Siang itu mendung menggantung tipis, di sudut taman yang asri gedung Goethe Institut Jakarta, penulis berkenalan dengan mbak Uchi – panggilan akrab Uchikowati – yang penuh senyum kehangatan. Ia begitu cool jauh dari kesan emosi meledak-meledak terkait nilai-nilai humaniora yang terampas secara sistemik, yang ia alami selama hampir enam dasa warsa.
Mbak Uchi kini sebagai Ketua Paduan Suara “Dialita”, sebuah kelompok paduan suara yang melambungkan pesan-pesan moral kemanusiaan. Dialita adalah singkatan “di atas lima puluh tahun”, karena anggotanya berusia di atas 50 tahun, dan semuanya perempuan. Secara resmi berdiri sejak Desember 2011.
Sisi Kemanusiaan
Mbak Uchi bergerak di jalur kemanusiaan, tanpa mempersoalkan latar belakang suku, ras, atau agama. Ia sejenak mengenang, merasakan langsung efek peristiwa hitam Tragedi 1965. Tak terbayang sebelumnya, betapa pedihnya terusir secara paksa dari kompleks rumah dinas bupati tak lama pascatragedi hitam itu.
Massa yang marah dan brutal berdemonstrasi mengusir Mbak Uchi dan keluarga dari rumah dinas bupati. Ayah Mbak Uchi, DA Santosa, saat itu menduduki jabatan penting Bupati Cilacap, Jawa Tengah.
Bupati Cilacap di masa revolusi itu dianggap terseret menyeleweng kepada negara karena tergabung dalam orpol PKI. Tragedi kemanusiaan di penghujung September 1965 itu berimbas pada tuduhan kontroversial yang dilayangkan rezim Orba kepada PKI, bahwa PKI dalang Tragedi 1965 dan harus bertanggung jawab atas peristiwa berdarah itu.
Akhirnya, apa pun dan siapa pun yang berbau PKI dikikis habis sampai ke akarnya. Sang bupati dan istri pun ditangkap dan dipenjara. Mbak Uchi dan adik-adik nasibnya tak menentu, terkena imbas langsung atas persoalan yang sama sekali tak diketahuinya.
Mbak Uchi merupakan sebagian korban di antara sekian banyak orang yang harkat kemanusiaannya terampas. Dihina, dicaci, dimaki, diinjak, dipojokkan, dikucilkan bahkan tak dimanusiakan.
Ditutup kesempatan memeroleh jenjang pendidikan yang layak, pekerjaan yang mapan, serta dikucilkan dari sosialisasi pergaulan. Itu terjadi secara masif dan sistemik. Penderitaan akibat semua itu berlangsung sangat lama, berpuluh-puluh tahun merembes hingga tulang sumsum.
Senasib sependeritaan dengan Mbak Uchi, dialami juga oleh Astuti Toer. Astuti atau lebih sering dipanggil Titi adalah putri pertama sastrawan kondang Pramoedya Ananta Toer. Titi Toer masih gadis kecil belasan tahun saat ayahnya diciduk aparat.
Pram adalah aktivis Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi seni budaya yang berafiliasi pada orpol PKI. Pram dianggap berseberangan paham dengan rezim Orba, maka ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sebagai ekses dari Tragedi ‘65. Namun, justru dalam pembuangan itu Pram menelorkan karya-karya sastra monumental dan fenomenal kelas dunia.
Nasib Titi Toer dan ibu, serta adik-adiknya menggelepar seperti kupu yang patah sayapnya setelah Pram diciduk dan dipenjara tanpa proses persidangan. Titi Toer sebagai anak sulung membantu ibu sekuat mungkin demi keberlangsungan kehidupan ekonomi.
Pesan Pram, sepahit apa pun kehidupan, sekolah jangan sampai ditinggalkan. Pram amat mengutamakan segi pendidikan anak-anaknya. Di tengah pelecehan sosial dicap anak tapol, pengkhianat bangsa, dan semacamnya, Titi Toer memilih bersikap diam dan sabar. Dengan segala cara yang bisa ditempuh, Titi Toer dan adik-adiknya terhindar dari predikat putus sekolah.
