Kisah cinta Layla-Majnun yang mengisahkan seorang Qais dan Layla biasanya dianggap sebagai simbol cinta di Timur Tengah berdasarkan latar Arab dan juga beragama Islam. buku karya Syaikh Nizami itu berhasil menyedot banyak perhatian dunia setelah pengaruhnya yang luas biasa di mana diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa selain Arab.

Berdasarkan hal itu, lain cerita dengan Novel tasawuf yang berjudul “Layla: Seribu Malam Tanpamu” karya Candra Malik terbitan Bentang Pustaka 2017. Novel ini terbilang cukup tidak biasa, bahkan pada bab-bab tertentu harus fokus memahami dari sebuah gagasan yang tersaji. 

Berikut ringkasan yang  akan dicoba untuk dituangkan dalam barisan kalimat yang jika masih belum utuh maknanya; berarti pembaca perlu melihat novel aslinya yang memang berisi kata-kata yang memiliki seribu makna.

Novel ini mengisahkan tentang perjalanan tokoh utama yang masih muda tapi syarat akan dunia tasawuf. Pada usia yang sangat muda, tokoh utama sudah diminta menjadi murid Abah Suradira dan menerima semua ilmunya. Bukan tanpa alasan semua yang terpilih memiliki rahasia di balik kisahnya. 

Abah Suradira adalah teman seperguruan Ayah Wallaili Wannahar, Sukarsa. Guru mereka ialah Kiai Tjokro yang memiliki putri, Tijah yang nikah dengan Abah Suradira. Berawal dari keinginan Sukarsa untuk memiliki anak kembar, alih-alih menjadi seperti malam dan siang yang satu masa tapi tidak pernah bertemu, Lailatun Nahar.

Dalam novel ini, pembaca akan disuguhkan dengan perjalanan tasawuf seorang murid yang terpilih. Kemudian akan berkeliling menjelajahi para mursyid dan tempat-tempat keramat. Selama penggalian ilmu, hadir sosok wanita yang elok parasnya. Pembaca akan menjadi terkesima dengan jalan cinta sang sufi muda. 

Belum lagi Kinasih, adik angkat yang telah hidup bersama sejak bayi. Hubungan mereka berubah menjadi kasih sayang yang menimbulkan rasa cemburu. Keinginan untuk memiliki tapi terberdaya oleh pandangan dan prasangka laki-laki bule yang digandeng Kinasih.

Pandangan pertama dengan seorang gadis berparas cantik di majelis pengajian, seperti membaca pikiran Lail yang sedang gundah dengan belahan jiwanya. Jatuh cinta pada pandangan pertama, mengenal nama dengan khayalan, dan mengetahui dengan pasti gerak gerik sang pujaan. 

Membaca Lail menjadi penyair sufi dan terjebak pada pikirannya sendiri dengan arti cinta. Antara kinasih dan Layla, ia harus memilih, bukan lebih tepatnya ia terjebak pada perasaan sayang dan cinta dalam waktu bersamaan pada dua wanita.

Pembaca akan dialihkan dengan cinta lawan jenis dan berakhir pada pernikahan suci. Karena tidak ada obat cinta selain pernikahan. Namun, Lail percaya seseorang itu akan mengikuti orang yang dicintai. Laylalah cintanya yang selama ini mengganggu malam-malam panjangnya. Layla menjadi cermin dalam dirinya yang ia bisa rasakan setiap gerak gerik batin dan raganya. 

Layla menjadi pusat dari bumi dan Lail adalah bumi itu sendiri. Ke mana pun Layla pergi, jiwanya tidak akan pernah lepas dari sosok Lail. Ia seperti siang dan malam yang satu masa, satu raga, satu kehidupan tapi tidak bisa bertemu. Keduanya saling mencari tapi ternyata mereka begitu dekat, hingga kedekatan mereka seperti benang tipis yang membedakan malam dan siang.

