Saya tidak perlu kaget dengan pernyataan Fahri Hamzah. Bahwa biaya politik di Indonesia itu mahal. Tanpa Fahri Hamzah yang berbicara begitu, publik pun sudah tahu. Bahwa biaya politik di Indonesia itu mahal. Di kalangan akademisi sudah banyak melakukan kajian. Bahwa biaya politik di Indonesia itu mahal. Tapi oleh karena Fahri Hamzah (politisi) yang berbicara itu, menjadi buming.

Siapa si yang tidak kenal Fahri Hamzah, mantan aktivis, macan parlemen, mantan politisi pentolan PKS. Karena tidak mendapatkan panggung, lalu kemudian ia mendirikan partai politik baru. Partainya, partai Gelora, Gelombang Rakyat, yang baru seumur jagung.

Saya tertarik dengan keberanian Fahri Hamzah dan kritik-kritiknya terhadap pemerintah. Pemikiran-pemikirannya tentang konsep negara dan bernegara cukup brilian. Namun, ketertarikan saya itu menjadi hilang saat ia dan partai politiknya (Gelora) mendukung Boby Nasation maju di Pilkada Medan dan Gibrang Rakabuming Raka maju di Pilkada Solo pada 2020 lalu. Mungkin ini sikap politik Fahri Hamzah dan partai politiknya. 

Di satu sisi, dukungan itu sangat masuk akal. Karena mengingat partai Gelora masih baru dan seumur jagung. Di sisi yang lain, secara tidak langsung Fahri Hamzah mendukung dinasti politik dan polititk feodal. Dukungan ini bertentangan dengan pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasannya yang digaungkan selama ini, yaitu tentang demokrasi.

Tapi saya menganggap itu wajar. Mungkin karena kekosongan kekuasaan dan partai politiknya masih baru. Untuk menggenjot elektoral partai, harus menempel pada kekuasaan dan menunggangi partai-partai politik besar. Maka menjadi aneh kalau Fahrih Hamzah berbicara didepan publik bahwa biaya politik di Indonesia itu mahal.

Saya melihatnya, pertama: dari segi momentum. Fahri Hamzah berbicara didepan publik bahwa biaya politik itu mahal. Itu sebetulnya momentum. Maka menjadi aneh Fahri Hamzah berbicara didepan publik bahwa biaya politik mahal. Publik sudah tahu itu, tanpa Fahri Hamzah yang berbicara begitu. Bahwa biaya politik di Indonesia itu memang mahal dan bukan lagi menjadi rahasia umum.

Kedua: dari segi manuver. Fahri Hamzah berbicara didepan publik bahwa biaya politik di Indonesia itu mahal. Itu sebetulnya ia sedang bermanuver untuk menggenjot elektoral partai dan persiapan untuk Pemilu 2024. Dari sini kita bisa melihat gimmick-nya kemana.

Ia berbicara didepan publik bahwa biaya politik di Indonesia itu mahal. Itu sesungguhnya pesannya kosong, tidak berisi dan sangat politis. Untuk memutus mata rantai korupsi di Indonesia, ia menawarkan perbaikan pada sistem politik di Indonesia. Saya melihatnya, antara dua: perbaikan pada sistem politik Indonesia atau jualan politik Gelora semata. Dua-duanya masuk. 

Sistem politik yang membuat biaya politik di Indonesia itu mahal. Yaitu sistem Pemilu (Pilpres, Pileg, dan Pilkada) yang koruptif. Berdasarkan kajian KPK, untuk calon kepala daerah saja, satu kursi di DPRD dibayar 50 juta hinga 500 juta per kursi. Itu baru satu kursi, belum lagi dua kursi atau tiga kursi. Biayanya, bisa berkali-kali lipat. 82 persen pilkada dibiayai oleh cukong. Inilah sistem politik dan Pilkada di Indonesia yang koruptif.

Mau tidak mau, suka tidak suka, itulah sistem politik di Indonesia. Untuk bisa menjadi calon kepala daerah, calon kepala daerah harus bekerjasama dengan cukong. Di sini, cukong yang membiayai calon kepala daerah untuk bertarung di konstelasi Pilkada. 30 miliar hingga 60 miliar calon kepala daerah dibiayai oleh cukong. Akibatnya apa? Yang terjadi korupsi (kebijakan), politik pesanan, dan kualitas pemimpin rendah-(an). Maka tidak perlu kaget kalau ada kepala daerah yang ditangkap oleh KPK.

Itulah produk politik di Indonesia: kepala daerah hasil Pilkada prosedural dan sistem politik yang koruptif. Berdasarkan catatan KPK, ada 429 kepala daerah hasil Pilkada yang ditangkap oleh KPK karena melakukan korupsi. Jadi, tidak perlu kaget kalau ada kepala daerah yang ditangkap oleh KPK. Karena sistem politik Indonesia itu koruptif.

Kelakar Fahri Hamzah bahwa biaya politik di Indonesia itu mahal. Itu sesunggahnya ia tidak jujur. Bukankah dulu Fahri Hamzah di pemerintahan, di legislatif. Di DPR, menjadi wakil ketua DPR, wakil rakyat, dan produk legislasi. Ikut merumuskan sistem Pemilu, merumuskan sistem Pemilu yang koruptif.

Kini ia teriak bahwa biaya politik di Indonesia itu mahal. Ini tidak lebih dari apa yang saya sebut sebagai maling teriak maling, lempar batu sembunyi tangan. Tetapi kita harus memakluminya, mungkin karena ia tidak berada di kekuasaan lagi atau karena partai politiknya kecil, masih baru. Sehingga teriakan-teriakan itu dianggap perlu, minimal untuk menggenjot elektoral partai.

Partai-partai politik kecil sulit untuk bertarung di Pilpres. Sebab, ada pengaturan di undang-undang Pemilu, yaitu apa yang disebut sebagai ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Partai-partai politik besar "potensial" (jika tidak dikatakan mudah) mecalonkan presiden dan wakil presiden. Partai-partai politik kecil sulit (jika tidak dikatakan tidak bisa) mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Itulah produk legislasi Fahri Hamzah, dkk. Produk politik yang koruptif, sistem Pemilu yang koruptif, dan sistem politik yang ia kritik sendiri.