Titi Toer mendapat anugerah untuk bertemu kembali dengan Pram, ayah tercinta. Setelah 14 tahun dipenjara, Pram dibebaskan dan berkumpul kembali dengan keluarganya. Titi Toer diberi amanat Pram, untuk mendokumentasikan segala bentuk warisan tertulis yang amat sayang jika tak terurus dengan baik.
Pada awalnya Titi menolak, sebelum akhirnya mengiyakan permintaan ayahnya itu. Titi bahkan rela melepaskan pekerjaan demi mengurus karya-karya Pram yang nilainya ibarat mutiara terpendam melampaui ruang dan waktu.
Selain Titi Toer, orang yang senasib dengan Mbak Uchi pascatragedi ‘65 adalah Tuti Martoyo. Tuti pernah bergabung dengan ansambel ‘Gembira’ atau grup paduan suara istana zaman Presiden Soekarno.
Kelompok seni ini kerap mengisi acara penting kenegaraan ketika istana kedatangan tamu dari negara asing. Salah satu pendiri ‘Gembira’ adalah Sudharnoto, penggubah lagu perjuangan Garuda Pancasila.
Meskipun tak ada hubungan organisatoris dengan Lekra, ‘Gembira’ terkena dampak langsung tragedi hitam itu. Sejumlah anggotanya dikejar-kejar dan diciduk, termasuk Sudharnoto. Tuti yang masih belia dan tak tahu apa-apa seputar peristiwa hitam itu, pun turut terciduk, diinterogasi, dan sempat ditahan selama tiga hari dua malam sebagai tawanan.
Selain Titi Toer dan Tuti Martoyo, ada juga nama Fidellia yang nasibnya kurang lebih sama dengan Mba Uchi. Fidellia adalah anak keenam Njoto, tokoh sentral orpol PKI, yang pernah menjabat Menteri Negara Bidang Politik masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Fidellia masih bayi berusia satu tahun saat huru-hara Gestapu meletus. Aksi bersih-bersih Orba menyasar sosok Njoto juga. Konon kabarnya, Njoto diculik di Semanggi sepulang dari Bogor, dan dibawa ke rumah tahanan CPM Guntur, Manggarai, Jakarta Selatan. Tragis, Fidellia praktis tak kenal secara persis seperti apa wajah sang ayah, karena Njoto sudah tak terdengar lagi kabar beritanya. Tak ada yang tahu, ia dihabisi di mana dan dengan cara apa.
Fidellia dan saudaranya tak lagi tinggal di rumah yang biasa ditempati, lalu hidup berpindah tak menentu dari satu tempat ke tempat lain. Sementara ibunya, Sutarni, juga disekap di rumah tahanan.
Fidellia remaja bekerja dengan bayaran lumayan, sedangkan saudaranya terpencar tak karuan, ada yang ikut tante, bude, atau kerabat lainnya. Terbayang betapa rumit hidup yang dialami Fidellia dan saudaranya itu, penuh cucuran air mata dan kepedihan.
Sederet nama yang berbau orpol PKI, termasuk anak keturunannya tak lepas dari aksi bersih-bersih yang dilancarkan rezim Orba. Mbak Uchi, Titi Toer, Tuti Martoyo, yang memiliki derita dan nasib yang serupa akibat aksi bersih-bersih itu, akhirnya terkumpul dalam suatu komunitas Dialita.
Tak sekadar untuk berkesenian, wadah tersebut sekaligus sebagai pengikat tali silaturahmi seperasaan sependeritaan. Bisa saling tukar cerita tentang pengalaman menyakitkan dan mengerikan yang dialami langsung. Dalam Dialita itulah sedikit demi sedikit luka yang diderita berangsur terkikis.
Sebagian anggota Dialita, jauh sebelum komunitas seni itu terbentuk pernah merasakan langsung penderitaan dalam rumah tahanan, diperlakukan semena-mena, dipindah dari satu sel kurungan ke sel lainnya. Sebagian yang lain adalah generasi kedua korban ’65.
