Bukan hal baru bagi penulis menjadikan sejarah sebagai latar belakang novel. Entah ia sedang dalam upaya menceritakan sejarah dengan perspektif baru dalam bentuk fiksi, atau ia sedang menjadikan sejarah sebagai pijakan merumuskan pandangan atau pesan tertentu lewat karya novelnya. Atau bisa juga sang penulis sedang berusaha menyuarakan ulang keprihatinan atas peristiwa buruk yang tercatat dalam sejarah, tetapi dengan kebebasan yang disediakan oleh fiksi.  

Arriyanti (2016) mengatakan sastrawan atau penulis karya sastra selalu berhubungan dengan masyarakatnya. Karya sastra adalah refleksi penulis atas gejala yang terjadi di dalam masyarakat, baik gejala sosial, politik, ekonomi maupun sejarah. Dengan bekal kemampuan dan imajinasinya, seorang pengarang mencoba menuangkan realitas kehidupan dan semua gejala yang terjadi di dalam masyarakat ke dalam bentuk sebuah karya sastra. Dan salah satu unsur dalam kehidupan yang dapat menjadi media informasi dan imaji bagi pengarang adalah sejarah.

Pendapat Arriyanti itu dapat menjadi titik tolak untuk memahami Bonnie Etherington, perempuan muda asal Selandia Baru, yang menjadikan sejarah dan pengalaman masa kecilnya di Papua sebagai latar belakang novelnya, yang berjudul The Earth Cries Out. Novel itu diluncurkan pada 14 Maret 2017, di Selandia Baru.

Masa kecilnya di Papua ia jalani dengan menyaksikan berbagai kesedihan  dan represi yang dialami Orang Asli Papua (OAP), orang-orang yang menurutnya dipinggirkan. Kehidupan penuh duka dan derita -- diwarnai kematian massal akibat penyakit dan  hidup yang tertekan -- ia jadikan  bagian dari latar cerita novelnya.

Bukan tak ada maksud bagi Etherington untuk memilih latar ini. Ia mengatakan dirinya ingin dunia semakin mengetahui bagaimana keadaan hidup rakyat Papua yang sesungguhnya. Novelnya sendiri memang tidak terutama berkisah tentang rakyat Papua, melainkan tentang seorang perempuan bernama Ruth, yang jadi pelaku utama novel. Lewat tokoh Ruth, penulis membangun narasi  tentang Papua.

Dalam novelnya, dikisahkan tentang Ruth, putri dari Nelson Isaac dan istrinya Miriam. Keluarga itu kehilangan putri mereka yang lain, Julia (adik Ruth) dalam sebuah kebakaran dan itu menyebabkan kesedihan yang luar biasa. Keluarga itu kemudian mengikuti panggilan untuk bekerja di Papua, membangun jalan. Dan, mereka seakan mendapat penebusan atas kesedihan mereka dari pekerjaan mereka di sana.

Mereka hidup di sebuah desa di pegunungan Papua pada tahun 1990-an, di masa ketika kerusuhan sipil dan penindasan masih berlangsung. Di tengah situasi seperti itu, Ruth dan orang tuanya berjuang melawan kesedihan mereka.

Bukan yang Pertama

Novel yang diterbitkan Penguin Book ini  bukan novel pertama yang mengangkat kehidupan rakyat Papua sebagai latar belakang bagi penyembuhan duka pribadi.

Tahun 2007 terbit sebuah novel berjudul The Shack, yang menjadi novel bestseller, dan tahun lalu difilmkan dan ditayangkan di bioskop-bioskop ternama AS. Penulisnya, William Paul Young,  mengatakan inspirasinya untuk menulis buku tidak terlepas dari masa kecilnya yang suram dan menimbulkan trauma ketika berada di Papua, mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai misionaris.

The Shack  bercerita tentang seorang ayah yang berkabung atas kematian putrinya dan meminta lawatan Tuhan. Novel tersebut telah terjual 20 juta eksemplar, membuatnya menjadi salah satu buku terlaris sepanjang masa.  

Berbeda dengan William Paul Young yang mengalami pengalaman negatif dan traumatis di Papua, dalam novel ini Etherington justru menyelami kehidupan rakyat Papua dengan penuh empati. Dalam novel ini, tokoh utama, Ruth, digambarkan mencari penebusan akan kesedihannya dengan memberikan kesaksian dan menyampaikan kisah-kisah orang lain, orang-orang yang telah dibungkam.

Etherington mengaku belum pernah mengalami kehilangan adik seperti tokoh novelnya. Itu sebabnya, ia mengatakan tantangan terbesar menulis novel ini adalah mengumpulkan keberanian untuk menulisnya.

Ehterington mengatakan keluarganya pindah ke Papua pada tahun 1990-an, ketika ayahnya bekerja untuk sebuah gereja, menyediakan layanan bahasa, pendidikan dan kesehatan. Ia menghabiskan tahun-tahun awal di Papua  dan lewat novel ini, kata dia, ia ingin menjelajahi berbagai isu di provinsi itu secara lebih luas.

"Ini adalah kisah kesaksian tentang Papua pada akhir 1990-an. Situasi politik Papua adalah kompleks dan novel ini menunjukkan hanya beberapa bagian darinya," kata dia, kepada Asia Pacific Report.

Suarakan Keadilan dan Pembebasan bagi Papua

Etherington tampaknya berada pada posisi ingin menggemakan fakta sejarah tetapi dalam bentuk narasi fiksi yang berdasarkan kenyataan. Dalam hal ini, pandangan politiknya tentang integrasi Papua cukup kental mewarnai novelnya.

