Sering teriak-teriak anti-asing. Apa-apa yang berbau atau datang dari luar, mereka tolak. Impor, dilarang. Lebih-lebih ngutang, pinjam uang ke luar negeri. Semua serbatidak boleh.

Di saat yang sama, mereka paling gemar tuduh yang lain sebagai anteknya. Yang pasok kebutuhan warga dari luar, karena memang dalam negeri tidak tersedia (atau mahal), disebut budak asing. Yang pinjam uang dari luar untuk bangun negeri, bikin infrastruktur demi memaksimalkan pengelolaan sumber daya, dibilang tidak nasionalis. Sekali asing tetap asing. Begitu-begitulah alasannya.

Iya kalau mutlak. Mereka jelas hebat. Tapi kalau sekadar “katanya” saja, sementara praktiknya tidak mencerminkan sikap dan pendirian awalnya, apa omong? (maksudnya bagaimana?). Itu namanya munafik.

Contoh. Dulu, melalui pemimpinnya sendiri, mereka mengakui betul validitas dan kredibilitas sebuah “laporan”. Itu terkait akan bubarnya Indonesia di tahun 2030.

“Di negara lain (asing) sudah bikin kajian-kajian. Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030. Bung, mereka ramalkan kita (Indonesia) ini bubar.”

Begitu orasinya. Berniat membakar semangat kader. Hendak menaikkan rasa nasionalisme publik. Ingin mendidihkan militansi kalangan dan pendukung mereka.

Hanya sayang, penggunaan informasi asing di muka umum seperti itu justru memancing tanya. Publik jelas akan ragu terhadap konsistensi wacana anti-asing yang sering mereka gaungkan ke mana-mana. Penolakan utamanya atas barang impor dan utang luar negeri akan buyar karena sikap inkonsistensinya sendiri.

Hari ini, inkonsistensi berpolitik mereka itu tampil kembali. Melalui Ketua DPP salah satu partai pendukungnya, mereka ajukan usul ke KPU agar menggelar satu sesi debat capres-cawapres khusus versi bahasa Inggris (bahasa asing!).

“Boleh juga kali, ya. Hal-hal rinci seperti itu perlu didiskusikan.”

Alasannya sungguh profesional sekali. Mau tidak mau, pemimpin Indonesia, siapa pun, akan bergaul dan banyak berbicara di forum-forum internasional. Itu sebabnya penguasaan bahasa Inggris sangat dimutlakkan. Debat versi itu akan membuat capres-cawapres matang dalam menguasai bahasa asing.

Menjaga Konsistensi

Sulit memang menjaga konsistensi di dunia politik. Ego idealis hampir tidak mungkin untuk dipertahankan. Adagium terkenal pun sudah menegaskan itu: tidak ada teman dan musuh abadi dalam politik. Semua serbabisa berubah.

Meski begitu, tetap saja tidak ada yang mustahil. Segala hal bisa dipertahankan dan diperjuangkan. Kalau kata anak-anak HMI, "Yakusa, yakin usaha sampai." Tinggal diupayakan saja. Gitu aja kok repot?

Jika betul mereka anti-asing, dan bukan hanya “katanya”, mestinya mereka menolak-serta segala hal yang berbau-bau asing, dong. Apa pun bentuk dan coraknya. Anti-asing, ya anti-asing. Harus total dalam bersikap, kan?

Nyatanya, menjaga konsistensi sikap anti-asing saja tidak becus. Mereka tampak hanya menggunakan itu sebagai senjata menggaet hati publik. Mereka pegang paham kalau kebanyakan warga kita itu bodoh, punya kebiasaan yang selalu mau dan suka dibohongi.

Okelah. Tapi sampai kapan laku seperti itu akan terus bertahan? Tidakkah kita harus mulai mempertimbangkan kalau kesadaran warga, secara perlahan, beranjak naik ke arah positif? Berbagai survei sudah menunjukkan itu. Misalnya dari SMRC, sebagaimana dituturkan salah satu penelitinya:

“Mereka harus paham, yang mereka hadapi hari ini adalah warga dengan kesadaran kritis. Mereka berhadapan dengan kelompok warga yang sudah mampu mempertimbangkan secara rasional setiap pilihan politik yang akan diambilnya.”

Pun demikian dengan sosok si calon. Warga, masih menurut survei tersebut, sudah jago dalam hal memilih pilihan hati. Hampir tidak ada lagi yang memilih berdasar faktor-faktor kuno seperti dari aspek sosiologis dan demografis belaka.

“Faktor sosiologis dan demografis, yang biasanya secara tradisional kita percaya penting dalam pilpres, semakin tidak relevan. Yang relevan pada warga kita sekarang ini adalah figur yang dinilai positif, punya kualitas personal yang baik.”

Tahu bahwa figur yang seperti itu berpotensi digandrungi warga, maka masih adakah alasan untuk tidak menjaga konsistensi dalam bersikap? Setidaknya bersikap positif di hadapan warga, bukan malah menunjukkan kebobrokan sendiri di hadapan calon pemilih.

Demikian inilah saran saya untuk koalisi oposisi, kelompok yang hampir selalu saja terlihat munafik itu. Saya sayang mereka, dan itu kenapa saya merasa perlu memberinya saran. Hidup koalisi oposisi..!!