Meigo Mark, seorang pemusik asal Estonia yang sedang menjalani misi mengelilingi dunia dengan berjalan kaki kini sedang berada di Indonesia. Selama tiga tahun delapan bulan ia telah menuntaskan perjalanan sejauh lebih 18.000km di dua puluh satu negara. Indonesia adalah negara ke duapuluh dua yang disinggahinya setelah lima bulan sebelumnya tuntas menjelajah Semenanjung Malaysia.
Saya bertemu dengan si petualang ini di atas kapal feri yang membawa kami dari Melaka ke Dumai, Riau, 15 Desember yang lalu. Kota kelahiran saya ini memang merupakan gerbang keluar masuk bagi WNI dan rakyat negara jiran itu yang menggunakan sarana transportasi laut.
Dari perkenalan dan obrolan singkat saya tertarik dengan misinya yang menurut saya sangat luar biasa. Berjalan kaki mengelilingi dunia. Selama ini hanya beberapa kali ia terpaksa menggunakan sarana transportasi, di antaranya menaiki pesawat dari Dubai ke Mumbai karena ia ingin menghindari memasuki Pakistan karena alasan keselamatan, dan ketika menyeberangi Selat Melaka.
Selama rute perjalanannya masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tidak sekali pun ia mau menaiki jenis kendaraan apa pun. Tidak heran jika sepanjang perjalanannya ia telah mengganti dua puluh satu pasang sepatu. Ia menghitung sudah lebih 2000 kali menolak tawaran dari pengendara yang ingin menawarkan tumpangan. Saya sendiri harus rela menemaninya berjalan kaki di bawah terik matahari dari pelabuhan penumpang ke rumah saya yang jaraknya tiga kilometer, hal yang aneh bagi orang-orang di kota saya.
Dalam sejarah dunia, tercatat hanya segelintir orang yang pernah melengkapkan misi keliling dunia dengan berjalan kaki. Menurut Meigo, ia orang yang ketiga belas yang pernah melakukannya dan orang pertama dari negaranya. Rata-rata ia akan berjalan kaki sekitar 25-50km dalam sehari. Tetapi kebanyakan waktu ia juga menetap beberapa hari untuk beristirahat dan bergaul dengan penduduk lokal. Dia sangat fleksibel soal waktu, karena memang tidak sedang ingin memecahkan rekor apa pun.
Mengelilingi dunia adalah puncak ritual kehidupan bagi seorang pengembara sejati seperti Meigo. Walaupun cita-cita itu sudah dipendamnya lama, tetapi keputusan penting dalam hidupnya ini diambil cukup singkat, hanya tiga minggu sebelum keberangkatannya. Saya jadi teringat babak paling menyentuh dalam film Forest Gump ketika si tokoh ini sedang merenung dan tiba-tiba memutuskan untuk berlari mengelilingi Amerika. Walaupun keberangkatan Meigo tidak sedramatis itu, tetapi kisah perjalanannya juga layak untuk dijadikan sebuah skrip film.
Dengan perlengkapan backpack seadanya, kemah, peta, kamera, dan telepon pintar ia meninggalkan Talinn, ibukota Estonia. Hanya dengan bekal uang delapan Euro di saku, untuk bertahan hidup ia banyak mengandalkan dedaunan yang tumbuh liar di hutan dan pinggir jalan. Walaupun ia seorang vegetarian, tetapi tetap saja hal itu tidak mudah. Bersyukur di sepanjang perjalanannya selalu saja ada orang yang baik hati menawarkan tempat tinggal atau makanan.
Hal pertama yang dilakukannya ialah menjual rumah kepada seorang kenalan untuk membiayai perjalanannya. Walaupun sudah cukup dikenal di negaranya sebagai seorang komposer musik klasik, namun keberangkatannya sama sekali tanpa publisitas atau gegap gempita upacara pemotongan pita. Karena baginya, misi ini hanya ritual pribadi yang sederhana, sama sekali tidak pernah terfikir untuk membuat orang lain atau negaranya bangga.
Hanya dua minggu setelah itu, ketika ia sampai di negara tetangga, Latvia, kisahnya mendapat liputan media dan ia mulai menjadi pusat perhatian. Orang-orang yang terinspirasi dengan misinya menawarkan bantuan dari segi finansial dan moral. Sponsor pun mulai berdatangan. Sebuah perusahaan produsen alat-alat perkemahan di Eropa memberi dukungan dana dan peralatan sepanjang perjalanannya. Kebanyakan uang tersebut digunakan untuk membayar visa dan pengurusan dokumen di setiap negara yang dikunjungi.
Bertemu Anak Semua Bangsa
Saya sangat beruntung menjadi orang pertama di Indonesia yang menjadi kenalannya. Tawaran untuk menginap di rumah saya pun disambutnya dengan gembira. Di mana pun, ia sangat senang dapat tawaran menginap dari penduduk lokal. Itu adalah tujuan pengembaraannya, mengenal anak semua bangsa dengan segala macam perbedaannya.
