Euforia pelaksanaan Ramadan sedemikian besarnya merasuki umat Muslim Indonesia yang mayoritas. Seakan selama satu bulan penuh umat Muslim berpuasa akan menghiasi kehidupan, mulai dari dunia nyata hingga berlanjut ke dunia maya. Tampaknya pelaksanaan ibadah puasa akan menghinggapi ruang publik bangsa Indonesia.

Ada banyak seruan dan imbauan yang digalakkan di ruang publik demi menghormati dan menghargai umat Muslim di Indonesia selama berpuasa. Imbauan untuk menutup warung makan dan minum selama pagi hingga petang, sekali lagi alasannya untuk menghargai orang yang berpuasa.

Tetapi, apakah hanya umat Muslim saja yang ada di ruang publik? Mungkin pemerintah dan semua kalangan mesti menyadari bahwa ada warga negara yang lain, mungkin saja mereka membutuhkan makan dan minum serta pemilik warung yang berharap ada pemasukan tiap harinya. Alasan menghargai mestilah proporsional, tidak merugikan pihak lain.

Selama berpuasa, ada banyak hal rutinitas umat Muslim yang mendayagunakan speaker masjid. Mulai dari menjelang berbuka hingga waktu sahur, padahal mungkin ada tetangga rumah dan kompleks yang non-Islam akan terkena dampaknya. Bisa saja waktu istirahatnya selama umat Muslim berpuasa mengalami sedikit gangguan.

Kalau umat Muslim sedikit memahami orang-orang di sekitarnya yang non-Islam, maka mungkin bunyi kombinasi alat-alat bekas yang uring-uringan bunyinya tak akan dikonserkan keliling gang dan komples untuk membangunkan orang sahur. Apakah umat Muslim tidak memiliki gawai untuk menyetel alarm? Biar tidak terkesan mengganggu orang non-Islam.

Tampaknya sindrom mayoritas benar-benar meresap dalam relung dada umat Muslim, mungkin saja orang-orang minoritas terganggu. Tetapi, siapakah kiranya yang bernyali memprotes kaum mayoritas? Seandainya kebebasan beribadah yang dinikmati oleh umat Muslim juga dapat dinikmati dan diekspresikan oleh kaum minoritas, tanpa ada gejolak protes tentu akan menggembirakan.

Faktanya, yang terjadi di Indonesia, ada beberapa kasus yang menunjukkan betapa susahnya kaum minoritas beribadah. Kasus penutupan Gereja Yasmin, kasus Syiah Sampang Madura, pelarangan Ahmadiyah dan berbagai aksi teror di rumah ibadah yang dilakukan oleh penganut agama mayoritas. 

Lalu, pertanyaannya, apa arti sila Ketuhanan Yang Maha Esa kalau kaum minoritas tidak mendapatkan haknya untuk menjalankan ibadahnya?

Keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia semestinya menyadarkan semua anak bangsa baik yang mengaku sebagai pemeluk mayoritas maupun yang minoritas bahwa bangsa Indonesia terlahir dari rahim keragaman. Barang siapa yang mengusik keragaman sejatinya telah melupakan sejarah berdirinya bangsa Indonesia.

Walau pejuang bangsa Indonesia mayoritas umat Muslim, tetapi jangan menafikan bahwa ada juga pahlawan bangsa yang berasal dari agama minoritas. Yang perannya dalam perjalanan bangsa tidak dapat dimungkiri dan ditafsir betapa besarnya pengorbanan yang mereka tempuh kala memperjuangkan kemerdekaan.

Mayoritas perlu menahan diri terhadap sikap merasa memiliki bangsa ini secara utuh, tanpa memikirkan kehadiran saudara-saudara yang minoritas. Ada banyak kisah indah dalam perjalanan sejarah bangsa di mana mayoritas dan minoritas melebur dalam satu tujuan guna menggapai cita-cita kemerdekaan.

Kalangan mayoritas perlu mengingat kontribusi yang tidak sedikit yang diberikan oleh kalangan minoritas. Hanya saja, mereka-mereka yang berpandangan sempit, menyebut kalangan penganut agama yang secara jumlah sedikit dari jumlah penduduk bangsa Indonesia sebagai minoritas. Pada dasarnya anomali, bukankah menyembah Tuhan bukan soal sedikit atau banyak, tetapi sejauh mana berkontribusi terhadap kehidupan?

Rasanya begitu aneh bila sesama penganut agama saling menutup ruang bagi penganut agama lain, untuk mendapatkan ketenangan dalam beribadah. Kan, repot bila sesama penyembah Tuhan sibuk bersaing padahal jalan mengagungkan Tuhan bukan jalan setapak, melainkan jalan itu membentang luas, seluas jagad ikhtiar para pencari jalan menuju Tuhan.

Sisi anomali yang lain yang ditunjukkan kalangan mayoritas penganut agama di Indonesia. Ada sosok yang begitu diagungkan dari Cina, yakni Cheng Ho, bahkan mendapat tempat di bilik hati umat Muslim. Tetapi, sosok Ahok begitu mereka benci dan sampai-sampai dikerahkan pasukan dari antero tanah air guna mendemo pemerintah, supaya Ahok diadili dan dipenjara. Padahal, Ahok juga keturunan dari Cina sebagaimana Cheng Ho.

Tampaknya kaum mayoritas penganut beragama mendasarkan pertimbangannya pada identitas kesamaan agama. Pertanyaannya, sampai kapan kalangan minoritas bangsa ini harus mengalami kondisi semacam itu? Harapan kepada kalangan muda bangsa Indonesia untuk merajuk kembali benang-benang keragaman bangsa yang telah terkoyak oleh aksi-aksi yang mengatasnamakan mayoritas.

Sikap terbuka dan saling menghargai yang patut dikedepankan oleh semua pihak, baik yang mengeja dirinya sebagai kaum mayoritas maupun kepada kaum minoritas. Perlunya sikap saling respek dan mengakui kehadiran satu sama lain, sebab hanya dengan jalan mengakui antar sesama sebagai jalan harmonis guna menjembatani perbedaan.

Bila kaum minoritas bisa dengan leluasa menjalankan ibadah seperti puasa, tentu harapan yang sama dan perlakuan yang serupa terhadap kebebasan beribadah yang juga mesti dirasakan kalangan minoritas. Sebab sejatinya keragaman perlu disikapi dengan saling respek satu sama lain. Selanjutnya, kepada negara diharapkan berdiri di tengah memberikan jaminan kepada semua, baik mayoritas maupun minoritas.

Hanya dengan jalan semacam itu bangsa Indonesia bisa menjadi juru damai, mediator, dan juru bicara terhadap berbagai tindak ketidakadilan yang diterima oleh kalangan minoritas di negara lain. 

Sebab, sadar atau tidak, bangsa Indonesia adalah miniatur keragaman. Sehingga agama-agama besar di dunia bisa dipastikan ada di Indonesia untuk itu posisi tawar di mata dunia internasional sebagai juru bicara terhadap perdamaian konflik beragama dapat dimainkan oleh bangsa Indonesia dengan baik. 

Tetapi, sekali lagi, kuncinya respek dan mengakui hak-hak minoritas, bukan malah menjadikan minoritas mesti bersabar menerima tindak tanduk perlakuan kaum mayoritas.