5 Februari 1947, tepatnya 14 rabiul awal 1366 H, ada satu momen sejarah yang terjadi di sebuah ruangan kelas tafsir dikampus Sekolah Tinggi Islam, atau sekarang lebih dikenal dengan Universitas Islam Indonesia.
“Semua persiapan pembentukan organisasi mahasiswa sudah beres”.
Kalimat itulah yang diucapkan oleh seorang mahasiswa bernama Lafran pane. Kalimat yang sontak membuat kelas menjadi gempar, berbagai respon pro maupun kontra muncul membahas gagasan yang disampaikan oleh Lafran pane di kelas kuliah tafsir itu.
Dengan melalui perdebatan yang dinamis, Lafran pane dengan tenang dan arif pun menjelaskan tentang konsep yang sudah di godoknya matang-matang. Dengan niat yang kuat akhirnya Lafran pane berhasil meyakinkan rekan-rekan mahasiswa lainnya untuk mendirikan organisasi mahasiswa islam.
Dengan bantuan 14 orang mahasiswa akhirnya terbentuklah organisasi tersebut. Himpuan Mahasiswa Islam (HMI) disepakati sebagai nama organisasi tersebut, organisasi mahasiswa pertama yang menggunakan islam sebagai asas nya, yang memiliki ciri khas dengan memadukan aspek keislaman dan keindonesiaan.
Hari itu menjadi hari bersejarah bagi HMI, bahkan bangsa Indonesia. Menjadi sebuah kekuatan baru untuk Indonesia dalam melawan paham komunisme dan sikap hedon yang sudah mengakar pada mahasiswa, sehingga salah satu latar belakangnya HMI di dirikan untuk menjadi sebuah solusi terhadap permasalahan ini.
Dalam pergolakan sejarah bangsa Indonesia, salah duanya adalah HMI turut serta berjuang melawan penghianatan dan pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948, dan juga pada agresi militer ke-II pada 19 Desember 1948, dan perjuangan lain yang berkaitan erat dengan sejarah bangsa ini tentunya.
Banyak perjuangan yang diberikan untuk bangsa ini. Namun beberapa tahun ini, tidak lagi terdengar kisah heroik, ataupun kontribusi berpengaruh yang diberikan HMI. Bagaimana kondisi HMI saat ini? Atau sudah sibuk dengan menanggapi perasangka yang berkembang di internal HMI maupun eksternal?.
Maret tahun 1986, pada saat kongres di Padang menjadi titik kemunduran HMI. Undang-undang nomor 8 tahun 1985 menjadi pokok pembahasan pada kongres tersebut, pemberlakuan asas tunggal pancasila, sebagai satu-satunya asas yang harus digunakan dalam organisasi kemasyarakatan menjadi dilema tersendiri bagi HMI.
Berawal dari pemberlakuan UU tersebut, terciptalah perbedaan pendapat di dalam internal HMI. Terbentuklah sebuah kubu dengan menggunakan istilah MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang bertujuan untuk menyelamatkan organisasi yang menjadi korban asas tunggal, yang nantinya berkembang menjadi HMI MPO.
Di lain pihak ada yang menyetujui pemberlakuan asas tunggal tersebut. HMI menjadi pancasila adalah sebagai sebuah strategy demi tetap exist nya HMI di era orde baru tersebut, yang sempat diberi julukan HMI DIPO (selanjutnya disebut HMI), karena sekretariat pada waktu itu bertempat di jalan Dipenogoro, Jakarta Pusat.
Sebenarnya dari kejadian tersebut, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa kedua kubu ini memiliki tujuan yang sama, yaitu menjaga eksistensi HMI, tapi dengan cara yang berbeda. Satu pihak membentuk semacam majelis penyelamat, sedangkan yang lain mencoba melunakkan diri sejenak karna dipaksa oleh rezim.
Meskipun pasca orde baru, HMI sudah kembali lagi dengan asas islam seperti semula (AD HMI pasal 3 tentang asas), tetapi hingga kini kedua kubu ini tetap tidak bersatu kembali, dan sebuah pertanyaan juga bagi Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) adalah organisasi mana lagi yang ingin diselamatkan?.
Perdebatan akan sejarah yang beraneka ragam sumbernya, serta eksklusifitas pemahaman dari jajaran kader baru HMI hingga alumni sekalipun, menurut hemat penulis sudah menjadi “the big wall, yaitu tembok besar yang menjadi penghalang untuk kembali bersatunya kedua kubu ini dalam sebuah himpunan yang sama.
Pembenaran fanatik yang dilakukan oleh pelaku sejarah maupun pada buku-buku perkaderan HMI pun secara sadar sudah terwariskan kepada kader-kader baru. Bisa dibuktikan misalnya pada praktek proses perkaderan atau jenjang training di HMI.
Hemat penulis masih sangat minimnya penjelasan sejarah tentang perpecahan di tubuh HMI ini, dan sangat sedikit sekali, atau bahkan tidak adanya pembahasan terkait solusi penyatuan dua kubu ini.
Ada sebagian pemateri maupun instruktur ikut serta melanggengkan pemahaman sejarah yang fanatik itu kepada kader, tanpa dilanjutkan dengan diskusi yang membahas terkait sokusi penyatuan, yang akhirnya malah menambah tebalnya “dinding” pemisah antara HMI dan HMI MPO.
