Pemandangan ini bikin saya merasa duduk di warung kopi, namun bersama mendiang Abraham Harold Maslow.

Tadi malam, saya duduk di salah satu warung kopi di pojok halaman gedung salah satu media raksasa di Jakarta. Biasalah, sesama Aceh, warung kopi memang sudah menjadi "tempat keramat" untuk melepas mumet. 

Salah satu obrolan itu, tentu saja, tidak lepas dari kabar seputar rencana pelegalan poligami; dari reaksi publik sampai dengan tokoh publik. Teranyar, Deni Siregar pun terlibat silang pendapat dengan salah satu senator asal Aceh, juga terkait polemik gagasan poligami ini. 

Kritikan Deni sejatinya baik. Toh, yang ia kemukakan justru memuat pesan, alangkah lebih bijak jika masyarakat Aceh lebih banyak menggaungkan ide-ide yang lebih bermuatan kemajuan. Tidak berkisar seputar pemuasan perut dan bawah perut saja. Kira-kira begitulah pesan dasar yang saya tangkap dari kritikan Deni. 

Di pihak lain, senator Aceh yang mengecam pandangan Deni itu justru menunjukkan rasa sensi yang terlalu tinggi. Ada kecenderungan melihat kritikan Deni sebagai upaya menghina atau melecehkan masyarakat Aceh. 

Sejujurnya, saya masygul dengan reaksi salah satu senator ini. Ada kesan kuat, sang senator hanya ingin memanjakan mata dan telinga masyarakat Aceh, yang notabene adalah kalangan "paling berjasa" mengantarkannya ke kursi senator. Terlebih senator ini lihai menyentuh ego ureueng Aceh dan perasaan superior bahwa masyarakat Aceh berada di atas masyarakat lainnya di Indonesia. 

Saya pribadi, yang juga berdarah Aceh, lahir di Aceh, dengan keluarga besar masih di Aceh, lebih menyukai budaya kritik daripada budaya memanjakan kenyamanan. Sebab kritikan membutuhkan kejelian, objektivitas, pikiran kritis, dan niat baik untuk membantu sesuatu dapat menjadi lebih baik.

Jadi, di sini, saya lebih memberikan respek terhadap Deni Siregar dengan segala kritikannya daripada membenarkan kecaman sang senator terhadap pemberi kritik. Bukan karena saya tidak mencintai daerah asal saya, melainkan karena meyakini bahwa Aceh memang membutuhkan kritik. 

Selama ini, sepanjang saya simak, Aceh belakangan kian asing dengan budaya kritik. Padahal, di masa lalu, Aceh pernah jaya justru ketika budaya intelektual dengan kebiasaan kritis begitu hidup. 

Bagaimana Nuruddin Ar-Raniry dengan Syeikh Abdurrauf As-Singkili yang terkenal dengan Syeikh Syiah Kuala sampai dengan Hamzah Fansury dan Syamsuddin Sumatrany berdebat, berselisih, bersilang pendapat. Namun semua berlangsung dalam bingkai iktikad untuk membuat masyarakat Aceh makin beradab, berpengetahuan, dan tak berhenti menguji pengetahuan yang ada. 

Terutama Ar-Raniry dan dan Syamsuddin, terkenal dalam sejarah perabadan di sana sebagai dua figur paling keras dalam berseteru. Namun satu sama lain tidaklah membanggakan diri, semisal siapa lebih baik daripada siapa, atau siapa lebih islami daripada siapa. 

Mereka justru sama-sama bersaing, siapa paling mampu berkarya dan meninggalkan jejaknya, dan apa yang mereka bisa berikan untuk mengangkat peradaban di sana.

Maka itu, dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Nusantara, apa yang berlangsung di Aceh di masa lalu menjadi salah satu cerminan kemajuan. Alhasil, cendekiawan yang lahir di sana, berikut budaya intelektualnya, di berbagai catatan disebutkan, menjadi referensi banyak intelektual di sejumlah belahan dunia. Sebab mereka meninggalkan karya-karya yang masih terus dibedah hingga ratusan tahun sejak mereka mangkat.

Ringkasnya, Aceh pernah disegani bukanlah ketika di sana larut dalam keasyikan memuji diri dan mengaku-aku sebagai kelompok masyarakat yang lebih "wah" dibandingkan masyarakat lain. Aceh kala itu dihormati karena mampu menyelaraskan diri dengan perkembangan pengetahuan dan menghidupkan budaya yang akrab dengan pengetahuan. 

Maka itu, figur-figur seperti Ar-Raniry—meskipun bukan Aceh tulen karena berasal dari Hindustan—hingga Syiah Kuala adalah nama-nama yang masih menjadi buah bibir hingga kini.

