Filsafat, sejatinya adalah sebuah keterampilan dasar yang dibutuhkan bagi manusia dalam proses penemuan kebenaran. Filsafat dapat menuntun manusia untuk memandang hidup dalam pada perspektif yang baru, menggugah rasa takjub dalam diri, berpikir melampaui keinginan atas popularitas, dsb. Artinya, berfilsafat dapat menjauhkan manusia dari kedangkalan yang kerap kita temukan dalam belenggu rutinitas.
Mahasiswa, dengan segala rutinitas yang padat merayap kerap 'terbelenggu - dibelenggu - membelenggu' diri. Ada banyak hal yang menjadi penyebabnya, sebut saja; tugas yang menumpuk, jadwal yang berantakan, drakor yang semakin hari semakin bagus, badai kemalasan yang mendekaden nalar dan buntutnya adalah abai untuk peningkatan mutu diri.
Sedangkan marwah sebagai mahasiswa itu sendiri adalah pembelajar mandiri yang berkomitmen atas peningkatan mutu diri. Mahasiswa terkesan membiarkan diri terjangkit penyakit alergi berpikir kritis dan intoleransi berpikir filosofis. Padahal terusan dari pengabaian tersebut adalah deselarasi peningkatan mutu bangsa HEHE...
Nah lo, bagi mahasiswa teater gimana? bukannya cuma bikin karya yang 'keren' aja bisa dapat nilai bagus? bisa tamat dengan pujian? Kami kan membuat karya dengan apa yang kami suka? gairah yang kami miliki.
Kira-kira dalih seperti itu yang pada dasarnya melemahkan daya kritis, daya kreasi dan daya cipta mahasiswa teater kita hari ini. Menganggap bahwa dalam dunia penciptaan seni tidak dibutuhkan pemikiran yang matang, mendalam dan rigid.
Menganggap bahwa seni yang dicipta dalam lingkungan 'sekolahan' hanya dinikmati 'orang sekolahan'. Tentu saja egosentrisme seperti itu dapat dibantai dengan cara berpikir filsafat ya setidaknya di. ruang sidang HEHE...
Jika kita tidak menghidupkan cara berfikir filsafat dalam proses pengkaryaan maka biasanya karya yang diciptakan hanyalah akumulasi dari kedangkalan-kedangkalan, artifisial semata, tidak punya daya di tengah masyarakatnya. Kita butuh cara berfikir filsafat untuk menajamkan diri! Pada kesempatan kali ini, mari kita berkenalan terlebih dahulu bagaimana berpikir filsafat
Pertama, berpikir kritis.
Pada konteks ini, berpikir tidak sekedar menyesuaikan diri dengan kenyataan pemikiran atau pandangan orang sebagaimana apa adanya. Justru, kita harus mempertanyakan segala sesuatunya untuk mendapatkan sebuah pertanggungjawaban intelektual. Meragukan segala sesuatu sampai kita memiliki keyakinan yang tak terbantahkan dalam diri.
Selain itu, dalam berpikir kritis terdapat aspek berpikir krisis. Jurgen Habermas mengatakan berpikir krisis adalah pemikiran yang bergulat dengan realitas yang penuh dengan determinasi, penyimpangan, dan pembusukan budaya.
Pemikiran yang menolak untuk dibelenggu dalam sangkar rasio. Pemikiran krisis ini berpijak pada penyakit sosial yang hidup di tengah masyarakat yang kerap mendistorsi akal manusia.
Jadi, menjadi mahasiswa teater mesti melihat realitas sekeliling dan sekaligus mempertanyakan kebenarannya. Tidak semata-mata melihat proses pengkaryaan yang akan dijalani sebagai proses fiktif belaka namun bersumber dari kondisi masyarakat di sekitar. Bergulat lah dengan realitas untuk menciptakan fiksi.
Kedua, berpikir radikal.
