era modern saat ini. 

Mengapa demikian, karena Digul adalah bibit perkumpulan pejuang nasional yang semuanya sepakat ingin mengakhiri penjajahan yang selama ini dilakukan Belanda. Digul juga berisi orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang yang berbeda, seperti dari golongan nasionalis, agamis dan komunis.

Kelima cerita ini adalah karya sastra yang berhasil terbit atau publish di masanya masing-masing serta sukses menyedot perhatian para pegiat seni bidang sastra atau kepenulisan. Menurut Pram juga, cerita-cerita ini adalah penting disebutkan dalam sejarah Indonesia atau sejarah sastra Indonesia yang biasanya oleh pemerintah didistorsi, dihilangkan dan diragukan kebenaran karyanya. 

Oleh karena Pram sengaja di era Reformasi ini (2001) untuk melakukan kritik pada era sebelumnya (Orde Baru) yang banyak mem-bredel karya-karya murni sastra yang tak ada kaitannya sama sekali dengan politik atau ideologi.

Secara berurutan, buku berisi cerita berjudul “Rustam Digulist” karya D.E. Manu Turoe, kedua “Darah dan Air Mata di Boven Digul” karya Oen Bo Tik, ketiga “Pandu Anak Buangan” karya Abdoel Xarim M.S., keempat “Antara Hidup dan Mati atau Buron di Boven Digul” karya Wiranta, serta kelima atau terakhir “Minggat dari Digul” karya Pengarang Tanpa Nama (Anonim).

Semuanya sengaja Pram sunting sebagai bentuk kelayakan dokumen sejarah sastra dan bahasa Indonesia. Dua karya (Wiranta & Anonim) merupakan karya yang menggambarkan perjuangan pengarangnya untuk menggunakan bahasa melayu (sumber akar bahasa Indonesia) yang mana secara histori bukan merupakan bahasa ibu mereka berdua. 

Selain itu, cerita karya Abdoel Xarim M.S. adalah satu-satunya karya sastra Indonesia yang bertemakan “Psikologi” yang saat itu tidak terlalu populer dan banyak peminat, namun sangat berani di era 1945.

Kelima cerita ini bukan hanya sekedar bacaan yang bisa dinikmati oleh pembaca modern dan kontemporer sebagai karya sastra biasa, melainkan kisah yang memberi kita bahan renungan tentang makna kemerdekaan hidup sebagai manusia (individual) dan sebagai bangsa (sosial-politik) yang merdeka.

Pujian kiranya layak diberikan kepada kelima author kisah-kisah tersebut, namun tidak berlebihan juga memberikan apresiasi yang besar kepada seorang Pram yang berjasa menemukannya, melalui proses pencarian yang panjang, melewati tahapan penyesuaian yang rinci dan rumit yang mana perubahan bahasa dari klasik ke modern berdasarkan ejaan yang disempurnakan (EYD) itu tetap harus dirasakan makna dan maksud sang penulis aslinya.


Identitas Buku;

Judul Buku: Cerita dari Digul, Penulis/Penyunting: Pramoedya Ananta Toer

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Kota Terbit: Jakarta, Tahun Terbit: 2022 (Cet. Ke-XII) [pertama terbit 2001]

ISBN: 978-602-6208-98-9, Jumlah halaman: 320 halaman.