Kala itu, setiap pagi tanpa komando, ramailah sebuah selasar kontrakan dekat gerbang kampus yang dibuka sedikit. Ruang sempit permanen gerbang tersebut, memang sengaja untuk menolak motor dan mobil.
Celah sempit tersebut hanyalah cukup untuk satu orang, itu pun harus sedikit memiringkan badan agar masuk. Di sinilah letak entertain nongkrong di selasar. Setiap mahasiswa yang melintas gerbang, pasti tertahan beberapa detik untuk dinikmati segala estetikanya.
Di setiap kenyamaan pasti ada saja pergiliran terciptanya chaos. Seorang mahasiswa dengan dandanan khas taktikal warna dominan hijau olive khas militer Israel menjadi bahan tertawaan setiap melewati celah sempit itu. Kami memang keterlaluan, dengan arogansi kebebasan hutan rimba tentunya.
Sampailah si olive green pada titik didih amarah, beloklah si mahasiswa dengan baret ungunya yang tampak kebesaran tersebut ke selasar kami. Dan, brakk, langsung baku hantam tanpa pemanasan ujaran kebencian. Hola, Menwa!
Tak dapat dimungkiri, militerisme di kampus akan selalu ada penolakan-penolakan dari nalar-nalar kebijakan dan perlawanan kelompok-kelompok antinya.
Pergerakan Menwa yang menyusup ke barisan perlawanan Orde Baru saat itu, bukanlah rahasia lagi. Karena tiap hari kami ketemu dalam predikat yang sama, mahasiswa yang culun.
Era fasisme militerisasi seharusnya sudah habis, bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru. Namun, dalam segala bentuknya, militerisme akan tetap menyusup ke dalam kampus. Tidak akan berhasil sebuah revolusi mental jika di situ masih tetap tertanam fasisme militeristik.
Militerisasi dan militerisme di kampus sangatlah bertentangan dengan sifat dan karakter kampus yang independen. Jika militerisme menguat di kampus, maka tumbanglah kebebasan mimbar akademik.
Segala kegiatan kampus, baik akademik dan nonakademik, tidak bisa dipengaruhi oleh militerisme. Jangan sampai kampusmu menjadi fasis. Alasan bela negara bukanlah sesuatu harga mati bagi keterlibatan militer dalam usaha menghunjamkan kuku militerismenya.
Tidak ada hubungan yang kuat antara subjek pemberi materi dari militer dengan keberhasilan pola tanam bela negara di kampus. Malah fatal jika pemberi materi memaksakan ideologi bela negara di sebuah komunitas nalar bebas (kampus).
Diriku yang sebelumnya juga pernah merasakan perpeloncoan era Ospek oleh Menwa merasakan hal tersebut. Kenapa kami di-Ospek Menwa? Karena kami memang belum punya kakak tingkat.
Saat itu memanglah era di mana Menwa berasa di atas angin semenjak tahun kelahirannya, 1959. Menwa menjadi perpanjangan tangan militer di bawah Komando Kewilayahan Kementerian Pertahanan hingga tahun 2000.
Tak pelak, Ospek yang sudah khas dengan perundungan saat itu makin lengkap penderitaan dengan suguhan-suguhan sparartan dan kesemaptaan khas Menwa. Lari di setiap pagi, hukuman fisik, kekerasan verbal, hingga sandiwara-sandiwara chaos garing yang malah merusak properti kampus.
Padahal, kalau dipikir saat itu, Menwa tak ubahnya bagian dari salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Tentunya dan seharusnya sama imutnya dengan kegiatan UKM lainnya, seperti tari, paduan suara, dan pramuka.
Semenjak terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun 2000, Menwa sekarang berada di bawah pembinaan perguruan tinggi dan tidak lagi di bawah pembinaan Kementerian Pertahanan. Namun, beberapa aktivitas Menwa masih tetap menjalin kerjasama dengan Komando Kewilayahan TNI.
Menwa bagian dari bias paramiliter yang bersemayam di kampus. Menwa adalah kekuatan semimiliter yang kokoh oleh struktur organisasi, taktik, pelatihan, yang fungsinya serupa dengan militer profesional.
Namun, Menwa tidak dimasukkan sebagai bagian dari angkatan bersenjata formal di Indonesia. Menwa adalah perpanjangan tradisi penciptaan milisi dan laskar di era perjuangan kemerdekaan.
Menwa adalah reduplikasi penggunaan seragam, atribut, dan bahkan bersenjata mirip militer oleh sipil. Hal ini tentunya dapat menimbulkan persepsi tersendiri di wilayah kampus ataupun di masyarakat.
Pembiaran penggunaan seragam, atribut, dan bahkan senjata oleh sipil tersebut pada akhirnya akan menurunkan morel militer yang sesungguhnya, TNI. Tidak ada lagi kebanggaan terhadap seragam dan atribut yang dipakainya, karena tidak ada bedanya dengan sipil.
Apalagi Pendidikan Dasar dan Latihan Kemiliteran mereka sudah setara dengan kualifikasi Infanteri Gaya Baru atau Raiders. Hingga berkembang dengan kualifikasi khas komando lainnya, seperti Sniper, Scuba Diver, Paratrooper, dan Para Rescue, serta lainnya.
Kalau mau gagah-gagahan di kampus, bukankah sudah disediakan kampus khusus bagi peminat militer yang berupa Akmil (Akademi Militer)?
Bias paramiliter di kampus harus segera diselesaikan secara jelas. Kampus tak perlu diramaikan oleh semikombatan yang bisa saja merusak kesakralan kampus sebagai wilayah ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.
Bias di sini merujuk pada fakta bahwa mereka memang menerima pelatihan kemiliteran, menerima logistik dan persenjataan. Mereka diakui negara sebagai program resmi. Namun, tidak masuk dalam struktur resmi militer, tapi dilekatkan secara legal sebagai kebijakan negara untuk digunakan dalam perang terbuka jika diperlukan.
Jika ditelisik sejarahnya, kelompok-kelompok paramiliter memang salah satu aktor penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Jika Anda telusuri infomasi-informasi dalam jaringan, maka Anda akan dapatkan banyak sekali paramiliter di Indonesia. Kecenderungan untuk bergaya "army looks" cukup mendongkrak pertumbuhan paramiliter di Indonesia.
Di samping itu, paramiliter kampus sangat berbahaya jika berada di wilayah konflik. Konvensi Jenewa hanya melindungi dua golongan dalam sebuah kejahatan perang, yaitu kombatan (militer) dan sipil.
Terus, bagaimana nasib paramiliter, dalam hal ini Menwa? Apalagi sudah dipersenjatai setingkat dua golongan paramiliter di dunia: Militarized Police (MP) dan Private Parmilitary (PP). Senapan serbu yang mereka pegang cukup menjadikan Menwa sebagai sasaran umum sebuah konflik bersenjata.
Sekali lagi, biasnya: military or civilian? Tentunya statusnya jatuh pada "paramiliter" yang susah ditangani oleh konvensi Jenewa jika terjadi kejahatan perang.