Berbicara masalah kemodernan tidak terlepas dari yang namanya perubahan. Baik itu dari aspek teknologi, sosial kultur dan budaya, serta perilaku individu. Bagaimana cara mereka memperlakukan kemodernan tersebut dan bagaimana mereka menyikapinya.
Sastra adalah barang jadul. Tapi sastra juga merupakan produk dari kemodernan itu sendiri. Sastra memang banyak mengubah dunia dari berbagai macam masa lalunya. Permasalahan sastra adalah permasalahan sudut pandang. Sudut pandang itu akan tipis jika penggiatnya mulai berkurang.
Era digital adalah tantangan besar bagi sastra yang dulunya hanya sekadar menghiasi lembaran-lembaran dan lakon-lakon. Digitalisasi semua aspek sastra akan menyurutkan nilai-nilai dalam sastra itu sendiri.
Fenomena Quote Image adalah salah satu dampak dari digitalisasi sastra itu sendiri. Mengutip salah satu kata dalam sebuah karya sastra lalu menghadirkannya dalam sebuah gambar menarik. Tujuannya hanya sekadar menarik pembaca, atau mengatakan pada khalayak maya akan bacaan yang sedang dibaca. Tidak ada yang salah, tapi miris.
Konteks dari apa yang dikutip tidak tersampaikan. Penghuni maya hanya dapat memindainya dan memahaminya cuma sebatas kalimat atau kata yang menarik. Entah itu sesuai dengan perasaannya atau kalimat tersebut mewakili akan apa yang harus dikatakan.
Orang-orang hanya akan berlomba menciptakan, mencari Quote Image tanpa perlu memahami maksud sastrawan dengan segala dinamika penulisan di baliknya. Meskipun biasanya Quote tersebut adalah final statement atau pernyataan akhir atau inti dari sang penulis.
Sebagai pembaca yang baik, sudah seharusnya menilik lebih jauh latar belakang pernyataan tersebut. Bisa jadi seluruh kisah hidup penulislah yang melatarbelakanginya.
Dengan adanya Quote Image tersebut, penghuni maya tak perlu bersusah payah membaca ribuan buku untuk mengambil kesimpulan. Sebab mereka dengan mudahnya menempelkan Quote tersebut dalam akun sosial virtual, seolah-olah itulah diri mereka.
Krisis sastra, kiranya itu yang terjadi pada era digitalisasi. Perseteruan bukan hanya ada pada Ebook versus Real Book. Yang mana kedua-duanya sudah memiliki penggemarnya masing-masing.
Istilah kutu buku yang dulunya adalah suatu hal yang sangat baik dalam pandangan masyarakat, sekarang media-media ikut membuat stereotype bahwa kutu buku itu culun, tidak modern, kolot, dan kurang gaul. Singkatnya, tidak keren. Hal yang demikian akan menurunkan minat baca anak muda. Mereka lebih memilih memainkan gawai atau berkumpul-kumpul membicarakan idola musik mereka.
Sebenarnya apa yang salah jika kita mengabaikan sastra? Kemampuan memahami manusia akan menurun. Kebiasaan memindai dan cerna dengan referensi sudut pandang yang tipis. Tidak ada koreksi dan mudah terprovokasi oleh ajakan. Mungkin budaya hedonisme kian tumbuh akibat lemahnya pertahanan individu dari ajakan iklan-iklan komersial.
Bertahan dalam lingkungan sosial yang kian apatis dan juga egois. Rasa kebersamaan yang hanya sebatas ucapan kata-kata tidak ada perbuatan. Apalagi krisis ini merambah kepada pekerja kreatif seperti halnya konten kreator pada kanal video. Sudut pandang diri sendiri lebih ditonjolkan. Dan sering kali mendapat pembenaran dari pengikut setianya tanpa adanya kritik.
Belum lagi ranah pendidikan ikut mengamini akan krisis sastra tersebut. Guru yang lemah akan sumber bacaan lebih mudah menuduh kebodohan anak didik lalu melanjutkannya dengan kekerasan fisik atau mental. Tidak pernah memperhatikan kualitas diri sendiri. Ditambah dengan pemikiran-pemikiran tenaga pengajar yang hanya bersumber dari dogma masyarakat, tentu akan makin runyam.
Bercermin dari kebudayaan bangsa Arab yang merambat ke penjuru dunia dengan waktu yang relatif singkat, mengangkat martabat mereka serta daya saing global, kuncinya adalah sastra.
Alquran Allah turunkan dengan nilai sastra yang tinggi. Karena bangsa Arab saat itu sangat mencintai sastra dan mengalir dalam kehidupan masyarakat mereka. Sehingga dengan mudah mereka menemukan nilai estetika sastra serta hubungannya dan membantu dalam implementasinya.
Komunikasi modern minim akan estika. Berdampak buruk pada standar penilaian masyarakat. Jika standar estetika masyarakat mulai turun, bukankah hal tersebut telah menurunkan nilai estetika itu sendiri dalam setiap diri individu? Kemerosotan nilai estetika pada individu dapat berdampak pada sikap ketika individu tersebut menghadapi sesuatu. Apatisme.
Sikap masa bodoh adalah permasalahan moral yang ditimbulkan oleh rendahnya konsep estetika pada diri. Kita bisa lihat betapa berpengaruhnya nilai estetka bagi sudut pandang manusia dalam menerima moralitas. Ajaran agama tidak semudah itu diterima jika nilai ukur manusia dalam estetika tidak ada. Keinginan untuk menjadi indahlah moral itu dapat diterima.
Lalu apakah ini fenomena krisis sastra yang berujung pada perubahan moral? Atau hanya bias dari dampak kapitalisasi dalam segala aspek segala kehidupan modern?
Semuanya dapat kita uji kembali dalam forum akademik. Tulisan ini hanya sebagai pengantar dan kecemasan penulis dalam melihat fenomena masyarakat. Benar atau tidaknya, ini hanyalah hipotesis yang berangkat dari pengamatan pribadi. Semuanya bisa dipecahkan kembali melalui metode-metode akademis. Setidaknya para cendekiawan memiliki masalah baru yang harus dipecahkan.