Bagi mereka yang suka dunia politik, demokrasi adalah ajang yang paling di tunggu-tunggu. Acara paling sakral yang menggemparkan seluruh jagad raya. 

Tapi bagiku, demokrasi adalah hiruk-pikuk yang menyusup jauh ke kepalaku. Entah kenapa aku selalu saja pusing dengan sistem perpolitikan itu.

Bukannya tidak menghargai sistem perpolitikan yang ada, tapi sedikit saja mencium aroma politik, kepalaku berasa pusing tujuh keliling. Bagiku, saat kita berbicara politik, tidak akan ada habisnya. Selalu saja ada tema-tema baru yang bermunculan.

Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Itulah pengertian tentang demokrasi yang paling aku hafal sejak duduk di bangku sekolah dasar. 

Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sederhana mungkin, tapi memiliki andil dan tanggung jawab cukup besar.

Menjelang pemilu seperti saat ini. Di mana-mana bertebaran pamflet-pamflet yang berisi para kandidat. Setiap partai megusung nama-nama yang akan mewakili masing-masing kubu. 

Berbagai slogan dan janji bertebaran di mana-mana. Saling mengungguli dengan kinerja masing-masing. Bahkan mereka rela masuk ke perkampungan dan berbaur dengan masyarakat.

Ah, alangkah indahnya pemandangan seperti ini. Kelihatan akrab dan saling merangkul satu sama lain. Andai saja ajang-ajang seperti ini ada setiap waktu, tidak hanya ada saat menjelang pemilihan presiden saja, pasti akan tenteram bangsa ini.

Berbicara tentang politik, pasti akan ada masanya kita dihadapkan dengan sistem pemilihan umum atau dalam bahasa kesehariannya kita singkat dengan pemilu. Luberjurdil, itulah ketentuan pelaksanaan pemilu: langsung, umum, bertanggung jawab, jujur, dan adil.

Melihat dari istilah tersebut, pemilihan umum seharusnya dilaksanakan sesuai dengan hati nurani, tidak ada pemaksaan, apalagi sogokan. Biarkan hati memilih sesuai dengan aspirasinya tanpa memandang buih, iming-iming, dan lain yang sebagainya.

Aspirasi memang penting, karena dari situlah rakyat dapat menilai potensi yang dimiliki masing-masing kubu. Tapi, action itu lebih penting.

Demokrasi bukan slogan sepenuh hati. Di mana setiap slogan yang dikumandangkan tidak lepas dari aspirasi atau masukan-masukan orang lain, bukan aspirasi hati nurani. Karena fakta yang bermunculan di lapangan itu berbeda. 

Bukan tak mengikuti alur, hanya saja kadang meleset atau menjauh dari jalan yang semestinya dilalui.

Ada kalanya jalan itu menanjak atau berkelok. Inilah yang kadang membuat goyah siapa pun yang mengemudikannya. Jika rem kendali dipersiapkan dengan matang, pastilah akan aman-aman saja. Akan tetapi, jika rem itu blong, pastinya hal-hal yang tak dikehendaki bisa saja terjadi.

Kita tak boleh berpikir jauh akan hal itu. Yang seharusnya kita pikirkan adalah bagaimana agar sepeda tersebut tetap melaju dengan rem yang pakem dan pedal yang baik. 

Itulah kiasan untuk sistem politik kita. Bagaimana perpolitikan itu tetap maju dan mampu menopang sebuah komitmen, yang nantinya mampu mengaspirasi dan mengayomi seluruh lapisan masyarakat.  

Berlandaskan Pancasila, demokrasi kita tidak lepas dengan sistem Pancasila, di mana Pancasila tersebut dijadikan landasan dari setiap keputusan yang akan diambil nantinya. 

Selain itu, Pancasila juga menjadi ideologi yang mencerminkan kepribadian bangsa. Karenanya, demokrasi yang dianut di negara kita disebut dengan demokrasi Pancasila.

Demokrasi tersebut tidak lepas dari sila-sila yang lima. Sebagai contoh sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.  

Dari sila keempat tersebut sudah terlihat jelas bahwa demokrasi yang digunakan di negara kita bertujuan untuk memenuhi tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia itu sendiri.

Pengambilan keputusan dilaksanakan dengan jalan musyawarah atau mufakat demi tercapainya kelangsungan kesejahteraan bersama.

Asas kerakyatan, yakni kesadaran untuk cinta kepada rakyat, berpadu dengan nasib dan cita-cita rakyat. Dalam istilah Jawa, kita kenal dengan istilah manunggaling jiwo yang berarti rasa senasib sepenanggungan, di mana rakyat diharuskan memiliki cita-cita yang satu, yakni menjadikan Indonesia lebih sejahtera.

Sedangkan asas musyawarah memperlihatkan agar rakyat menjadikan musyawarah sebagai media untuk mempersatukan pendapat, di mana aspirasi-aspirasi yang muncul ditampung menjadi satu, lalu dipilih mana yang terbaik untuk rakyat melalui mufakat. Kemudian dihasilkan satu kesepakan bersama.

Kesepakatan tersebut bisa diperoleh memalui voting ataupun yang lainnya. Yang terpenting si pendapat yang mengeluarkan aspirasinya tidak bersiteru apabila ide yang mereka kemukakan tidak dipakai. 

Semua belah pihak sama-sama bersepakat untuk menerima hasil musyawarah, bagaimanapun hasilnya. Yang terpenting adalah yang terbaik untuk semua kalangan.

Setiap warga berhak menyampaikan pendapatnya sebagai perwujudan hak dan tanggungjawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Penyampaian ide atau gagasan tersebut tentunya tidak lepas dari Pancasila dan UUD 1945.

Karenanya, warga negara yang menyampaikan aspirasinya di muka umum berhak mengeluarkan pikirannya secara bebas, dan mendapatkan perlindungan hukum. Tetapi, mereka juga berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang lain.

Selan itu, mereka juga berkewajiban menaati hukum, peraturan perundang-undangan, menjaga keamanan dan ketertiban umum demi menjaga keutuhan dan persatuan bangsa.