Pernah nggak kamu merasa ‘kecil’ di tengah orang-orang yang lebih dulu berhasil dibandingkan dirimu?
Atau barangkali kamu merasa rendah diri ketika melihat teman-teman dekatmu sudah sukses terlebih dahulu, sedangkan kamu masih stuck di tempat. Apalagi ketika kamu mulai membandingkan dirimu dengan teman-temanmu dan berakhir dengan merasa bahwa kalian itu tidak sebanding atau selevel.
Mungkin, kadangkala kamu pernah berpikir, ‘Ah, si A itu ‘kan memang sudah jago sejak dulu, wajar aja kalau sekarang dia bisa sesukses ini,’ atau ‘Ah, si B ‘kan anak orang kaya, wajar aja kalau dia bisa berhasil di umur segini. Dia kan mendapatkan fasilitas dan sarana prasarana yang lengkap dan memadai, wajar aja kalau masa depannya bisa secerah ini.’
Pada akhirnya, tanpa kita sadari, kita sering mengkaitkan keberhasilan seseorang dengan privilege yang mereka miliki.
Privilege Bagaikan Golden Ticket
Ngomong-ngomong, apa sih itu privilege?
Istilah privilege sudah kerap dibicarakan dan familiar kita dengar di era sekarang ini. Secara sederhana, privilege diartikan sebagai suatu hak istimewa yang dimiliki oleh seseorang, baik itu karena penampilan, lingkungan, jabatan, keturunan, maupun latar belakang lainnya.
Boleh dikatakan, privilege bagaikan tiket emas bagi orang-orang yang memilikinya. Bagaimana tidak? Bila dilogika, kebanyakan dari kita menilai seseorang itu akan sukses dengan lebih mudah jika ia memiliki suatu hal yang dikagumi, diimpikan, atau menarik perhatian banyak orang.
Misalnya, seperti punya wajah yang cantik atau tampan, punya darah bangsawan, lahir dari keluarga yang kaya, memiliki IQ yang tinggi, dan lain-lain. Dalam pandangan kita, orang-orang dengan privilege tersebut pasti akan mudah untuk diterima di suatu lingkungan atau jabatan.
Andai kata mereka mendaftarkan diri di suatu perusahaan, mereka ibarat cukup menyodorkan golden ticket mereka dan cling… langsung diterima deh.
Yah, mungkin seperti itu sekilas gambaran pemikiran kita. Akan tetapi, apakah benar keberhasilan seseorang itu bergantung pada privilege yang mereka punyai?
Coba deh kita simak kisah menarik di bawah ini terlebih dahulu…
Kisah Asiah
Pernah nggak kalian mendengar cerita tentang Asiah? Asiah binti Muzahim merupakan istri dari Firaun, seorang raja Mesir yang dikenal sangat kejam pada masanya.
Firaun dengan ketinggian hatinya mengaku-aku bahwa dirinya adalah tuhan dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk menyembahnya. Siapapun yang tidak melakukan apa yang ia perintahkan, Firaun tidak segan-segan untuk menyiksa bahkan berusaha membunuhnya, termasuk kepada Nabi Musa dan para pengikutnya.
Hidup begitu dekat dengan Firaun yang zalim, tidak membuat Asiah menjadi sosok yang juga berperangai keras. Asiah tetaplah seorang wanita yang sabar, lemah lembut, memiliki keteguhan hati, dan penuh kemuliaan.
Asiah telah mengangkat Nabi Musa sebagai anaknya sedari Nabi Musa masih bayi dan merawatnya dengan sepenuh hati seperti anak kandungnya sendiri. Ia juga turut mengikuti seruan Nabi Musa untuk beriman kepada Allah, walaupun Firaun sering menyiksanya agar keluar dari agama Islam.
Asiah pun senantiasa berdoa kepada Allah, “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (Q.S. At-Tahrim [66]:11).
Masyaa Allah, betapa besarnya pengorbanan Asiah dalam memperjuangkan keimanannya. Penderitaan yang ia terima, tidak sedikit pun mengikis keyakinannya kepada Allah Swt. Bahkan atas keteguhan imannya pun, Asiah menjadi salah satu wanita mulia yang dijamin masuk surga oleh Allah Swt.
Kisah Istri Nabi Nuh
Sekarang kita beranjak pada kisah istri Nabi Nuh.
Selama kurang lebih 950 tahun Nabi Nuh berdakwah kepada kaumnya, hanya sedikit dari Bani Israel yang beriman kepada Allah. Bahkan, pengikutnya tidak sampai berjumlah 100 orang. Istri dan anak Nabi Nuh pun turut menolak dakwahnya untuk beriman kepada Allah.
Dalam QS. Nuh ayat 5-7 dikisahkan Nabi Nuh berdoa kepada Allah,
"Dia (Nuh) berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, melainkan mereka (makin) lari (dari kebenaran). Sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya). Mereka pun tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri."
Akhirnya, Allah pun memberikan azab kepada Bani Israel yang ingkar berupa banjir bandang yang menenggelamkan mereka, termasuk istri dan anak Nabi Nuh.
Na’udzubillah, betapa ruginya istri Nabi Nuh. Ia telah lahir begitu dekat pada kebaikan dan cahaya Allah. Akan tetapi, ia mengingkari kebenaran tersebut dan memilih bergabung kepada kaum yang kafir.
***
Dari kedua kisah di atas, kita dapat mengambil hikmah bahwa keberhasilan atau kesuksesan seseorang itu tidak selalu bergantung pada lingkungan atau privilege yang dimiliki.
Asiah yang hidup di tengah kezaliman Firaun dan pengikutnya, mampu menjadi wanita penuh kemuliaan yang dijamin Allah masuk surga. Sedangkan istri Nabi Nuh yang telah diberikan berkah hidup di tengah kebenaran, tidak menjadikan masa depannya juga penuh kebaikan. Pada akhirnya, pencapaian dan kesuksesan itu bergantung pada diri kita masing-masing.
Banyak kok di sekitar kita, orang-orang yang mampu meraih kesuksesannya di tengah kehidupan yang biasa saja atau bahkan di tengah keterbatasan. Akan tetapi, mereka memiliki keinginan yang kuat untuk terus berusaha dan berjuang lebih keras demi mencapai mimpi yang mereka cita-citakan.
Oleh karena itu, mulai saat ini berhentilah membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain atas alasan apapun. Setiap orang memiliki jatah sukses dan gagalnya masing-masing. Faktor lingkungan atau privilege memang tak ayal memberikan pengaruh atas progres hidupmu. Akan tetapi, yang lebih berpengaruh besar terhadap keberhasilanmu di masa depan adalah dirimu sendiri.
"Successful people aren't gifted, they just work harder than you do." Keep Fighting
Orang sukses tidak berbakat, mereka hanya bekerja lebih keras dari kamu. Tetap semangat!