Di akhir kisah terungkap makna dari cinta. Bukan cinta yang berdasar pada nafsu lawan jenis, melainkan persaudaraan yang terjalin begitu lama menjadi keluarga dari berbeda darah, Kinasih. Dan akhirnya pencarian sang belahan jiwa mengantarkan Lail menuju jati diri yang sebenarnya yaitu Layla. Cintanya adalah saudara kembarnya sendiri, yang selalu mengusik setiap tidur nyenyak. 

Begitulah ujian cinta seorang sufi muda yang diterka seperti kisah manusia biasa; tapi di balik kisahnya derajat cinta mendapat ujian menjadi level yang tinggi sesuai dengan tingkat keilmuannya dan kedekatan dengan sang Pencipta.

Layla, seribu malam tanpamu. Bukan kisah cinta terkobar dalam nafsu ragawi seorang manusia tetapi hadir sebagai kisah cinta yang patut diteladani sebagai makna cinta yang sesungguhnya. Cinta bukan lahir dari sebuah tubuh yang akan mati pada waktunya, tapi cinta lahir dari jiwa yang kehilangan bagiannya yang lain. 

Cinta bukan hanya sekedar ungkapan untuk menyatakan getaran hasrat di dada, tapi cinta adalah lebih dalam sebagai petunjuk Tuhan yang menjadi rahasia bagi umatnya. Maka tidak heran jikalau seseorang yang menyimpan kerinduan karena cinta sampai pada derajat syahid pada syarat cinta yang suci.

Kisah cinta memang bukan sebuah tema yang asing dalam sebuah cerpen maupun novel. Namun, mengisahkan cinta dengan tema tasawuf, apalagi dengan kisah yang penuh kerumitan pada kata dan alur ceritanya, sungguh membuat pembaca akan larut dalam sebuah kisah cinta yang memang di luar kebiasaan pada masa saat ini. 

Cinta, kata yang memang indah dan tak pernah bosan untuk diperbincangkan. Semoga pembaca dapat memaknai cinta secara luas dan tidak tersesat dalam perjalanan cintanya.

Berdasarkan pengalamanku pribadi, cinta yang aku alami memang begitu rumit. Aku mempercayai cinta kepada sang Pencipta dari usia sekolah dasar sebagai cinta pertama. Aku bahkan tak menyangka cintalah yang membuatku terus termotivasi untuk hidup lebih baik. 

Cinta telah mengubah hidupku, mulai dari prinsip, keyakinan, bahkan pekerjaan. Cinta telah menjadi syarat utama dalam sebuah aktivitas. Jika tidak mencintai, bagaimana bisa menjalani sesuatu dengan bahagia. Namun, aku sendiri menyadari bahwa cinta telah membungkam rasa syukur itu menjadi sebuah perasaan terluka dan sedih. Itu adalah hal yang wajar. 

Tetapi kita sebagai makhluk yang berakal patutnya mencari jalan agar rasa cinta itu hadi sebagai bentuk cahaya yang selalu menyinari hidup kita. Sehingga kita tidak buta dengan melakukan perilaku yang dapat merugikan orang lain.

Quotes favorit yang bisa dilampirkan di sini, di antaranya;

“Cinta itu rahasia Allah yang sangat rahasia. Kita tidak pernah benar-benar tahu mengapa kita jatuh cinta. Tidak ada yang salah dari jatuh cinta dan tidak ada yang benar dari jatuh rindu.” (hlm. 122)

dan

"Jadi, seorang salik boleh jatuh cinta, Bah?". "Jangankan salik. Bukankah para nabi dan rasul juga beristri? Apakah kamu mengira mereka berumah tangga tanpa cinta?" (hlm. 81)


Identitas Buku

Judul: Layla, Seribu Malam Tanpamu

Pengarang: Candra Malik, Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun terbit: 2017 (cetakan pertama), Tempat terbit: Jakarta

ISBN: 978-602-2913-83-2, Tebal buku: 261 halaman