Pertanyaan terkait filsafat pertama yang membuat saya berpikir kritis adalah apakah gajah sadar, kalau ia adalah seekor gajah? Pertanyaan ini saya dapatkan lebih kurang ketika saya berada di bangku sekolah menengah pertama. Sampai saat inipun saya tetap merenungi terkait pertanyaan tersebut, walaupun mungkin pertanyaan ini sudah timbul di zaman Yunani. Karena pada dasarnya pertanyaan mengenai filsafat adalah pertanyaan yang berulang, yang diharapkan terus dipertanyaan manusia. Dengan kata lain pertanyaan mengenai filsafat sifatnya adalah perennial atau abadi, sehingga dari waktu ke waktu terus dipertanyakan orang.
Terkait pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab secara eksplisit dalam tulisan ini, sebab mengenai filsafat tidak dapat dijelaskan dengan suatu definisi, melainkan hanya dapat dipelajari dan dialami dengan cara berfilsafat itu sendiri. Dalam kegiatan berfilsafat, seseorang membutuhkan persiapan sebelum ia masuk ke dalam tahap perenungan yang sesungguhnya.
Salah satunya, berfilsafat merupakan suatu keterampilan yang harus dikembangkan dalam praktik, ibarat orang tidak akan tahu dengan sendirinya bagaimana cara berenang yang benar walaupun sudah membaca seribu satu buku mengenai teori berenang, orang tersebut baru dapat merasakan bagaimana caranya berenang setelah ia terjun langsung untuk berenang.
Kemudian, hal paling esensi dari berfilsafat bukan berbicara mengenai bagaimana caranya berenang atau teknik apa yang diperlukan dalam berenang, karena pertanyaan demikian dapat dijawab dengan ilmu pasti lainnya, namun berfilsafat lebih mengutamakan perenungan terhadap suatu hal tertentu, misalnya apa yang kita rasakan saat berenang, bagaimana rasa takut tenggelam itu muncul dalam pikiran manusia ketika berada di air, atau bahkan bertanya megapa manusia bisa merasa bahagia saat berenang. Dengan kata lain, berfilsafat sebenarnya adalah usaha untuk memahami dunia nyata yang dialami sendiri dan kemudian menjelaskannya secara sistematis, logis, benar dan juga masuk akal.
Pada hakikatnya, filsafat merupakan suatu perwujudan dari seni bertanya, dimana hal tersebut dikemukakan juga oleh Van Peursen. Seni bertanya dalam filsafat muncul akibat rasa ingin tahu manusia terhadap suatu hal, manusia ingin tahu lebih jauh daripada apa yang dilihat, dirasakan atau dialaminya. Bisa saja jawaban atas pertanyaan tersebut sudah jelas bagi kebanyakan orang.
Salah satu contohnya adalah mengenai apa itu kursi, sebenarnya sudah jelas bagi banyak orang bahwa kursi itu merupakan suatu benda yang digunakan manusia untuk duduk, misalnya. Namun pernahkah timbul pertanyaan, mengapa bentuk kaki kursi dibuat dengan balok kotak untuk kakinya, mengapa tidak bundar, atau segitiga. Atau, apakah kursi itu penamaan untuk suatu bentuk dan struktur tertentu, kenyataan ada sebagai hasil ciptaan dalam pikiran kemudian berwujud kursi dan meskipun kursi tersebut hancur berantakan, tetap kemudian disebut kursi juga karena pada kenyataannya penamaan tersebut adalah soal persepsi.
Persiapan yang dibutuhkan [yang menurut penulis merupakan hal yang paling penting] dalam berfilsafat yaitu mengenai kemampuan untuk memisahkan kepribadian seseorang dari materi yang didiskusikan. Tegasnya adalah, lihat materi diskusi, bukan pribadi orang yang berdiskusi. Banyak dari kita ketika beragumentasi mengenai sesuatu seringkali menembus batas pribadi seseorang, sehingga bukan materi lagi yang didiskusikan, namun pribadi [salah satunya karakter] dari orang yang berdiskusi.
Kemampuan memisahkan ini menjadi komponen penting dalam perenungan, sebagai manusia terdidik, jangan mencampuradukan antara berfilsafat secara produktif dan praktik psikologi. Maksudnya adalah, tugas filsuf bukanlah menganalisis orang lain atau filsuf lain secara psikologikal, melainkan pada dasar-dasar atau argumentasi yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan. Misalnya, mengapa Plato mengatakan bahwa UU harus tertulis, tidak dijawab dalam argumentasi mengenai siapa Plato pada masa kecilnya, kehidupan seksualnya, isteri atau selingkuhannya, tentang neurois-nya dan seterusnya, melainkan pada dasar argumentasinya atau filsafatnya. Mengapa ia katakana bahwa UU harus tertulis [dalam hal ini gagasan Plato tentang UU yang harus diuji].
Apakah filsafat itu ilmu?
Berbeda, namun serupa.