Sebagaimana banyak orang luar memandang sejarah integrasi Papua sebagai sebuah 'aneksasi' ketimbang penggabungan secara sukarela, Etherington melihat Papua adalah wilayah yang diduduki Indonesia sejak 1960-an. "Sejarahnya kaya dan beragam, tetapi ini adalah tempat yang sering dilupakan atau dijadikan stereotip oleh seluruh dunia," kata dia.

Gambaran ini ia kisahkan lewat cerita yang didengarkan oleh tokoh novelnya, Ruth, dari ayahnya, yang melihat Indonesia sebagai bad guy dan Papua sebagai korbannya. Kehadiran Indonesia di Papua dipandang hanya untuk mengeruk sumber daya alamnya.

"Dutch New Guinea, Irian Barat, Irian Jaya, Papua Barat. Nama provinsi ini berubah (dan masih berubah). Sejarahnya adalah invasi-invasi dan divisi-divisi. Semua orang lapar untuk mendapatkan sepotong 'Dapur Jawa'. Ambil beberapa cendana di sini, beberapa minyak di sana, dan jangan lupa emas dan tembaga. Ayah bercerita tentang invasi besar (Belanda, penjelajah, Amerika dan Jepang dan Australia dalam Perang Dunia Kedua, para misionaris, para penambang, tentara Indonesia)."

"Dia mengatakan kepada saya tentang pria bernama Suharto di Jawa, dan bagaimana ia dulu seorang jenderal yang mengambil alih kekuasaan di tengah malam. Adalah Suharto presiden pada tahun 1969, ketika Indonesia secara resmi (luasnya) melesat lebih dari 162.000 mil persegi, berkat Papua. Setengah dari tubuh burung Nugini tetap terpisah dari setengah punggungnya, kehilangan ekornya, karena tentara Indonesia."

Dalam keterangannya kepada wartawan, Etherington memberikan catatan bahwa mengingat sejarah Papua yang rumit, ia tidak ingin melakukan homogenisasi wilayah Papua dan rakyatnya yang banyak, tetapi lebih memberikan sekilas dari keberagamannya.

"Pada skala yang lebih besar, novel ini adalah kisah tentang mendengarkan suara-suara dari orang-orang yang telah dibungkam dalam banyak hal, yang telah menjadi terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Tapi, kemudian, juga tentang ketekunan mereka dan tanah mereka."

Etherington menolak menyebut nama desa dimana ia tinggal di Papua dengan alasan untuk "melindungi orang-orang yang masih tinggal di sana."

Kehilangan dan penderitaan menjadi warna yang kental dalam novel ini, dan itu tidak lepas dari kematian massal yang pernah ia saksikan di sana, di masa kecilnya.

"Kematian dan sakit adalah hal yang biasa dalam kehidupan di desa tempat saya tumbuh," kenang Etherington. Kematian massal itu, kata dia, terutama disebabkan tingginya angka kematian bayi dan penyakit malaria.

Pertemuan pertama Etherington dengan begitu banyak kematian muncul ketika ia baru berusia lima tahun. "Aku berada di pemakaman sahabatku, seorang anak yang memiliki nama yang sama seperti namaku. Dia meninggal karena malaria. Aku ingat betapa kecilnya peti matinya."

Etherington mengatakan judul novelnya, diambil dari ayat Alkitab, Roma 8:22 yang berbunyi: Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.

"Kita tahu bahwa segala sesuatu di bumi ini menangis dalam derita seperti seorang ibu ketika melahirkan. Dan dalam beberapa hal, novel ini adalah tentang relasi antara perempuan, khususnya para ibu dan putri-putri mereka, dan nuansa kehilangan dan rasa sakit, serta cinta yang bisa mewarnai hubungan mereka," kata dia kepada Manawatu Standard.

Etherington mengatakan ia berharap novelnya akan menarik perhatian dunia terhadap apa yang dihadapi oleh rakyat Papua.

Kendati demikian, ketika ditanya apa harapannya bagi situasi politik di Papua di masa depan, ia mengelak untuk memberikan pandangan. Kata dia, bukan tempat bagi dia untuk mengatakan bagaimana penduduk asli Papua meraih keadilan bagi mereka dan bagi tanah mereka.

"Saya mendukung martabat dan keadilan bagi rakyat Papua dan tanah mereka. Bagaimana cara terbaik untuk memperolehnya, bukan tempatnya bagi saya mengatakannya."

"Adalah tempatnya bagi Orang Asli Papua untuk mengatakan, apakah mereka ingin mendapatkan otonomi politik penuh dari Indonesia atau berbagai konfigurasi rekonsiliasi dan pemulihan lainnya," kata dia.

"Saya berharap suara mereka didengarkan dan dihormati."

Etherington saat ini sedang melanjutkan studi PhDnya di Northwestern University, Chicago  berfokus pada ekologi tropis di Asia Tenggara dan literatur Oceania.

Teeuw  (1984) mengatakan sebuah novel sejarah tidak terutama meniru atau memaparkan peristiwa atau keadaan (fakta sejarah) yang diketahuinya, melainkan menekankan pemberian makna pada eksistensi manusia melalui cerita dan peristiwa yang mungkin tidak benar secara fakta tetapi benar secara maknawi. Yang disoroti oleh penulisnya adalah sifat hakiki dari peristiwa atau keadaan, entah yang diceritakannya (dalam novel) benar-benar terjadi atau tidak.  Seorang penulis novel sejarah, dengan demikian, memberi makna tersendiri  terhadap  fakta sejarah  tertentu  dengan  penyorotan  yang tersendiri.

Pesan Etherington melalui novel ini mudah-mudahan sampai dan didengarkan.


Referensi