Badan Pusat Statistik merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk Triwulan II tahun 2020 pada 5 Agustus 2020, dan, seperti yang diperkirakan, ekonomi Indonesia tumbuh negatif. 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan II 2020 minus 5,2 persen jika dibandingkan dengan Triwulan II 2019 (year on year) dan terkontraksi menjadi minus 4,19 persen jika dibandingkan dengan Triwulan I tahun 2020. Pada triwulan I 2020, perekonomian Indonesia hanya mengalami pertumbuhan 2,97 persen melemah dibandingkan Triwulan I 2019 yang mencapai 4,2 persen.

Berdasarkan rilis data BPS, hampir semua sektor dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada Triwulan II tahun 2020 mengalami kontraksi. Kontraksi atau pertumbuhan negatif terbesar adalah sektor/lapangan usaha transportasi dan perdagangan yang terkontraksi minus 29,22 dan lapangan usaha akomodasi dan makan minum yang terkontraksi minus 22,31 persen.

Ada 3 lapangan usaha yang masih tumbuh positif di Triwulan II 2020, yaitu pertanian yang tumbuh positif 16,24 persen, informasi dan komunikasi tumbuh positif 3,44 persen, dan pengadaan air tumbuh positif 1,28 persen.

Kondisi yang sama juga terjadi pada Produk Domestik Bruto dari sisi pengeluaran. Konsumsi yang biasanya menjadi andalan pertumbuhan ekonomi, pada Triwulan II tahun 2020 mengalami kontraksi minus 5,51 persen. Hal ini dikarenakan terjadi penurunan seluruh kelompok penjualan, yaitu makanan, minuman, dan tembakau; sandang; perlengkapan rumah tangga lainnya; bahan bakar kendaraan; barang budaya dan rekreasi serta mobil penumpang dan sepeda motor.

Konsumsi pemerintah yang juga menjadi andalan pertumbuhan ekonomi pada Triwulan II tahun 2020 mengalami kontraksi minus 6,90 persen. Penurunan realisasi belanja pemerintah karena penundaan beberapa proyek infrastruktur karena pandemi dan juga perubahan (refocusing) anggaran untuk mengantisipasi dampak pandemi COVID 19.

Ada kekhawatiran bahwa perekonomian Indonesia memasuki tahap awal resesi. Kondisi resesi ekonomi terjadi bila pertumbuhan ekonomi terkontraksi selama 2 periode berturut-turut. Jika Triwulan III tahun 2020 nanti pertumbuhan ekonomi masih negatif, berarti perekonomian nasional sudah memasuki resesi.

Beberapa negara sudah mengalami resesi karena pandemi COVID 19. Korea Selatan terkontraksi minus 3,3 persen, Amerika Serikat terkontraksi minus 9,5 persen, Singapura terkontraksi minus 12,6 persen, Tiongkok terkontraksi minus 6,8 persen pada Triwulan I 2020 dan pada Triwulan II mulai tumbuh positif di angka 3,2 persen.

Kebijakan Jangka Pendek

Pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi oleh konsumsi domestik, sehingga untuk mencegah perekonomian menurun lebih dalam maka pemulihan daya beli masyarakat harus segera dilakukan. 

Saat ini realisasi belanja Negara (APBN) Triwulan II-2020 mencapai Rp616,54 triliun (22,51 persen dari pagu 2020 sebesar Rp2.739,17). Percepatan realisasi belanja APBN menjadi penting untuk segera dilakukan.

Pada saat ini satu-satunya pihak yang bisa diharapkan untuk menggerakkan perekonomian adalah pemerintah dengan komponen belanja pemerintah. Sangat penting bagi pemerintah untuk mengembalikan daya beli masyarakat karena kebijakan ini akan mendorong peningkatan permintaan agregat dari barang dan jasa. 

Keterbatasan APBN memang menjadi kendala, karena dalam kondisi normal pun APBN dalam kondisi defisit, tetapi menjaga disiplin fiskal dalam kondisi ekonomi yang tumbuh negatif bukan keputusan yang bijaksana. Pilihan untuk memperlebar defisit APBN menjadi pilihan sulit tetapi harus dilakukan.

Pandemi COVID 19 menyebabkan pemerintah harus menempuh kebijakan PSBB yang ternyata mempunyai konsekuensi ekonomi. 

Pada tahap awal pelaksanaan PSBB di beberapa daerah pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi pelambatan ekonomi dengan melakukan kebijakan pemberian jaminan sosial pada kelompok masyarakat terdampak PSBB. Pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada kelompok masyarakat miskin dan penambahan peserta PKH (Program Keluarga Harapan) dilaksanakan untuk mengurangi dampak PSBB.

Kondisi perekonomian di Triwulan II 2020 yang memburuk mendorong pemerintah untuk melakukan kebijakan yang lebih taktis, yaitu dengan memperluas penerima manfaat BLT. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa pemerintah sedang melaksanakan kajian untuk memberikan bantuan kepada karyawan swasta dengan upah di bawah Rp 5 juta. Diperkirakan ada 13 juta pekerja dengan upah di bawah Rp 5 juta dan anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp 31,2 triliun. 

Sektor produktif juga mendapatkan perhatian dari pemerintah dengan menganggarkan Rp 28,8 triliun untuk bantuan modal usaha bagi UMKM. Bantuan ini diperuntukkan khusus bagi UMKM yang belum memiliki akses ke perbankan atau lembaga keuangan lainnya. 

Belanja pemerintah pada sektor lain juga ditingkatkan realisasinya. Sebagai contoh, pemberian beasiswa dengan KIP Kuliah yang diperluas penerimanya. Persyaratannya juga dibuat lebih fleksibel.

Kebijakan Strategis

Risiko munculnya resesi (atau bahkan kondisi depresi) adalah skenario buruk yang mungkin terjadi. Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus siap. Kondisi ini terjadi karena ketidakpastian berakhirnya pandemi COVID 19 masih tidak jelas. 

Skenario paling optimis yaitu tersedianya vaksin di pasaran paling cepat awal tahun 2021. Hal ini berarti kebijakan jangka pendek untuk pemulihan daya beli terkendala, karena beberapa sektor belum bisa pulih optimal karena berlawanan dengan protokol kesehatan.

Sebagai contoh sektor transportasi dan pergudangan, serta akomodasi dan makanan minuman belum bisa pulih dalam waktu dekat karena sektor usaha ini terkait dengan jumlah kunjungan orang.

Laporan Produk Domestik Bruto (PDB) Triwulan II tahun 2020 menunjukkan bahwa sektor pertanian masih tumbuh positif sebesar 16,24 persen. Dalam jangka menengah kebijakan strategis dengan memperkuat sektor pertanian bisa membantu perekonomian nasional. 

Sektor pertanian memang masih perlu dibenahi, dari sisi teknologi, SDM, produk, stabilitas harga, pasar dan lembaga distribusinya. Namun demikian, pilihan untuk memperkuat sektor ini bisa menguntungkan perekonomian nasional dalam jangka menengah dan panjang.