Filsafat sebagai ilmu atau ilmu filfasat adalah ilmu yang meneliti atau mengkaji objeknya (segala sesuatu yang mungkin ada) secara mendasar, menyeluruh, radikal sampai menemukan hakikat (esensi) dari objeknya. Hakikat merupakan sebab-sebab terdalam dari realitas. Conny Semiawan dalam bukunya menuliskan bahwa filsafat bukanlah ilmu, karena filsafat adalah pengetahuan yang non-empirik, yaitu tidak mendasarkan pada pemahaman indrawi. Karena filsafat tidak berkaitan dengan pemahaman indrawi dan tidak memiliki pembuktian empirik, maka menurutnya filsafat bukanlah ilmu.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap yang berpendapat, maka dapat saja pernyataan tersebut diperdebatkan, karena sifat utama dari filsafat itu sendiri terbuka untuk dikritisi. Benarkah filsafat bukan ilmu? Singkatnya seperti ini, dapatkah orang berfilsafat tanpa pemahaman inderawi atau tanpa dunia? Jika seperti itu untuk apa muncul filsafat, jika filsuf hanya menciptakan dunia dalam pikiran sendiri yang berbeda dari dunia nyata nan inderawi? Disamping itu semua, masih ada sifat-sifat penting ilmu pengetahuan, yaitu universal, dapat dikomunikasikan dan progresif.
Singkatnya, ilmu filsafat berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan sekaligus juga menunjukan perbedaan antara keduanya. Seperti dikemukakan oleh Lorens Bagus, bahwa meskipun berbeda, filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai asal dan tujuan yang sama, yaitu manusia.
Kemudian, filsafat dan ilmu pengetahuan bermain di atas pengalaman manusia. Pengalaman ini memiliki dua segi, yaitu segi konatif dan segi kognitif. Segi konatif berarti segi pengalaman yang dilihat sebagai sesuatu yang langsung, sesuatu keadaan dimana terdapat kontak langsung antara subjek dan objek. Sedangkan, pengalaman kognitif adalah keadaan pengalaman yang sudah dirumuskan dalam pola-pola inderawi misalnya bunyi, tulisan atau tanda.
Selanjutnya, berkaitan dengan hukum, pertanyaan filsafat yang mungkin muncul adalah terkait: apa itu hukum, dari mana dan untuk apa hukum itu ada? Mengapa perjanjian harus berdasarkan konsensus? Mengapa orang harus bertindak adil? Atau apakah hukum adalah sebuah kepastian ataukah rumusan dari kekacauan (disorder) dunia atau realitas patologis?
Menurut Arief Sidharta, Perbedaan diantara keduanya adalah, ilmu-ilmu mencoba merumuskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, kegiatan ini memerlukan keahlian tertentu. Sedangkan filsafat tidak bermaksud membentuk keahlian, melainkan memperluas cakrawala pandangan manusia. Oleh karena itu, filsafat tidak bermaksud merumuskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, melainkan merumuskan pertanyaan atas jawaban-jawaban.
Ilmu-ilmu menyelidiki sedapat mungkin berbagai segi kenyataan kita, segi-segi ini kemudian dibatasi agar dihasilkan rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya. Misalnya, Ilmu Alam dapat menjadi eksak hanya sesudah lapangannya dibatasi ke dalam apa yang bahani (meteriil) saja. Contoh lain, ilmu Psikologi hanya dapat meramalkan perilaku manusia jika membatasi lingkup pandangnya ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Keterbatasan ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Filsafat tersebut kemudian dapat berkembang menjadi filsafat hukum, dimana wilayah telaah filsafat hukum menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke dapat dikategorikan menjadi tujuh bagian, diantaranya ontologi hukum (penelitian mengenai hakikat dari hukum), aksiologi hukum (penentuan isi dan nilai-nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran dan penyalahgunaan hak), ideologi hukum (pengolahan wawasan menyeluruh mengenai manusia dan masyarakat), epistemologi hukum (pertanyaan mengenai sejauh mana pengetahuan tentang hakikat dari hukum atau masalah filsafat), teologi hukum (menentukan makna dan tujuan dari hukum), ajaran ilmu (meta-teori dari ilmu hukum) dan logika hukum (aturan berpikir hukum dan argumentasi yuridik).
Sebenarnya tidak hanya hal itu saja yang berada dibawah jangkauan filsafat hukum, melainkan juga banyak hal-hal lain terkait hukum seperti tujuan, masalah negara dan legitimasinya, keputusan, masalah kejahatan dan hukuman. Hal itu dapat dilihat juga dari perspektif filsafat hukum.
Jika manusia mampu merenungi siapa dirinya dan apa makna dari hidupnya - pada dasarnya semua manusia adalah seorang filosof
[barangkali seperti dikatakan Descrates, cogito ergo sum atau je pense donc je suis yang berarti aku berpikir maka aku ada] namun hal ini harus dipahami dengan bijaksana, karena pada kenyataannya Descrates memiliki kesangsian metodis terhadap dunia objektif. Segala sesuatu diragukan keberadaannya, kecuali dirinya sendiri yang sedang ragu-ragu.
Oleh sebab itu, bijaklah berfilsafat.