Maka, lagu-lagu yang dinyanyikan Dialita banyak yang mencerminkan suasana keprihatinan di penjara. Meskipun demikian, tak ada ekspresi pemberontakan meledak-ledak yang dituangkan dalam lirik lagu-lagu tersebut. Inilah pintarnya para pencipta lagu itu, bisa mengemas secara halus dengan gaya metafora yang khas namun mengena.
Eksistensi Diakui
Kiprah dan sepak terjang Dialita mulai diakui dan disorot banyak pihak. Dialita yang anggotanya hampir setiap Sabtu berkumpul, tumbuh dan berkembang karena satu sama lain saling mendukung dan menguatkan. Mereka adalah aktivis yang menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara bernyanyi.
Album telah diluncurkan, yakni Dunia Milik Kita (2016) dan Salam Harapan (2020). Juga melalui film dokumenter yang berisi rangkaian peristiwa yang mereka rasakan langsung sebagai ekses dari tragedi hitam 1965.
Dialita membangun ingatan akan luka sejarah bukan untuk terjebak di dalamnya melainkan untuk proses penyembuhan bersama. Itu diekspresikan melalui paduan suara yang kompak, bernas, dan apik dengan menyuarakan lagu-lagu tapol era 1960-an.
Setelah satu dasawarsa berlalu sejak berdirinya Dialita tahun 2011, pengakuan nyata dari berbagai lembaga pun didapat. Akademi Jakarta memberi penghargaan tahun 2022 kepada komunitas Dialita.
Penghargaan Akademi Jakarta didasarkan pada pencapaian sepanjang hidup (life time achievement) perseorangan dalam bidang seni maupun pemikiran. Juga diberikan kepada kelompok atau komunitas dengan kriteria “sumbangsihnya dalam perjuangan penyadaran publik atas masalah mendasar kemanusiaan”.
Menurut Akademi Jakarta, Dialita telah berhasil merajut merekonsiliasi kultural berbasis komitmen pada kemanusiaan dan cinta pada tanah air. Dialita adalah suara perempuan yang melantangkan ingatan dan peringatan agar bangsa Indonesia belajar dari masa lalu untuk lebih bijak mengelola perbedaan, dan berhenti melakukan kekerasan atas tubuh pertiwi.
Itulah penghargaan kali pertama yang diberikan oleh lembaga dari dalam negeri. Komnas Perempuan turut memberi selamat atas diraihnya Penghargaan Akademi Jakarta 2022 oleh Paduan Suara Dialita tersebut berkat sumbangsihnya dalam merajut rekonsiliasi kultural lintas generasi. Dari luar negeri justru lebih dulu diperoleh, yakni Penghargaan Gwangju Prize for Human Right (2019) Korea Selatan.
Sejatinya bukan penghargaan itu yang diharapkan, namun pengakuan jujur dan netral akan keberadaan Dialita dan misi yang diperjuangkan. Rasanya itu lebih dari cukup. Jika ada pihak yang memberi penghargaan, bisa dikatakan itu ekses atau imbas positif dari akumulasi perjuangan Dialita yang tak henti disuarakan selama ini.
Film dokumenter Lagu untuk Anakku (2022) yang proses pembuatannya menelan waktu lima tahun, diluncurkan dalam kemasan acara sederhana yang ditandai pemotongan tumpeng dilanjutkan nonton bareng (nobar) di Goethe Insitut Jakarta, pada 12 November 2022. Dihadiri segenap kalangan mulai dari mahasiswa, pencinta budaya, seniman, dosen, hingga aktivis kemanusiaan.
“Jika menonton film tersebut disertai perenungan yang dalam, jangan sungkan-sungkan menangis. Menangis itu membersihkan mata di tengah keburaman penglihatan kita dalam melihat masalah,” ungkap Gita Laras, salah seorang aktivis Dialita.
- Penulis adalah pemerhati sosial kemanusiaan; lulusan FS (kini FIB) Undip Semarang
*) Tulisan ini sekaligus dimaksudkan untuk menggugurkan tulisan sebelumnya berjudul "Berkenalan dengan Aktivis Dialita". Substansinya pada intinya sama, hanya saja ada beberapa bagian yang dirasa kurang pas. Dengan demikian, tulisan tersebut dianggap tidak pernah ada, diperbarui dengan tulisan ini.