Perayaan Natal telah usai, tetapi warta tentang Natal tidaklah usai. Berita yang disampaikan oleh malaikat kepada para gembala menurut kesaksian Injil Lukas, bahwa "Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya" memberi keteduhan kepada setiap hati yang membutuhkan damai sejahtera sejati yang tidak didapat dari dunia yang sementara ini.
Kisah Natal dari keluarga sederhana memberi inspirasi dan harapan bagi dunia yang masih bergulat dengan rupa-rupa penderitaan pun kebaikan yang masih ditaburkan orang-orang yang masih percaya kepada kebaikan dan kasih.
Kisah keluarga sederhana, yaitu Yusuf-Maria dan bayi mereka Yusuf juga menggambarkan perjalanan banyak keluarga yang tidak mudah menapaki hidup, tetapi dengan iman mereka menyambutnya dengan berani.
Dalam kesaksian Injil Matius dituliskan bahwa setelah Yesus dilahirkan di Betlehem pada zaman raja Herodes, orang-orang Majus dari Timur datang hendak bertemu bayi itu.
Namun, raja yang mereka temui adalah raja yang dihinggapi penyakit ketakutan kekuasaannya akan direbut. Sebelumnya ia telah membunuh orang-orang yang dia anggap akan merebut kekuasaannya. Tidak peduli, orang-orang itu bahkan masih bagian dari keluarganya.
Ketika raja yang kejam dan licik itu mendengar dari orang Majus "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di timur dan kami datang untuk menyembah dia", ia terkejut, ketakutan kekuasaannya akan direbut merasuki hatinya.
Ia pun memerintahkan untuk membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya yang berumur dua tahun ke bawah. Lalu bagaimana dengan kondisi bayi Yesus juga kedua orangtuanya?
Menurut kesaksian Injil Matius, keluarga itu pergi ke Mesir dan tinggal di sana sampai Herodes mati. Kitab Injil Matius mencatat keluarga bayi Yesus menjadi imigran di Mesir. Mereka pergi ke Mesir untuk menyelamatkan diri dari kekejaman penguasa.
Peristiwa tentang migrasinya keluarga bayi Yesus membawa saya pun mengingat beberapa peristiwa pilu para imigran. Kita masih ingat peristiwa memilukan beberpa tahun lalu. Anak kecil berusia tiga tahun, imigan Suriah yang tewas tenggelam dengan kakaknya dan terdampar di pantai Turki.
Peristiwa lain memilukan para imigran pencari suaka yang ditampung di Rumah Detensi Imigrasi. Mereka para pencari suaka datang dari beberapa negara, seperti Somalia, Irak, Pakistan, Afghanistan. Kenyataan tentang migrasi adalah peristiwa yang tidak dapat dibendung.
Sejarah Migrasi dan Hak Asasi Manusia.
Pada buku yang ditulis oleh Amin Mudzakkir berjudul " Kosmopolitanisme Seyla Benhabib", sejarah migrasi dimulai sejak awal peradaban manusia. Peradaban manusia yang kita kenal saat ini menurut salah satu temuan arkeologis, merupakan persebaran dari sekelompok homo erectus dan homo sapiens yang mendiami Lembah Rift di Afrika pada 1,5 juta hingga 5000 SM.
Kemudian dalam perkembangannya, migrasi juga berlangsung selama kolonisasi Yunani kuno dan ekspansi Romawi. Pergerakan penduduk dalam jumlah besar juga terjadi di luar wilayah itu seiring dengan perluasan imperium Mesopotamia, Inca, Indus,d an Zhou. Migrasi pada abad ke-18 dan ke-19 didominasi oleh perdagangan budak dari Afrika ke Dunia Baru (Amerika).
Lalu bagaimana perkembangan migrasi di abad ke-21? Amin Mudzakkir dalam bukunya menyatakan bahwa pada awal abad ke-21, migrasi telah berkembang sehingga menyentuh prinsip penyelenggaraan kehidupan bersama, baik migrasi domestik dan internasional.
Perkembangan migrasi kemudian mempertanyakan apakah negara-bangsa yang mempertahankan batas teritorialitas masih relevan? Dalam bukunya, penulis menyatakan bahwa negara-bangsa masih relevan, tetapi sekaligus melampaui batas-batas, sehingga gagasan tentang demokrasi dan kewarganegaraan tidak lagi dipahami terbatas.
Gagasan tentang kewarganegaraan yang melampaui batas teritorial negara nasional disebut dengan kosmopolitanisme. Apakah gagasan kosmopolitanisme terbilang baru? Dalam bukunya, penulis menuliskan bahwa sebagai sebuah ide, kosmopolitanisme jauh lebih tua daripada nasionalisme yang menjadi sokoguru negara-bangsa modern.
Kosmopolitanisme dalam bentuk terkini terpusat pada pertanyaan tentang batas teritorial sejak Perjanjian Wesphalia 1648 menjadi sakral dalam praktik negara-bangsa modern.
Ide tentang kosmopolitanisme tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, sebab sama-sama menempatkan individu sebagai pusat. Praktik kewarganegaraan yang membatasi gerak individu hanya pada batas teritorial tertentu, tidak jarang mengakibatkan penindasan pada yang lain, khususnya bagi kaum minoritas yang rentan dan tidak mendapat panggung dalam demokrasi.
Tawaran Benhabib Mengenai Kosmopolitanisme
Amin Mudzakkir dalam bukunya menyatakan bahwa kosmopolitanisme bukan suatu rumusan gagasan yang tunggal. Kosmopolitanisme disuarakan oleh kalangan Teori Kritis.
Salah satu pemikir Teori Kritis generasi kedua, yaitu Jurgen Habermas yang tidak membuang prinsip universalitas dan subjek. Habermas menawarkan teori diskursus yang bersifat komunikatif. Namun, subjek bagi Habermas tidak lagi monologal, melainkan dialogal.
Walau demikian, Benhabib sebagaimana dituliskan Mudzakkir, Habermas masih terjebak pada filsafat subjek. Benhabib mengajukan Teori Kritis sebagai utopia komunikatif, subjek berayun di antara norma (prinsip universal), dan utopia (pandangan partikular). Prinsip moral universal tetap dipertahankan sebagai basis filsafat kosmopolitanisme di tengah menguatnya politik identitas.
Lalu pertanyaannya moral universal seperti apa yang ditawarkan Benhabib dalam situasi masyarakat kontemporer yang plural? Amin Mudzakkir berpijak pada pemikiran Benhabib, teori moral universal Benhabib sebagai "unversalisme interaktif" yaitu universalisme yang pasca pencerahan, tetapi berkelindan dalam realitas sosial. Tidak memisahkan secara kaku antara moralitas dan politik, publik dan privat.
Bagi Amin Mudzakkir, pemikiran Seyla Benhabib menemukan relevansinya dalam kondisi politik internasional. Tawaran pemikiran Kosmopolitanisme Benhabib bisa membantu para advokat hak asasi manusia dalam memperjuangkan nasib para imigran di hadapan kebijakan imigrasi dan kewarganegaraan yang tidak ramah terhadap kondisi kesulitan para imigran.
Mudzakkir menegaskan bahwa pemikiran Benhabib membuka kemungkinan pencarian titik temu - suatu utopia - masyarakat kontemporer yang ramah terhadap perbedaan tanpa kehilangan pijakan pada nilai-nilai universal.