Menyikapi pertanyaan yang acapkali muncul di era pandemi ini terkait apakah kita sudah benar-benar merdeka dalam belajar atau tidak, tentu hal yang ingin saya utarakan erat kaitannya dengan apa yang telah saya paparkan pada tulisan sebelumnya Pandemiku Sayang Pandemiku Malang

Bahwa sebenarnya kita telah merdeka belajar bahkan jauh sebelum covidmmelanda ibu pertiwi. Kita dianugerahi fasilitas belajar yang luar biasa memadai yang sebenarnya sangat membantu dalam menunjang masa depan kita.

Kita dipersiapkan para guru dan tenaga pendidik yang kompeten dengan kapasitas terbaik di masing-masing bidangnya. Kita diuntungkan dengan biaya pendidikan yang jauh lebih sedikit kalau dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

Kita difasilitasi dengan aneka ragam lembaga-lembaga formal maupun non formal yang mampu membantu mengakomodir mereka yang berkebutuhan khusus dan kurang mampu secara finansial. Jadi ini semua bagi saya adalah satu set kemerdekaan yang sudah selayaknya untuk disyukuri.

Sejatinya, kemerdekaan belajar dipelopori oleh perilaku individu itu sendiri.

Acapkali kita melihat sebagian besar dari kita lebih sering menghabiskan waktu dengan smartphone, terutama para remaja yang berstatus sebagai pelajar. Tak jarang mereka lebih sering menggunakan smartphone-nya untuk sibuk bersosial media daripada belajar dan mengerjakan tugas sekolah.

Belum lagi dengan adanya pandemi covid-19 yang mengharuskan siswa belajar secara daring -  yang tentunya menyebabkan intensitas penggunaan smartphone semakin tinggi. Lalu, apakah hal tersebut membuat mereka semakin rajin belajar dan berhenti bermain sosial media?

Sungguh ekspektasi memang tak semanis realita. Nyatanya, sebagian besar dari mereka akan menggunakan alasan ‘belajar’ ketika ditanya oleh orang tuanya. Padahal sebaliknya, mereka sedang asyik berbalas pesan, melihat status teman, men-scroll Intagram, bahkan mungkin stalking Facebook mantan.

Tak heran, para kaum millennial sekarang sangat jarang berteman dengan buku. Jangan kan berteman, untuk sekadar memegangnya saja masih enggan. Kenapa bisa begitu? Jawabannya sederhana, karena buku dan membaca merupakan dua hal yang membosankan.

Alasan yang paling mungkin jika berkaca pada situasi saat ini bahwa sosial media jauh lebih menarik dibandingkan pustaka karena konten-konten yang beragam dan variatif.

Jadi sejatinya yang membuat pendidikan kita terkesan belum merdeka - terlepas dari konteks new normal atau tidak - tentu mentalitas dan ambisi kita untuk bertumbuh-kembang secara intelektual.

Terlalu banyak stigma yang kita lahirkan dari rahim sistem pendidikan itu sendiri. Terlalu banyak kritik dan kebijakan yang kita lawan.

Sebenarnya kalau kita berani saja mencoba untuk tidak terlalu banyak mengkritik kebijakan pemerintah dalam menerapkan sistem pendidikan dan ikut serta menjadi pelopor kebijakan itu sendiri, saya rasa ada hal-hal gemilang yang mengagumkan yang bisa kita ciptakan pada akhirnya nanti.

Kita terlalu cakap menilai cacat suatu kebijakan tanpa mempertimbangkan benefit jangka panjangnya. Kita menciptakan orasi tanpa solusi. Kita seolah lebih visioner dari para pemangku pendidikan.

Jadi, bagi saya, hal tersebut bukannya terlihat kritis, jatuhnya malah terkesan malas saja untuk bertransformasi. Mereka selalu berusaha mancari sebuah kelemahan dari balik kebijakan yang telah diterapkan untuk dijadikan tameng.

Intinya, orang-orang seperti ini memang sulit untuk diajak berubah dan sayangnya masih banyak kita temukan orang-orang tersebut di sekitar kita.

Jadi pada intinya, pemerintah sudah mengusahakan yang terbaik. Beberapa kebijakan yang menurut kita cukup kontroversial mungkin, kedepannya, memiliki tujuan untuk mengajak kita meninggalkan apa yang konvensional menuju hal yang membuat kita bisa ikut bersaing dengan pendidikan era sekarang.

Tapi, sayangnya, kita kalah di mental. Kita masih dihantui rasa malas untuk berkembang.

Mari berkaca pada sistem pendidikan di Eropa dan beberapa Negara maju lainnya. Kebetulan, secara pengalaman, saya pernah mengalami langsung euphoria belajar di sana. Sebut saja negara Finlandia.

Berdasarkan hasil tes internasional dan penelitian, Finlandia dikenal sebagai negara dengan kualitas kurikulum terdepan. Dengan tingkat kelulusan tes internasional tertinggi di dunia.

Dilansir dari KOMPAS.com, Finlandia sudah memberikan perhatian yang sangat besar pada pendidikan awal atau pendidikan anak usia dini (PAUD). Sebelum belajar memanajemen waktu, siswa diajarkan untuk menjadi anak-anak, cara bermain, bersosialisasi, termasuk cara memperbaiki luka emosional.

