Kalimantan itu pulau tempat saya tinggal. Hampir 50% kota-kota di dalamnya sudah saya kunjungi. Dari Kutai Kartanegara singgasananya Kalimantan Timur hingga Ujung Pandaran pantai selatannya Kalimantan.

Sekarang saya buka kembali isu ibu kota. Mengapa itu penting? Karena di dalamnya ada pemimpin. Jika ibu kota provinsi, maka sepaket pemerintah provinsi diletakkan di dalamnya. Tetapi ini ibu kota negara, harus sepaket dengan masalahnya.

Masalahnya adalah Kalimantan. Entah Anda telusuri dari ujung timur hingga ke barat. Pulau ini bukan pulau yang hilang. Ini pulau tiri. Dijajah oleh orang tuanya. Disuruh bekerja untuk kemakmuran anak kandung. Jawa.

Bukan rasisme. Kecemburuan sosial? Iya. Anda harus tahu. Daya ponsel Anda, listrik rice cooker buat sarapan, atau grafik visual sumber data chart investasi Anda berasal dari dalam tanah Kalimantan. Sedangkan di sini, dalam pulau tiri ini, masih saja gulita.

Jutaan ton batu-batu itu mengalir dari hulu ke hilir. Dengan harapan menerangi negeri. Pernahkah anda berpikir? Sudahkah Kalimantan ini terang? Tidak. Anda sebelas jam atau 20 jam sekalipun sudah berteriak. Seakan-akan negeri ini telah hampir kiamat tak ada listrik.

Berapa lama sejak bumi Kalimantan dikeruk. Diambil sari patinya. Desa-desa ini masih gelap. Kapal-kapal tug boat itu hanya lewat. Kadang tambat sebentar di lanting warga. Ikut istirahat. Bukan menerangi.

Kalian, ya kalian. Kalau kalian teriak kesetaraan? Apa kalian tidak melihat di sini kami pun manusia. Listrik adalah fasilitas negara. Dan kami juga warganya. Janganlah munafik. Standar ganda. Pusat lebih prioritas. Saya rasa induk kucing sangat tahu arti pengorbanan.

Tidak usah bicara ekonomi Indonesia akan lumpuh. Tidak pernah belajar bagaimana desa-desa itu bertahan tanpa listrik dan dengan biaya hidup tinggi. Mereka hidup serta hatinya. Sedangkan pusat selalu saja berkoar tentang komoderenan, kemajuan teknologi dan penyetaraan informasi. Bullsh*t.

Tertating. Terseret zaman. Menyuruh adu kecepatan tanpa pikir kemampuan. Desa itu terus merangkak. Susah payah kalian pecut dengan kemajuan ilusi. Stop memperhatikan rumput tetangga jika halaman rumah masih berlubang tak ditambal.

Janji manis kian hari selalu terucap. Anak tiri tak pernah bahagia. Membosankan, merasa terkekang. Tidak bebas. Hanya bisa menonton negeri seberang itupun jika sedang pelesir ke ibukota kabupaten.

Batubara. Oh, manis sekali in. Terlalu nikmat rupanya hingga tak bergeming. Sexy Killer menyeruak ke khalayak. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Kafilah oligarki tetap tersenyum. Anjing pun hanya bisa mengawasi.

Saya geram. Geram sekali. Pramugari cantik itu lebih tahu tentang prioritas. Dia bilang, "Selamatkan diri anda terlebih dahulu, baru orang lain." Setelah masker oksigen itu keluar dari langit-langit lorong kabin.

Seharusnya masker oksigen itu kami yang hirup. Lalu kami tolong kalian. Tapi nasib, tak sempat menghirup ditolong pun tidak. Sudah lupa kulit rupanya kacang ini.

Sekarang pun bencana nasional pun sedang melanda negeri ini. Tidak ada kehebohan. Paru-paru ini batuk. Terbakar setiap tabung oksigennya. Apa kalian sadar? Mungkin iya, tapi acuhkan saja.

Kembali ke ibukota penuh masalah. Saya sangat berharap sekali Kalimantan mendapatkan kehormatan itu. Dekatkan induknya agar tangisan anak ini terdengar jelas. Meraung di samping daun telinga. Mengguncang parlemen dari jalan. Lemparkan kembali batubara itu ke wajahnya.

Bukan maksud anarkis. Kami hanya ingin kesetaraan. Jika batubara itu pernah lewat rumah kami atau merobohkan tempat tinggal itu. Setidaknya kalian juga merasakan bagaimana batubara itu bekerja. Dengan senang hati kami lemparkan itu.

Atau ingin merasakan debu truck pengangkut crude palm oil yang telah sering melindas nyawa. Dengan senang hati akan kami bawakan kemeja parlemen atau pak pres. Biar tak ada lagi perantara yang tak bisa dipercaya.

Selama ini utusan itu adalah kaki tangan yang menjelma. Ternyata pahit memang kenyataannya. Begitulah, tidak pernah menyampaikan melainkan hanya mengamankan. Lalu meneruskan keinginan. Sungguh kecupan itu manis sekali.

D.H. Lawrence berkata, "Judas selalu siap memberikan kecupan manis, tetapi saya harus mengecupnya kembali!"

Benar, memang harus begitu. Agar tahu saja. Kami mampu berikan kecupan manis serta hangat dari rahim Borneo. Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata. Harus!

Keadilan sesama manusia harus dilakukan. Tidak diskriminatif apalagi di-tiri-kan. Menghargai sesama warga negara meskipun mereka didalam desa.

Tengoklah penghuni surga. Yang baik akan tinggal di sana. Yang jahat ke neraka saja. Borneo ini tanah surga. Karena kejahatan, bisa saja tuhan jadikan ini neraka.

Kami terus berdoa kepada-Nya. Agar negeri hijau ini tetap lestari. Berbudaya luhur. Miliki pekerti yang terpuji. Meskipun Ibukota yang penuh masalah itu akan ada di sini.

Harus! harus laksanakan. Pilih saja tanah setiap jengkal tanah Borneo ini. Jadikan Ibukota. Agar anak ini tidak cemburu. Cemburu yang berkepanjangan. Agar anak ini bisa merengek dengan lantang. Baik siang maupun malam.

Maafkan saya. Saya sadar betul ini terlalu emosional. Sikap sentimen yang telah lama terkubur. Saya akan diam sekarang. Kabarkan ketika ibukota itu telah pindah saja. Saya pasti akan bangun. Percayalah.