Masygul. Ya, jika menyimak Aceh hari ini. Setidaknya jika mengikuti berita demi berita seputar daerah paling ujung di Sumatra tersebut. Saya acap melamunkan ada berita-berita yang berhubungan dengan ide-ide yang menunjukkan kelebihan ureung Aceh seputar kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan berbagai bidang yang menunjukkan kelebihan sebagai manusia. 

Masygul. Sebab berita-berita yang bermunculan lebih banyak berkutat pada cerita masyarakat yang terkena cambuk yang notabene menggambarkan kekerasan, dan belakangan berkaitan dengan poligami yang lagi-lagi juga masih menjadi perdebatan. Tak jarang, berita-berita yang muncul adalah pemerkosaan!

Pemandangan ini bikin saya merasa duduk di warung kopi, namun bersama mendiang Abraham Harold Maslow yang terkenal dengan teori Hierarchy of Needs-nya. Terasa dia mencibir.

"Benar, bukan, kalau orang-orang masih berkutat berpikir pada perut dan bawah perut, dan larut pada kenikmatan di sana saja, sulit bagi mereka bergerak untuk sesuatu yang lebih tinggi; isi kepala!"

Kira-kira begitulah ia akan memberikan sindirannya. Ya, saat melamun bahwa saya Peh Tem (istilah Aceh untuk obrolan lepas) dengannya seraya melinting ganja! Eh, ini dilarang.

"Kautahu, sebelum seseorang bisa mengarahkan fokus pada sesuatu di atas perut, akan sulit bagi mereka menunjukkan kelebihan sebagai manusia. Yang ada, hanya halusinasi bahwa mereka lebih mulia dan memiliki derajat di atas manusia lainnya; karena bisa leluasa beristri lebih banyak dibandingkan orang lain, dan merasa lebih gagah dengan itu!" 

Lagi-lagi, saya merasa seolah disindir seperti itu oleh si Maslow.

Sekali lagi, itu hanya obrolan imajiner saja. Sementara tadi malam, saya hanya berbicara dengan sesama jurnalis asal Aceh saja yang kebetulan sama-sama masygul dengan keadaan di sana. 

Semestinya memang Aceh lebih akrab dengan ide-ide dan gagasan yang lebih menunjukkan bahwa masyarakat di sana tidak terpisah dengan perkembangan zaman. 

Silakan tetap mencintai ajaran-ajaran agama, nilai-nilai keislaman, tetapi lebih ke sisi yang betul-betul menegaskan kelebihan "manusia Islam" ala Aceh. Bukan soal seberapa gagah, seberapa kuat, atau seberapa menakutkannya ureung Aceh, melainkan sejauh mana mampu berkontribusi untuk masyarakat dunia.

Sebab kontribusi tadi yang menjadi kata kunci hingga nama-nama seperti Syiah Kuala, Ar-Raniry, hingga As-Sumatrany melekat dan abadi. Mereka menjadi cendekiawan disegani. 

Meskipun mereka hidup di masa lalu, namun pikiran-pikiran mereka menembus hingga ke masa kini. Masasekarang malah, ketika dunia sudah jauh melaju ke depan, Aceh justru larut dalam kebanggaan, hanya berpaling ke masa lalu saja? 

Toh, kalau menyinggung poligami, betul bahwa ini menjadi salah satu pembahasan yang ada dalam ilmu fikih. Namun ini tentu saja bukanlah anjuran. Itu dikukuhkan dengan beratnya syarat yang mesti dipenuhi bagi seorang lelaki jika ingin berpoligami. 

Terlebih bukan rahasia, Nabi Muhammad sendiri berpoligami bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk membantu perempuan yang miskin dan susah. Menyenangkan mereka, bukan mencari kesenangan dari mereka. Mengangkat kehidupan mereka, bukan mengangkat diri sendiri sebagai pria dan merasa diri berada di atas manusia lainnya.

Sekarang, kesan yang bermunculan karena masifnya pemberitaan seputar poligami, seolah lelaki-lelaki Aceh ingin bersenang-senang dengan poligami. Kenapa bisa muncul kesan begini? Sebab begitu banyak yang antusias membicarakan ini, seolah inilah jalan mulus untuk pesta dan bergembira ria, bisa memuaskan kelamin, lalu masuk surga. 

Ada-ada saja. 

Jadi, hari ini, seharusnya Aceh bisa muncul di pentas dunia dan juga kabar-kabar di media yang lebih menunjukkan kelebihan sebagai manusia. Bukan sekadar memamerkan diri seolah berada di atas manusia lainnya. 

Sebab, mengacu kepada pesan Nabi Muhammad sendiri, sebaik-baik manusia adalah yang paling mampu membawa manfaat bagi manusia lainnya. Semoga.