Finlandia telah menemukan bahwa persaingan antar sekolah tidak menghasilkan siswa sukses bila dibanding kerja sama antar sekolah tersebut. Salah satu alasannya adalah Finlandia tidak memiliki sekolah swasta. Setiap lembaga akademik di negara ini didanai melalui biaya publik atau negara.

Semua murid diajarkan dengan guru yang berkualitas tanpa ada perbedaan, banyak hal yang ditawarkan sekolah-sekolah Finlandia kepada siswa, hanya satu yang tidak: pekerjaan rumah (PR).

Banyak anak di negara lain hanya menerima sedikit waktu luang setiap malam dikarenakan tugas sekolah yang menumpuk. Filosifi ini berasal dari tingkat saling percaya yang dimiliki antar sekolah, guru, dan orangtua.

Guru merupakan profesi yang dihormati dan tidak dibayar rendah. untuk menjadi guru di Finlandia, para calon setidaknya harus memiliki gelar magister serta menyelesaikan pendidikan profesi seperti halnya pendidikan profesi kedokteran.

Tidak mengherankan guru disana mengajar di sekolah dasar yang berafiliasi atau berdampingan dengan universitas.

Kendati begitu, orang tua juga harus pro aktif dalam memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk terus belajar. Adalah suatu kewajiban bagi orang tua untuk selalu mengayomi serta mendidik anak-anaknya, agar kelak suatu saat nanti menjadi anak yang berbakti serta berguna bagi bangsa dan negara.

Jadi, apa yang ingin saya sampaikan adalah negara dengan pendidikan yang merdeka adalah negara yang kebijakan dalam pendidikannya memiliki tiga elemen penting yang saling mendukung dan bersinergi: 

Yaitu pemerintah atau regulator yang membuat kebijakan itu sendiri, peserta didik yang siap menerima kebijakan, dan orang tua yang ikut serta dalam mempelopori kebijakan tersebut.

Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi pendidikan kita di era pandemic ini? Saya rasa akan jauh lebih bijak jika kita melihat pandemi ini dari kaca mata yang positif.

Dengan adanya musibah ini, imbuhnya pendidikan kita seperti dipaksa untuk berubah, bukan saja model pembelajaran, tetapi juga menginspirasi tentang orientasi. Saya kira hikmah corona ini semakin mendorong ide mereka untuk belajar.

Dengan adanya Covid-19 dan kebijakan kemendikbud terkait pembelajaran daring, masyarakat dipaksa untuk melek teknologi di tengah arus perubahan teknologi yang sangat deras. Dan ini tentu salah satu keuntungan yang luar biasa.

Lihat saja, banyak guru, orang tua, anak-anak muda dipaksa terbiasa menggunakan aplikasi sejenis Zoom, Google Meeting dan aplikasi lainnya agar pembelajaran tetap berlangsung baik di sekolah ataupun di kampus.

Awalnya, memang masyarakat termasuk saya sendiri pun kaget, namun perlahan kita sudah terbiasa melakukan pembelajaran daring. baik dilakukan melalui Whatsapp grup, zoom meeting, Google Meeting, Google Classroom dan masih banyak lainnya.

Melihat kondisi ini, saya kira ke depan kita bisa melaksanakan pembelajaran campuran (Blended Learning). Perpaduan antara pembelajaran tatap muka dan pembelajaran daring untuk kemajuan pendidikan di Indonesia serta mengikuti arus global yang sangat deras.

Namun, masih ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh Pemerintah baik kemendikbud ataupun kementrian lainnya jika memang ingin melaksanakan perpaduan antara pembelajaran tatap muka atau pembelajaran daring.

Pertama, pemerintah harus memastikan jaringan internet di seluruh Indonesia sudah tersedia dengan baik. Karena, mau tidak mau, pembelajaran daring membutuhkan jaringan internet yang stabil.

Karena seperti fakta yang kita sadari  bersama bahwa jaringan jelek dan mahal juga menjadi kendala pembelajaran daring, sehingga jika kemendikbud ingin melaksanakan blended learning, harus memastikan bahwa semua kawasan Indonesia harus sudah terkoneksi internet dengan jaringan yang stabil.

Berikutnya, PR yang harus dibenahi adalah penyiapan sumber daya manusia. Melihat keluhan-keluhan siswa yang mengatakan “belajar daring hanya tugas saja tidak ada penjelasan” ini membuktikan bahwa memang SDM kita belum siap dalam melaksanakan pembelajaran daring.

Namun, ini bisa diatasi dengan pelatihan-pelatihan untuk seluruh tenaga pengajar agar bisa memberikan materi secara daring dan bukan tugas saja.

Memang, butuh waktu yang sangat panjang untuk mengalihkan kebiasaan pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran campuran antara tatap muka dan juga daring. Dan cukup sulit tentunya mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah lama tercipta.

Tapi dengan optimisme, sinergisitas serta dukungan dari ketiga elemen di atas (guru, murid, dan orangtua), siapa sangka arus perubahan pendidikan kita bisa menyamai kualitas pendidikan di Negara-negara maju di kemudian hari?