Belum aja jadi pangkat Profff, atau sekelas Jendral, apa itulah—saya tidak tahu!

Tetapi Berlaga-Nya, uhhhhhh ‘ampun’..... Sudah melampui orang yang lebih pakar.

Kaya ilmuan, kaya ahli. Udah kaya seperti ‘hakim’. Belagunya tidak karu-karuan, tidak meng-scroll ke bawah dan tidak pula melihat ke belakang. Apa iya? Dengan segala potensi dan skill yang Anda punya. Itu bisa menembak dan merobek kepala hakim.

Ku rasa belum tentu! Sebab, besar-kecil kasus dan masalah yang kita selesaikan. Itu tergantung sepenuhnya pada bukti, fakta dan dokumen yang Anda pegang.

Itu pun juga, jika kasus yang Anda pegang dengan dalil dan kitab "hukum Perdata". Sangat gampang sekali Anda, selesaikan. Tunggu dulu!

Tetapi bagaimana jika kepala ‘hakim’ memegang "kitab Pidana"?

Apa Ia tidak menerangai sistem politisasi?

Dari sejak pertama kali berdirinya suatu lembaga independen negara, jika kalau masih memiliki hubungan darah dengan suatu aliran. Apa itu korporasi, institusi, atau kelompok-kelompok partai, dari setiap bak kepentingan.  Itu dengan sangat mudah di intervensi dan di perkeruh oleh kekuasaan.

Sekarang,— roda dan laju bak kepentingan. Itu tergantung dari kue kekuasaan. Jika kue kekuasaan menyediakan tupoksi untuk makanan publik. Maka saya jamin! Keadilan dan kemerdekaan tertinggi di kepala hakim. Itu “ada di tangan rakyat”.

Tetapi bagaimana, jika kue publik di makan di atas meja kekuasaan. Jawabannya; jelas sekali! Mudah di politisasi oleh otak hakim.

Sebagai negara demokrat, korupsi sudah menjadi bahan produksi, suap-menyuap antar pelaku, klien. Itu sudah sudah menjadi biasa. Hakim dan jaksa tidak merasa heran, jika kasus mencuri sendal di jatuhkan hukuman lima tahun penjara. Di bandingkan mafia koruptor. Itu di jatuhkan lebih ringan daripada kasus pencuri sandal. 

Itulah hukum, kebal ke rezim tetapi lapuk ke publik. Tumpul ke atas, namun runcing ke bawah. Hukum tidak lagi kontra terhadap kebijakan publik. Tetapi lebih pro terhadap kepentingan kekuasaan.

Tidak jauh berbeda dengan kepala hakim, _yang benar bisa salah, _yang salah bisa benar, tidak ada lagi hukum perdata, dan hukum pidana di sini. Jika masih ‘hakim’ tenggelam dalam sistem politik. Itu tampaknya masih segar di politisasi. 

Sekalipun kasus perdata yang di ajukan oleh pihak Advokat/Pengacara. Itu tidak menutup kemungkinan pihak hakim memakai hukum pidana. Dengan misi sistem politisasi. 

Kita tidak akan tahu, apa akan yang terjadi di belakang layar. Tetapi sejauh apa yang terlewati, kita tidak akan lupa pula, apa yang sudah terjadi di panggung publik.

Untuk itu, —tidak perlu Anda merasa arogan, tendensi, ingin menang, dan mempermalukan lawan Anda di muka pengadilan. Jika gelar perkara dan keputusan pengadilan, belum berakhir. “Top_Final-Nya” Palu bergetar di atas meja hakim. Bukan meja Advokasi. 

Dengan karena Anda membawa kasus itu dalam "hukum pidana". Tetapi,—belum pasti juga menjadi jaminan bahwa Anda akan menang. Meskipun bukti, fakta, dan dokumen yang Anda pegang itu kuat. Namun, bukan berarti pula Anda yakin menang di keputusan akhir pengadilan nantinya. 

Anda tidak akan tahu, apa yang terjadi pada otak hakim/ pengadilan.  24 jam neuron yang ada dalam kepala hakim itu bergerak tanpa batas. Ia terus berubah, berputar, berkembang, dan bahkan konstan terhadap sesuatu objektivitas luar. Jika satu tembakan materi yang Ia terima dalam jaringan pikiran, dan sel-sel otak. Maka secepat pula ia akan berubah. 

Oleh karena demikian. Jangan Anda merasa diri menang, jika belum selesai keputusan pengadilan. Karena bisa saja, apa yang kita anggap itu benar. Tetapi menurut hakim "salah". Meskipun bukti, dokumen, dan data kita cukup kuat. Namun menurut hakim tetap saja 'salah'.

Karena saya yakin, kebenaran absolut adalah kebenaran yang sifatnya abstrak,— tidak bisa di lihat, di baca, dan di nalar oleh akal pikiran manusia. Melainkan Ia hanya bisa di rasakan.

Berbeda dengan kebenaran mutlak. Ia konstan terdapat benda, atau sesuatu material, yang suatu waktu bisa menyebabkan keadaan luar bisa terjadi. Seperti bukti, data, dan fakta yang Anda temukan di lapangan, (dalil Anda cukup kuat). 

Tetapi sewaktu-waktu data, dokumen, dan fakta yang Anda pegang di lapangan. Itu bisa di batalkan, bisa tidak. Sebab hukum dasar, antara kenyataan dan kebenaran adalah tergantung pada subjektivitas dan objektivitas cara pandang seseorang.

***

Oleh karena itu, seharusnya sebagai tokoh advokat, sekelas pengacara. Tidak perlu merasa diri hebat, cerdas, unggul, dan apapun bentuknya.

Kenapa?  “Karena kalau, secerdas apapun seseorang, bukan kita yang menampilkan kehebatannya, tetapi ada seseorang yang mengunjuknya”.

Biarkan seseorang yang akan tahu, apa isi dan potensi kepala Anda. Tidak seharusnya kita unjuk gigi di depan publik. Kalau kita merasa diri lebih cerdas, bukan menempelkan wajah di depan muka orang banyak. Tetapi bagaimana kita sejauh memecahkan kasus dan masalah. Sesuai tupoksi yang Anda punya. Yaitu advokat, seperti layaknya Anda, saya sebut sebagai pengacara.

Tugasnya apa? 

Selain Anda di khususkan ikut berperan dan bertanggung jawab untuk mencarikan solusi atas ketimpangan masalah. Serta juga mengambil kebijakan dan status hukum yang Anda pegang.

Kemungkinan Anda tahu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 di sebutkan bahwa peran dan tanggung jawab besar Anda sebagai seorang advokat/pengacara dalam menyelesaikan masalah yaitu; memberikan jasa konsultasi hukum terhadap seseorang yang Anda terima, membela perkara, mendampingi, atau mewakili klien Anda dalam sidang pengadilan, menegakan keadilan, menyusun kontrak dalam perjanjian. Serta melakukan "legal audit".

Itu bahkan pula, sudah di atur dalam UU dan amanat konstitusional yang Anda pegang. Bahwa,_ “siapapun melanggar hukum, maka keadilan harus di tegakan. Apakah ia presiden, mentri, jenderal, hakim, jaksa, kapolri, atau apapun bentuk kekuasaannya. Bila demikian itu melanggar hukum”. Maka aturan, wajib di pidana-kan!

Hukum itu prinsip dasarnya adalah “Equality For The Law”. Tanpa membedakan kelas, ras, suku dan agama. Jika sudah terbukti salah, melampaui batas, dan standar norma yang berlaku. Itu harus di tegakkan. Sekalipun Megawati adalah putri dari Soekarno. Maka tetap di penjarakan. Titik