Kita harus sadari sejarah adakalanya bersifat empiris, tentu akan berbeda penjelasannya sesuai siapa yang mengatakannya. Oleh sebab itu di satu sisi sejarah menjadi tidak utuh dan terbawa-bawa oleh pemaknaan subjektif dari sang pelaku, dan kesalahnnya adalah terletak pada anggapan yang mutlak benar terhadap satu referensi sejarah saja.
Ir. Soekarno memang pernah mengatakan tentang “Jas Merah”, tapi juga hemat penulis kita harus menggunakan “Jaket Merah” (jangan keterlaluan mempercayai sejarah). Percaya yang berlebihan terhadap sebuah kisah sejarah nantinya menyebabkan kebencian terhadap sumber sejarah yang lain.
Maka dari itu perlu adanya upaya “duduk bersama” antara kedua belah pihak dengan pendekatan secara kultural, ataupun upaya penyatuan “sejarah yang hilang” melalui diskusi ataupun seminar, yang mana hasil diskusi tersebut akan menghasilkan sebuah buku yang akan disalurkan pada training perkaderan HMI.
Dan tentunya dalam jangka panjang akan menghasilkan sebuah keputusan organisasi yang diharapkan akan mengarah kepada penyatuan antar “saudara lama” ini, yang nantinya akan diperoleh melalui sidang kongres besar HMI sebagai pengambilan keputusan tertinggi dalam organisasi.
Kita sudah terlalu takut dan sudah pesimis akan kegagalan pada upaya islah terdahulu, dan akhirnya karna kegagalan tersebut muncullah perasangka liar yang berkembang diantara kedua kubu, salah satu penyebabnya juga sepele, kurangnya bercengkrama dan tidak adanya “kopi” diantara kita.
Yogyakarta punya keunikan tersendiri ketika berbicara tentang perjalanan HMI, selain tempat berdirinya HMI, kader HMI yogyakarta juga menurut salah satu referensi menjadi pengusung berdirinya HMI MPO, bisa dilihat untuk di Yogyakarta kader HMI dan HMI MPO hampir berimbang, bahkan di UII, kampus berdirinya HMI, MPO menjadi mayoritas.
Dan lucunya, di kampus-kampus besar seperti UII, UIN, UGM, dan UNY persaingan antar dua kubu ini sangat terasa. Di UII sendiri misalnya dalam perekrutan kader masih menggunakan propaganda yang mengarah untuk menjelekkan salah satu kubu, dan ini persaingan yang sangat-sangat tidak sehat.
Belum lagi masalah-masalah lain yang terjadi di kampus lingkup yogyakarta, atau bahkan diluar kota Yogyakarta. Ini seharusnya menjadi sebuah kesedihan sendiri bagi HMI, karna kemunduran HMI bukan karna menghadapi musuh dari luar, tapi karna perang saudara yang tak kunjung usai.
Hemat penulis, yogyakarta harus menjadi pelopor untuk kembali bersatunya HMI, karna jika kita bandingkan dengan kota-kota lain, persaingan antar kedua kubu ini sangat kecil untuk dirasakan, bahkan hampir tidak ada.
Tentunya tingkat kegelisahan untuk penyatuan kembali yang dirasakan oleh kota atau cabang lain akan berbeda skala nya dengan kader Yogyakarta. Dan di sisi lain para “dedengkot” dari HMI MPO juga banyak alumnus yogyakarta, tentu akan mempermudah penyatuan jika dimulai dari yogyakarta.
Ada istilah bahwa sebuah masalah harus dicabut sampai ke akar-akarnya, maka dari itu masalah perang antar dua kubu ini harus diselesaikan sampai ke akar-akarnya, dan kota Yogyakarta sebagi tempat lahirnya HMI, pecahnya HMI pun di kota tersebut, bukan tidak mungkin penyatuannya akan terjadi disana pula.
Upaya penyatuan ini sebenarnya bisa melalui beberapa metode, bisa dari “atas” ataupun “bawah”. Dari atas melalui kekuatan struktural antara kedua kubu, dalam hal ini adalah pimpinan pengurus besar, namun bisa juga dengan jalur “bawah”, mulai dari jajaran komisariat ataupun koordinator komisariat.
Tetapi penulis lebih menekankan pada jalur “bawah”, karena masih cenderung steril dari praktek-praktek politik praktis dan masih murni bertujuan untuk perkaderan, khususnya di tingkat komisariat.
Sudah saatnya HMI berhenti dari sikap euforia dengan kejayaan masa lalu, berhenti meng iming-iming kader baru dengan kehabatan-kehebatan alumni nya, sudah saatnya HMI membanggakan kondisi HMI nya, bukan alumni nya.
Hebatnya alumni yang sekarang adalah hasil dari sebuah proses perkaderan pada era 70 atau 80an, dan itu adalah tahun-tahun berkembangnya pemikiran dan ide-ide cemerlang pada tubuh HMI, dan salah satu penyebabnya adalah HMI masih satu, beda dengan sekarang yang terlalu fokus pada perpecahan internal.
Di HMI ada selogan “kita berteman lebih dari saudara”, menurut penulis itu kurang tepat, karna melihat realitas perpecahan di HMI membuat selogan itu berubah menjadi “kita berteman lebih dari saudara,tapi dengan saudara sendiri tidak berteman”
Bersatunya HMI tentu akan membawa perubahan positif yang signifikan pada aspek kuantitas maupun kualitas, dan penjaringan kader sebagai agen of change di masa yang kan datang tentu lebih maksimal, yang nantinya akan membuat sejarah baru bagi agama dan negara, dan HMI pun akan jaya kembali.
“Bangsa ini tidak butuh cerita, melainkan aksi nyata”. Yakin Usaha Sampai