Jika pada narasi konflik global abad ke-19 dan ke-20 muncul dalam bentuk ekspansi militer, neo narasi konflik globalisme menciptakan kondisi post-nasionalisme dengan mencerabut kepemilikan sumber daya dan tanah-air tanpa melakukan penguasaan administrasi teritorial (Tom Naim; 2005, dalam buku Novri Susan; 2012).
Reformasi yang ditandai dengan turun keprabon-nya Soeharto tidak pernah bisa terlupakan di benak sejarah bangsa. Perjuangan politik baik lewat konvensional maupun non-konvensional-–meminjam istilah Huntington (1990)–-berhasil memukul mundur dominasi bahkan hegemoni Orde Baru dengan karakter militeristiknya.
Meskipun demikian, bayi hasil menyatunya kekuatan mahasiswa dan rakyat-–penulis tidak ingin terlalu jauh memasukkan unsur invisible hand (seperti campur tangan Internasional)–-tersebut pada praktiknya terlihat premature.
Berbagai macam konflik horizontal yang sudah terjadi maupun yang masih sekedar potensi telah terpampang jelas di depan mata. Di Rembang, masyarakat berhadapan langsung dengan kekuatan represif pengusaha dan pemerintah. Yogya pun sebagai daerah yang mengklaim diri sebagai kota berhati nyaman, tidak lantas terbebas dari permasalahan: konflik lahan dengan penguasa.
Memang, basis konflik kebanyakan terjadi di daerah, namun tidak serta merta negara di mana pemerintah pusat berada terbebas dari hal demikian. Sebab jika kita memahami isi UU Nomor 32 Tahun 2004 senyata-nyatanya terlihat bahwa bagaimanapun juga urusan daerah tentu melibatkan posisi pusat juga, terlepas dari skala minimum maupun maksimumnya.
Ditambah lagi ini merupakan konflik struktural dan langsung-–meminjam istilah Johan Gantung (2004)---yang tentunya negara harus turun tangan untuk mendudukkan akar permasalahan.
Tentunya tidak ada tindakan rakyat yang konyol dan terlepas dari hubungan kausalitas. Pastilah ada penyebab kronis hingga memacu kemarahan rakyat yang padahal jikalau dalam kondisi normal bisa diselesaikan secara bijak.
Biasanya, kemarahan rakyat ini didorong oleh dua hal, yakni, pertama, deregulasi oleh negara terhadap aturan-aturan yang memberi jaminan terhadap perlindungan hak-hak kekayaan rakyat, atau dengan membuat regulasi-regulasi yang berpihak pada pasar.
Kedua, tidak diberikannya kesempatan bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat, atau memang sengaja tidak didengarkan---cacing pun akan memberontak kala diinjak (Pepatah Minangkabau). Bagaimanapun, tindakan menyalahkan ketika tidak ada kesempatan bagi satu pihak untuk berbicara dan menjelaskan adalah merupakan bentuk kekerasan (Marshal Rosenbergh; 2003).
Realitas demikian mendorong kita untuk bertanya apakah memang tiada jalan untuk mendamaikan kepentingan selain menggunakan kekerasan dan mengumpat? Apakah tindakan militer zaman orde baru benar-benar sudah tak lagi menjerat? Bagaimana mungkin hukum yang dianggap sebagai panglima mencapai kemakmuran malah menjadikan rakyat melarat? Benarkah kedaulatan ada di tangan rakyat?.
Paradoks
Mengurus Indonesia dengan berbagai tipologi masyarakatnya tentu sangat rasional jika menggunakan kekuatan hukum. Ia bisa menjaga persatuan antar daerah yang berbeda dalam panji keamanannya. Ia dapat pula memberikan jaminan kesejahteraan per-daerah dengan menggunakan jubah kebijaksanaan bersama-nya. Namun, ia juga memungkinkan untuk menenggelaman kita di dasar kesengsaraan lewat kekuatan aturannya.
