Awal Kebudayaan Logam di Nusantara
Logam pertama kali dikenal di Nusantara terjadi pada masa akhir prasejarah, yaitu di akhir zaman Megalitikum. Bekas peninggalan masa ini masih bisa kita temui saat ini. Beberapa bangunan megalitik ditemukan di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara).
Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Pangguyangan, Cisolok, Cipari dan Gunung Padang, semuanya di Jawa Barat. Di Sumatera situs megalitik ditemukan di Nias dan Batak di Sumatera Utara. Di Sulawesi, situs megalitik bisa ditemui di Taman Nasional Lore Lindu dan Toraja. Terakhir di Kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara, situs megalitik bisa ditemui di Pulau Sumba, NTT.
Masa logam di nusantara masih bisa dibagi menjadi masa perunggu dan masa besi. Kebudayaan tertua yang bisa ditelusuri sehubungan dengan masa logam di nusantara adalah kebudayaan Buni yang berada di pantai Utara Jawa Barat dan Banten sekitar 400 SM sampai 100 M.
Kebudayaan ini mungkin pendahulu kerajaan Tarumanegara, kerajaan Hindu tertua di Nusantara yang menghasilkan banyak sekali prasasti yang menandai masuknya nusantara dalam era sejarah.
Alat-alat logam sudah dipergunakan sebagai alat pelengkapan upacara adat di masa itu yang menganut animisme dan dinamisme, yaitu keyakinan yang memuliakan roh lingkungan kehidupan dan roh nenek moyang. Arwah leluhur yang sudah tidak ada dipercaya bisa memberikan kekuatan spiritual dam mempengaruhi kehidupan keseharian mereka.
Kebudayaan ini sebenarnya masih bisa dirasakan dimasa sekarang dengan upacara-upacara adat yang bisa ditemui di hampir semua wilayah di nusantara. Seperti contohnya upacara syukuran panen, upacara kematian dan upacara-upacara lainnya.
Setelah kerajaan Tarumanegara, banyak bermunculan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha lain di Nusantara ini, seperti Kutai Kertanegara, Sriwijaya, Syailendra, Majapahit dan kerajaan lainnya. Kerajaan-kerajaan Hindu Buddha ini ada di Nusantara sampai sekitar akhir Abad ke 15, yaitu Kerajaan Majapahit.
Sebelum masa Hindu-Buddha berakhir di abad ke-15, sebenarnya sudah muncul kerajaan Islam pertama, yaitu kerajaan Perlak yang menurut catatan sejarah berdiri sejak tahun 840 M—1292 M di Aceh Bagian Timur. Kerajaan Islam lainnya bermunculan seperti Kerajaan Ternate, Samudera Pasai, Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya.
Dimasa Hindu-Buddha kebudayaan logam berkembang sangat pesat di nusantara. Para empu pembuat senjata pusaka bermunculan di setiap kerajaan dengan ciri khasnya masing-masing. Teknologi tempa lipat dan pencampuran bahan pembuat senjata dikenal baik di masa ini. Tidak hanya sekedar besi, tapi lebih kompleks. Mereka sudah menggunakan campuran bebatuan, bahkan bahan titanium sudah dipakai di masa ini.
Awal Kemunculan Istilah Golok
Istilah “golok” pertama kali dikenal di Jawa Barat berdasarkan manuskrip Sunda kuno tahun 1518, yaitu Sanghyang Siksakanda Ng Karesian di masa Kerajaan Sunda yang berdiri sejak tahun 923 M—1579. Kerajaan Sunda ini adalah salah satu kerajaan di masa Hindu-Buddha yang terletak di bagian Barat Pulau Jawa (Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah sekarang). Kerajaan ini beribu kota di Pakuan Pajajaran serta memiliki dua pelabuhan utama di Kalapa (Sunda Kelapa) dan Banten.
Naskah ini berisi tuntunan serta ajaran agama dan moralitas serta tuntunan untuk menjadi seorang resi (orang bijaksana atau suci). Saat ini naskah yang terdiri dari 30 lembar daun nipah ini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta.
Inilah teks dalam naskah Sanghyang Siksakanda Ng Karesian yang menjelaskan tentang kata “golok”: “...ruk hata, kembang tarate; sing sawatek tulis ma, lukis tanya, Sa(r)wa Iwir/a/ning teutepaan mat elu ganggaman palain. Ganggaman di sang prabu ma: pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris.Raksasa pina/h/ka dewanya, ja paranti maehan sagala. Ganggaman sang wong tani ma: kujang baliung, patik, kored, sadap. Detya pina/h/ka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun. Ganggaman sang pandita ma: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina/h/ka dewanya, ja paranti kumeureut sagala. Nya mana teluna ganggaman palain deui di sang prebu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sarean(ana), eta ma panday tanya”
Terjemahan dari potongan teks tersebut adalah “...ruk hata, kembang taraye: segala macam lukisan, bertanyalah kepada pelukis. Bila ingin tahu tentang segala macam tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, pecut, pamuk, golok pisau teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah: kujang, beliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, pisau raut, pisau dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu, itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prabu, pada petani, para pendeta. Demikianlah jika kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi”
Pernyataan senada bahwa kata “golok” berasal dari naskah tersebut juga dilontarkan oleh Ariyanto, SH yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Kumbang, pendiri Seni Golok Indonesia (SGI) dan penulis buku “The Golok”. Buku ini menjelaskan tentang jenis bilah, nama gagang, filosofi dan juga hasil uji metalurgi yang mencakup material, tingkat kekerasan dan juga foto mikro.
Di buku ini Ki Kumbang membantah literatur yang selama ini mengatakan bahwa golok adalah alat bertani dan berkebun, justru golok adalah senjata para raja di Sunda. Hal tersebut didasarkan penelitian di daerah-daerah dan juga literatur manuskrip kuno.
Hal lain yang dibantah, golok adalah senjata yang berasal dari rumpun Melayu. Golok tidak berasal dari rumpun Melayu, tetapi asli dari tanah Sunda. Seiring perkembangannya golok memang menyebar ke seluruh Nusantara.