Berpikir radikal artinya cara berpikir yang ingin menggali dan menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, untuk menemukan dan mengangkat dasar-dasar pemikirannya secara utuh ke permukaan. Melalui cara berpikir demikian, kita dapat memperoleh hasil berpikir yang memadai dalam sebuah pertanggungjawaban secara intelektual. Kita tidak perlu bernafsu untuk mengambil kesimpulan pemikiran sebelum menemukan hakikat kebenarannya.
Dalam penciptaan teater, berpikir secara radikal dapat menuntun kita bahwa pengkaryaan merupakan sebuah proses. Bukan semata-mata melihat penampakan atau penampilan semata lalu sekonyong-konyong jadi sebuah karya namun menyelami realitas tertentu hingga ke-akar. Beranjak dari akar tersebut kita dapat membangun strategi untuk pengkaryaan dan menyusun strategi untuk menghadapi tantangan zaman.
Ketiga, berpikir sistematis.
Berpikir sistematis artinya berpikir logis, terstruktur dan teratur berdasarkan kaidah berpikir yang benar. Dalam proses pembelajaran teater, kita tidak hanya menyelaraskan ide-ide, kreativitas akal dan budi lalu menjahitnya menjadi sebuah pertunjukan yang megah. Justru dalam pembelajaran kita berupaya mengklasifikasi, mengkompilasi dan menyelami makna terdalam atas fenomena atau teori tertentu.
Berangkat dari sana, kita mulai merangkai pemahaman tersebut melalui berbagai pengertian, rumusan-rumusan masalah, hipotesis dan membuat sebuah kesimpulan baik berupa karya atau statement yang saling terhubung satu sama lain. Disampaikan dengan penuh tanggung jawab dan prosedur berpikir yang tertib.
Keempat, berpikir abstrak.
Berpikir secara abstraktif artinya berupaya membebaskan diri dari cara berpikir terbatas. Dari cara “menunjukkan” menuju tataran pemikiran “memahami dan “menjelaskan”. Pemikiran abstrak berusaha meningkatkan level pemikiran pada tataran imajinatif, membangun koherensi, dan korelasi secara utuh dan terstruktur dengan mengaitkan pada fenomena secara lengkap.
Kelima, berpikir reflektif.
Berpikir secara reflektif artinya berpikir dengan penuh pertimbangan dan kontemplatif untuk menemukan makna secara utuh dan mendalam. Dalam berpikir reflektif, kita mesti membiarkan diri terbuka dan tidak gampang membenarkan diri. Dalam proses ini kita dapat mengkhidmati kehidupan dengan segala kekhasannya dan tidak menutup jalan untuk internalisasi berbagai pemikiran filosofis.
Keenam, berpikir kontekstual.
Dalam mengerjakan sebuah proyek pertunjukan, kita mesti menyadari bahwa manusia sebagai objeknya atau ide dasarnya mengalami perubahan. Artinya ide bukanlah sekedar ide tapi realitas eksistensial dengan segala konteksnya yang faktual. Berpikir filsafat dalam berkuliah teater artinya juga menyadari bagaimana manusia atau masyarakat memecahkan masalah dalam kehidupan secara nyata.
Ketujuh, berpikir eksistensial.
Berpikir eksistensial artinya menyadari bahwa pikiran itu adalah elemen paling substansial dari keberadaan manusia. Manusia dapat dikatakan ada ketika ia berpikir. Setiap pemikiran tersebut juga bermuatan berbagai kepentingan, berbagai perasaan dan tujuan sebagai manifestasi dari keberadaan.
Berpikir eksistensial bagi mahasiswa teater juga bermakna sebuah proses penemuan jati diri secara khas. Penyadaran akan berbagai tujuan kehidupan, penyadaran akan keberpihakan pada nilai-nilai kehidupan yang dipegang. Sehingga dalam berkarya akan tercermin pada gaya yang ditampilkan atau isu yang disampirkan.
*Semata tulisan ini hanya sebagai pengayaan. Mudahan bisa terkhidmati!