Dengan demikian terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yakni lembaga otoritatif dan aturan hukum yang dihasilkan. Jika kita kontekskan lembaga otoritatif tersebut di Indonesia, maka akan merujuk pada semua lembaga yang dihasilkan dari sentuhan tangan rakyat, dan itu tentunya meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif beserta para aparatur pembantunya.
Semangat kepercayaan harusnya menuntut mereka untuk berbuat secara demokratis dan responsif terhadap tuntutan yang berasal dari pemegang sah kedaulatan, yakni rakyat, sebagaimana yang dinasehatkan oleh J. Rhee Baum (2011) bahwa demokrasi responsif ditandai oleh kelembagaan pemerintah yang memiliki kecepatan responsif yang baik atas berbagai tuntutan publik.
Faktanya, acap kali lembaga-lembaga negara memilih untuk melakukan tindakan represif dan menulikan telinga. Mereka menganggap bahwa ketidaktaatan terhadap aturan hukum yang dibuat merupakan bentuk tindakan kriminal, dan bukan merupakan sebuah proses berjalannya sistem kebijakan yang responsif.
Celakanya, kemudian dimobilisasilah berbagai kekuatan yang dimiliki negara atas dasar legitimasi kewenangan hukum untuk mencegah semakin gencarnya aksi-aksi penolakan. Padahal dalam posisi tatkala berhadapan dengan ragam penolakan dari rakyat, seharusnya lembaga negara harus menempatkan diri sebagai safety valve (katup penyelamat) yang menyediakan mekanisme penyelesaian konflik dengan tetap mempertahankan integritas suatu masyarakat (Coser, 1957).
Praktik di atas tampaknya mengindikasikan akan dangkalnya pemahaman lembaga kita terhadap macam cara mendamaikan konflik yang terjadi-–penulis menyadari betul bahwa konflik adalah suatu yang niscaya seperti yang Thomas Hobbes nyatakan.
Kelihatannya mereka malah berbondong-bondong untuk mewujudkan tesis John Burton (1998) yang melihat bahwa sengketa dan konflik cenderung akan diurusi dengan menggunakan keamanan militer dan tekanan-tekanan maupun ancaman.
Buktinya, lembaga yang kita miliki terlihat hanya memahami bahwa strategi contending (keras) merupakan satu-satunya cara untuk menjaga keutuhan negara. Padahal masih ada empat strategi lain-–yakni withdrawing (menarik diri), yielding (menyerahkan keputusan), compromy, dan problem solving (pemecahan masalah)-–yang bisa digunakan sebagaimana Pruit (2004) mengkategorikan.
Selain itu, sangatlah tidak dibenarkan dalam konstitusi jika negara, yang notabenenya bertugas untuk mendengar suara rakyat dan kemudian mempertimbangkan barulah memutuskan, tiba-tiba menggunakan strategi kekerasan ini.
Sebagaimana yang dipaparkan John Keane (2004) bahwa negara hanya diperbolehkan menggunakan kekerasan dalam ranah demi melindungi segenap tumpah darah warganya dari tindakan asing, bukan lantas melakukan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri akibat terdorong oleh alasan yang dianggap tidak tertib dan lain sebagainya, melainkan segala sengketa konflik dengan rakyat harus diselesaikan dengan cara demokratis.
Akhirnya, kita semua harus menyadari bahwa saat ini kepercayaan rakyat terhadap kebijakan bersama yang didengungkan oleh negara hukum telah hilang seiring dikultuskannya cara-cara monopoli ala orde baru. Moira Fradinger (2010) menjelaskan ini dengan mengatakan, bahwa korupsi yang dilakukan antara kelompok elite negara dengan pelaku pasar merupakan akar dari terjadinya penyesatan---bahkan pembunuhan---terhadap demokrasi.
Modus penyesatan demokrasi sederhana saja, para penyelenggara kekuasaan negara menjual hukum dan kebijakan pada kelompok-kelompok pelaku pasar. Misalnya dulu saat Orba kita kenal UU Penanaman Modal Asing yang sering disuguhi administrasi rumit berbisnis (Novri Susan, 2012). Ya, memang demikianlah realitas negara tercinta ini.