Hari itu saya hadir sebagai konsultan rumah sakit pemerintah. Saat break, saya menawarkan untuk berkeliling melihat-lihat suasana rumah sakit. Mereka menyetujuinya dan antusias mengantar saya.

Tibalah saya di UGD, kebetulan suasananya lagi ramai. Banyak sekali polisi yg datang, dari yg masih muda sampai yang tua. Jumlahnya mungkin sekitar lima puluhan polisi.

Saya pikir ada kecelakaan masal, tahunya ada pasien yang sedang dipijat jantung di ruang resusitasi, yang ternyata seorang polisi. Bapak berusia sekitar 50 tahunan, saat seusai acara kepolisian tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri, tak bernapas dan tak berdenyut.

Sekian lama dilakukan, resusitasi tak berhasil. Pak polisi dinyatakan meninggal dunia oleh ibu dokter.

Tiba tiba datanglah dua orang yang tak berseragam polisi, salah satunya seorang ibu yang masih memakai daster dan membawa helm besar. Tampak ia terburu-buru berlari mendekat ke ruang resusitasi.

Ia adalah istri pak polisi, tentu saja ia kaget tak percaya. Karena lemas seperti mau pingsan, ia dibawa oleh anggota polisi untuk duduk di kursi.

Mulailah ia menangis, menangis sesenggukan, ujung kain jilbabnya dipakai mengusap air mata yg bercucuran. Sebagian anggota polisi yang wanita mengusap-usap badannya.

Kemudian Ibu dokter yang telah melakukan resusitasi datang menghampiri. Berdiri persis di depan ibu. Kedua tangannya diletakkan di kedua pundak ibu yang menangis. Diguncang-guncangkan pundak ibu dengan kerasnya.

Sambil itu, Dokter berteriak-teriak hingga terdengar seisi ruangan.

“Ibu jangan nangis duluuuu, saya mau jelaskan...”

“Ibu jangan nangis duluuuu, saya mau jelaskan...”

Ibu tetap menangis keras, tak bisa berhenti.

Dokter akhirnya menjelaskan seadanya, sesudahnya ia meninggalkan ibu yang terus menangis.

Sebenarnya saat itu saya merasa ada sesuatu yang kurang benar. Namun karena saya hanyalah seorang tamu, saya pun diam dan kemudian berusaha memakluminya.

Setahunan kemudian saya tak mengingat lagi kejadian itu hingga suatu hari. Hari di mana saya keliling masuk ke ruang ICU rumah sakit. Saya dapati beberapa pasien yang sedang diobservasi, kebetulan juga pas ada dokter anastesi dan dokter umumnya lagi visitasi.

Saya duduk di nurse station, tak lama kemudian saya mendengar suara orang menangis. Saya dapati ternyata ia adalah seorang ibu yang terbaring di bed pasien, suaminya duduk di kursi sebelahnya.

Dokter anastesi mendatanginya, dan langsung bilang padanya, “ibu gak usah nangis ya, ngapain nangis, udah stop berhenti nangisnya.”

Lalu dokter itu pamit kepada saya untuk ke ruang operasi, saya persilakan.

Ibu tetap menangis. Giliran dokter umumnya yang datang menghampiri. Kurang lebihnya sama, dokter suruh ibu diam berhenti menangis, jari telunjuk ditaruh di bibirnya sebagai gestur agar ibu segera diam.

Ibu tetap saja menangis. Kali ini saya yang datang menghampiri. Saya pun bertanya padanya, “Kenapa ibu menangis?”

“Saya sedih dokter...”

“Sedih kenapa?”

“Saya sedih kenapa saya sakit seperti ini, di rawat di ruang ini, huhuhu.”

“Ibu harusnya bersyukur, kemarin ibu sempat tak sadarkan diri di ruangan rawat inap, kondisi ibu menurun. Sekarang ibu diobservasi ketat, ditangani oleh dokter terbaik, perawat terbaik, alat yang canggih. Kalau saja ibu tak segera ditangani mungkin kondisi ibu bisa lebih buruk”.

“Jadi kemarin saya sempet gak sadar ya, dok?“ sambil bingung gak percaya

“Iya, ibu sempat tak sadar. Tapi lihat sekarang ibu sudah bisa menangis, sudah bisa merasakan, bisa ngomong jelas sama saya, jadi ibu sudah lebih baik.”

“Hari ini ibu boleh menangis, besok-besok ibu berhenti menangis ya, nanti kalau nangis terus, semua badannya ikut sedih, yang menunggu juga ikut sedih, saya juga jadi sedih”.

Saya pun meninggalkan ibu itu dengan suaminya setelah saya sempatkan mengusap-usap tangannya yg terpasang infus.

Sekitar tiga hari kemudian, saya lagi keliling ke nurse station rawat inap kelas 1. Salah satu perawat menyampaikan kepada saya, ada pasien seorang ibu yang menyampaikan salam dan bilang terima kasih.

Lalu saya sempatkan menengok langsung ke kamar pasien diantar oleh perawat. Sesampainya di sana, ibu itu dengan ceria bilang kepada saya

“Dokter, saya sudah berhenti menangis. Makasih ya dokter sudah membesarkan hati saya. Saya sudah boleh pulang sama dokternya. Saya makasih banyak ya dok.”

Saya pun tersenyum senang. Perawat dan keluarganya pun ikut senang.

Sering kali kadang kita lupa bahwa pasien dan keluarganya bukan hanya sakit fisik, namun juga psikis. Mereka bukanlah robot tanpa perasaan.

Menangis adalah hal yang alamiah, terutama saat kita merasakan sebuah kehilangan yang teramat sangat. Kehilangan kepercayaan diri, kehilangan keyakinan hati, hingga kehilangan orang yang kita sayangi.

Betapa menangis bersimbah air mata juga mengeluarkan rasa duka, bentuk ekspresi dari luka hati, dapat menurunkan stres atau frustrasi yang melanda.

Menangis tidak selalu dapat diidentikkan dengan kemanjaan dan kelemahan, apa pun itu alasannya. Berikanlah waktu, berikanlah ruang, berikanlah kesempatan. Karena itu adalah karunia Tuhan, pelipur lara hati yang merana.

Dan karena obat yang diberikan hanya mampu mengoreksi badannya, tapi tidak dengan hatinya. Itu pun belum tentu semuanya akan berhasil.

Sedangkan aku... Saya pun menangis keras keras saat Abah dinyatakan meninggal di ICU rumah sakit yang saya ikut membangunnya dengan susah payah.