Beda negara tentu berbeda pula budayanya. 

Jika anak muda Korea Selatan (Korsel) memilih untuk tidak menikah dan punya anak karena beragam alasan, seperti perempuan takut dikekang beban ganda (karier + domestik), pengeluaran anak tinggi, sewa rumah mahal, biaya nikah tak masuk akal tapi gaji tak seberapa, berbeda halnya dengan Indonesia yang justru belomba-lomba ingin menikah muda.

Beberapa waktu lalu, publik sempat dihebohkan dengan pernikahan anak di bawah umur. Usia mereka di bawah 16 tahun. Tidak hanya sekali saja publik dikejutkan dengan berita seperti itu. 

Mengapa usia semuda ini harus menikah? Bukankah seharusnya mereka sekolah, berkarya, dan menggapai mimpi setinggi-tingginya? Padahal kehamilan di usia muda sangat berisiko untuk ibu dan bayi.

Tidak hanya pernikahan anak yang menjadi masalah. Pernikahan usia 25 tahun ke atas juga bisa menjadi masalah jika belum siap secara mental dan finansial. Menikah bukan hanya sekadar agar tidak berzina atau karena umur sudah terlalu tua. Menikah itu tentang menyatukan dua kepala yang berbeda dan butuh kedewasaan untuk menjalani itu.

Ketika memutuskan untuk menikah, sebaiknya ketahui terlebih dahulu apa esensinya dan mengapa harus menikah. Selain itu, kita juga sudah harus selesai dengan diri sendiri, seperti sudah menempuh pendidikan setinggi-tingginya misalnya. 

Sebenarnya ada banyak cara menghindari zina selain menikah, yaitu menyibukkan diri dengan berbagai hal positif. Jika kamu sibuk ikut organisasi misalnya atau berkarya dan traveling, maka tidak ada waktu untuk memikirkan pacaran. 

Selagi masih muda, sebaiknya cari banyak pengalaman dan kenal banyak orang. Hal ini penting karena ketika kita menikah dengan kondisi sudah kaya pengalaman dan usia yang ideal, maka kehidupan pernikahan akan menjadi lebih berkualitas. 

Sebaliknya, jika menikah dalam kondisi belum kaya pengalaman, yang terjadi adalah tidak fokus mengurus keluarga dan anak karena ingin melakukan hal lain yang belum sempat dilakukan semasa lajang dulu.

Kesiapan finansial dan mental adalah poin penting jika memutuskan ingin menikah. Dampak dari ketidaksiapan mental maupun finansial sangat luar biasa sekali. 

Masalah ekonomi dalam rumah tangga dapat menyebabkan anak kurang mendapatkan gizi dan pendidikan yang layak. Selain itu juga, dapat menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga. Angka perceraian yang tinggi juga terjadi karena faktor ekonomi.

Masalah ekonomi juga dapat megakibatkan eksploitasi anak dan anak putus sekolah. Menurut data dari UNICEF, faktor ekonomi adalah alasan utama siswa putus sekolah. Anak-anak dari 20 persen keluarga termiskin hampir lima kali lebih mungkin untuk tidak masuk SD dan SMP, dibandingkan 20 persen keluarga terkaya.

Dampak dari ketidaksehatan mental juga dapat berpengaruh ke pasangan dan anak. Orang tua yang tidak bahagia akan menyebabkan anak juga tidak bahagia. Emosi orang tua juga akan memengaruhi psikis anak dan tumbuh kembang anak juga menjadi tidak maksimal. 

Menurut psikolog anak, pelecehan psikologis terhadap anak dapat mengakibatkan gangguan, seperti kecemasan, depresi, dan penurunan tingkat kepercayaan diri. 

Perkembangan kognitif anak juga terganggu jika orang tua mengalami masalah kesehatan mental dan ekonomi. Akibatnya, akan makin banyak generasi micin nantinya.  

Tidak hanya itu saja, ketika sudah punya anak satu, masih saja banyak yang berlomba-lomba menambah anak tapi keadaan finansial tidak mumpuni. Rata-rata alasannya karena tekanan sosial yang sebenarnya merupakan alasan tidak rasional untuk memiliki anak. 

Bagi anak muda Korsel, menikah adalah prioritas nomor sekian dan bukan suatu keharusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka lebih memilih menggali potensi dirinya. Tidak hanya generasi muda, kalangan yang berusia lebih tua juga setuju dengan pemikiran tersebut. 

Rata-rata mereka menikah di atas 30 tahun bahkan lebih. Mereka tidak akan menikah jika mereka belum yakin keuangan mencukupi kebutuhan rumah tangga. Mereka lebih memilih menikah ketika kondisi keuangan mereka stabil, sudah memiliki rumah sendiri, dan lain sebagainya. 

Tidak hanya Korsel, namun beberapa negara maju berpikir bahwa pernikahan bukan merupakan hal penting. Negara dengan kasus pernikahan anak, pada umumnya, mempunyai produk domestik bruto dan literasi yang rendah. Saatnya Indonesia bersama-sama meningkatkan perekonomian negara dan juga literasi.

Saatnya anak muda Indonesia terutama perempuan jangan menganggap pernikahan sebagai satu-satunya tujuan hidup. Raihlah pendidikan setinggi-tingginya, gali potensi diri, dan berkaryalah sesuai passion masing-masing. Menikahlah pada saat kondisi fisik, mental,dan finansial sudah siap, agar meminimalisasi risiko seperti yang sudah saya urai di atas.

Agama sendiri juga mengajarkan agar kita menuntut ilmu setinggi-tingginya dan memberi manfaat untuk orang banyak. Di agama dijelaskan pula bahwa menikahlah ketika suami dirasa sudah mampu menafkahi istri karena hukumnya wajib. 

Saatnya pemerintah membuat regulasi mengenai pernikahan dan menambah anak; bukan hanya dari sisi usia, tapi dari faktor ekonomi keluarga dan kesehatan, baik fisik maupun mental. Hal ini bertujuan untuk menghindari over populasi, meningkatnya kemiskinan, gizi buruk, dan tingginya beban ekonomi negara.