Hal-hal receh yang sering kita lupakan sehari-hari adalah memulai dengan bertanya, kenapa aku dilahirkan? Dari mana aku berasal? Siapa diriku sebenarnya? Dan mengapa tiba-tiba aku harus lenyap (mati) dengan sunyi tanpa suara protes?.
Semoga saja semua kalimat di atas pernah menyita kesadaran kita, kalaupun belum mungkin setelah ini kita duduk di teras ditemani suasana keraguan dalam tanda tanya.
Hidup memang bukan pilihan dan kita tidak punyak kuasa untuk menentukan karena semua akan selalu dihadapkan dengan absurditas yang tidak henti-hentinya mencekam kehidupan. Ini yang dikatakan oleh peraih nobel sastra dari prancis Albert Camus bahwa realitas kehidupan adalah tentang absurditas, kita sudah tercatat dengan jalan hanya menuju kematian.
Apakah kemudian itu adalah nasib? Dan sekedar hal baik-buruk? Tentuk tidak semudah itu kita menjustifikasinya, karena bagaimanapun semuanya pasti ada konsekuensi daripada kehadirian diri manusia di bumi seperti hikmah, nilai, dan hal lain dibalik semuanya.
Adapun sepanjang sejarah adanya kehidupan disanalah ada yang membersamainya yaitu makhluk tuhan bernama manusia dengan tugasnya melihat dan menafsirkan ruang-ruang dibalik realita hidup yang disangsikan, dari hal fisik hinga metafisik, sampai hal yang mustahil sekalipun.
Dengan segala kamampuan dan kekurangannya, ia manusia selalu mampu mengimbangi dalam mengarungi adanya kenyataan hidup yang sangat sukar dilalui seperti halnya mengetahui sesuatu sebelum terjadi dan menafsirkan masa depan dengan sepikulasi melalui jalan yang dimilikinya yaitu akal.
Akal yang dimiliki manusia sangatlah dahsyat (Jika selalu diasah berfikir), bisa menjadikan action hidupnya sebagai representasi mahluk yang paling sempurna diantara ciptaan mahkluk tuhan lainnya. Tentu sebagai wasilah dalam melihat apa itu baik-buruk, apa itu etis dan estetik dan lain sebagainya tentang fakta hidupnya.
Di sisi lain, fungsi daripada akal tentu tidak terkonstruksi secara alamiah seperti proses mengetahui, memilah, dan membirikan deskripsi yang baik dan filosofis. Akal, juga membutuhkan patron sebagai inspirator dalam bernalar, mewujudkan daya kritisnya. Karena semuanya tentu tidak berangkat dari ruang kosong.
Lantas bagaimana manusia mendayagunakan akalnya? Jalan satu-satunya adalah berfikir, sebab bertindak berfikir juga tidak sembarang mengekspresikan kita perlu menghadirkan ruang baru bernama filsafat. Sebuah pengetahuan yang hadir dengan segala kemungkinan-kemungkinanya, bersama imajenasi yang membingnya mulai dari hal-hal yang sepele hinga pada persoalan hidup rumit.
Selain itu sejarah ilmu pengetahuan sudah banyak memberikan sumbangsih terhadap keberlangsungan hidup manusia dan dunia, terutama filsafat yang telah melahirkan deretan tokoh besar dengan kontribusi ilmu pengetahuannya terhadap kehidupan, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Ibunu Rusyd, Imam Ghazali dan tokoh-tokoh besar lainnya.
Ada sebuah ilustrasi menarik dari Bapak filsafat yunani bernama Plato yang membedakan hewan dengan manusia, mengatakan bahwa manusia mempunyai anugrah istimiwa berupa akal, dan manusia adalah makhluk tuhan yang sangat sempurna karena akalnya, yang kemudian dalam ilmu mantiq kita kenal dengan al insanu Hayawanun Natiq.
Ungkapan menarik lainnya disampaikan oleh bapak filsafat Modern bernama Rene Descartes yang mengkontekstualisasikan daripada ide plato, terdengar ungkapan filosofisnya yaitu “Aku berpikir maka aku ada”.
Dari ungkapan di atas memberi petanda dan pesan tersirat, bahwa sejauh peradaban ilmu pengetahuan berbicara tentang manusia selalu mendasarkan pada entitas dirinya tentang berfikir, oleh sebab itu hadirnya filsafat tidak lain sebagai oase dipadang pasir untuk mengaktualisasikan dan menghadirkan eksistensinya di dunia.
Selanjutnya, apakah manusia yang berfikir bisa dijustifikasi telah berfilsafat? Belum tentu, filsafat sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentu tidak hadir dari ruang kosong dan lepas dari unsur-unsur nilainya salah satunya adala filosofis, radikal, rasional dan lainnya. Lalu apakah manusia mampu berfilsafat dengan paradigma di atas? Jelas bisa, karena dengan seperangkat akalnya manusia bisa berjabat tangan dengan filsafat.
Namun, sayangnya di sebagian kalangan filsafat masih menjadi momok yang menakutkan dan sangat berbahaya jika harus membersamai kehidupan, dari saking fanatiknya terhadap filsafat mereka mengklaim ia adalah pengetahuan yang sesat dan menyesatkan, harus dijahui, kalau bisa dibasmi dari bumi manusia.
Sehingga mereka harus kehilangan daya nalar dalam hidupnya seperti dari mana berasal, bagaimana layaknya menjadi manusia bijaksana, manusia yang berfikir sebelum bertindak dengan berpijak pada rasionalitas dan nalar yang kritis, dan prihal filosofi hidup lainnya. Lucunya lagi, mereka lupa bahwa mereka manusia yang ber-akal.
Kemudian masihkah kita akan membenci ilmu pengetahuan bernama ilmu filsafat? coba kita banyangkan jika hidup tanpa sentuhan ilmu pengetahuan filsafat, bagaimana nasib masa depan manusia yang dianugrahi akal sebagai prangkat hidupnya?
Sekali lagi, berbagilah hidup dengan filsafat, memang fisafat bukan pengetahuan paling sempurna, tetapi ia adalah satu-satunya jalan terbaik utuk memperkenalkan siapa dirimu sebenarnya, menjadi manusia ubermensch seperti apa yang dicita-citakan Friedrich Netzsce, menjadi manusia bermoral seperti yang disampaikan Emmanuel kant, dan menjadi manusia yang memiliki nilai seperti Albert Camus pesankan untuk melawan realita kehidupan.