Sedangkan jika sedang berada di tempat yang tidak ada penduduk, tenda kecil akan menjadi tempat perlindungannya dari hujan, cuaca ekstrem, atau binatang buas. Berhari-hari tinggal di kemah dalam suhu minus lima belas darjat celcius ketika musim dingin di pedalaman Turki dan terasing di atas bukit di antara lolongan serigala lapar di Nepal adalah antara pengalaman yang paling menakutkannya.
Berada di dalam rumah penduduk lokal adalah pengalaman yang paling berharga bagi seorang pengembara sepertinya. Menurutnya rumah adalah tempat yang paling privasi, bahkan sakral. Setiap kali berada di dalam rumah penduduk, ia dapat melihat secara langsung dan merasakan keintiman yang baginya merupakan satu anugrah.
Sepanjang pengembaraannya ia telah menginap di lebih tiga ratus rumah penduduk. Dia tidak pernah memilih latar belakang orang yang menawarkannya tempat berteduh. Satu waktu dia sangat senang ditawari menginap di rumah yang sangat miskin jauh di pedalaman, di mana harus berbagi ruangan yang sangat sempit dengan sembilan anggota keluarga yang sedang kekurangan makanan. Beberapa minggu kemudian dia tinggal di rumah mewah milik seorang jutawan di sebuah kota metropolitan.
Pengembaraan ini telah telah mempertemukannya dengan berbagai macam latar belakang manusia dari berbagai bangsa. Ada kelompok mafia, pejabat tinggi setempat, pengusaha kaya, pemuka agama, dan masyarakat biasa. Dari mereka ia mendapat satu pesan yang sama: siapa kita dan apa yang kita miliki tidak penting, melainkan bagaimana kita memperlakukan orang lain sebagai manusia.
Di India, seorang Gubernur sebuah provinsi memerintahkan polisi untuk mengawal perjalanannya melintasi sebuah daerah yang berbahaya. Di negara itu juga, seorang ketua mafia menolongnya mempercepat proses dokumen keimigrasian hanya dengan sekali angkat telepon. Padahal dia sudah hampir putus asa mengurusnya lewat jalur resmi. Ketika di Vietnam, sekelompok orang mengorganisir acara jalan bersamanya melintasi beberapa kota.
Hari-hari pertama di Indonesia
Kesan saya dia cukup senang dengan hari-hari pertamanya di Indonesia. Kebetulan di rumah kami pada waktu itu sedang ramai karena menampung santri pondok pesantren Darunnajah, Jakarta, yang sedang melakukan Program Pengabdian Masyarakat. Banyak kegiatan yang dilakukan oleh santri ini di rumah dan kampung kami. Meigo senang mengikuti kegiatan santri dan bermain bersama anak-anak di lingkungan tetangga, mengabadikan momen itu dalam foto dan video, dan mengunggahnya di akun media sosialnya untuk tatapan seluruh dunia.
Waktu itu juga di kota kami juga sedang berlangsung lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat provinsi. Ia sangat antusias berbaur dengan penduduk lokal melihat rangkaian seremoni penutupan sampai selesai. Tentu saja ia menjadi pusat perhatian dari penonton dan juga penampil yang menggunakan berbagai macam kostum persembahan tradisional adat Melayu. Bagi saya, itu adalah permulaan yang baik untuk mengenal Indonesia.
Meigo selalu mendokumentasikan apa saja yang ditemuinya di jalan dalam bentuk foto dan video yang setiap saat diunggah di halaman facebooknya, The Walk Around The World. Ia sangat senang dan selalu bersemangat berbagi pengalamannya ke siapa pun. Ketika di negara lain, Ia selalu diundang untuk berbicara di kampus, sekolah, komunitas, dan selalu menjadi target wawancara media.
Dalam sebuah sesi obrolan di sebuah kelas les bahasa Inggris di kota kami, seorang murid bertanya apa rencananya setelah ia berhasil kembali ke Estonia? Meigo menjawab ia akan menulis buku tentang pengalamannya. Setelah itu dia berniat untuk melakukan satu lagi misi menjalajah dunia dengan rute yang berbeda.
Ketika artikel ini selesai ditulis, Meigo sudah berjalan lebih 400km sejak pertama kali menjejakkan kaki di Dumai, Riau dan saat ini sudah di Padang, Sumatra Barat. Kabar terakhir, dia dideteksi mengalami masalah jantung dan dokter sebuah rumah sakit di Padang menyarankannya untuk tidak melanjutkan perjalanannya untuk sementara.
Rencananya ia akan berjalan menyusuri garis pantai Barat Sumatra menuju ke Selatan, kemudian menyebrangi Selat Sunda ke pulau Jawa.Perjalanan akan diteruskan sampai ke Bali, Lombok, dan Papua. Menurut perkiraannya, ia memerlukan waktu enam bulan untuk sampai di Papua sebelum ke Australia. Ia memperkirakan butuh tujuh tahun lagi untuk sampai kembali ke titik keberangkatannya di Estonia.
Mungkin ada dari pembaca yang akan berkesempatan bertemu dengannya. Anda pasti akan terkesan dengan sikapnya, semangatnya, dan pengalamannya. Dan seperti saya, mungkin Anda juga akan tertarik untuk mengikuti setiap perkembangan terbarunya melalui media sosialnya, seolah-olah kita juga ikut mengikuti pengembaraannya.