Dua hal yang menyatukan seluruh manusia di dunia yang hidup dalam berbagai suku, bahasa, agama, dan budaya berbeda adalah: siapapun terlahir dari rahim seorang perempuan dan siapapun terlahir merdeka dengan hak dan martabat yang sama.
Beranjak tumbuh, akal dan hati nurani mestinya menuntun manusia hidup bersaudara secara harmoni satu sama lain. Sampai mati pun, semua manusia memiliki hak asasi yang tidak dapat dicabut, dipindahkan, atau dilenyapkan oleh peristiwa apapun.
Namun, tidak jarang manusia terjebak dalam dilema menafsirkan atau membungkus hak-haknya. Seringkali, satu kelompok mengklaim haknya secara berlebihan sehingga menimbulkan konflik kepentingan sesama manusia. Yang satu merasa berhak untuk merdeka, yang lain menganggap berhak mempertahankan keutuhan.
Jika sudah demikian, kelompok manusia yang memiliki kekuatan lebih, sadar atau tidak, cenderung mengintimidasi pihak yang lebih lemah, sehingga terjadilah pelanggaran HAM yang biasanya disertai konflik politik, keamanan, budaya dan ekonomi.
Seharusnya, perbedaan yang dimiliki manusia, baik itu warna kulit, suku, budaya, bahasa, identitas, preferensi politik dan ekonomi, bahkan lingkungan hidup bukanlah halangan untuk hidup bermartabat dan harmoni. Perbedaan yang ada mestinya dilestarikan dalam kerangka persaudaraan.
Namun, kenyataannya, stereotype dalam mental masyarakat maupun negara sering menjadikan perbedaan sebagai sumber konflik. Kepiluan yang terjadi di Papua, misalnya, adalah gambaran bagaimana selama beberapa dekade perbedaan telah menjadi hambatan mental yang menjurus kepada konflik dan kekerasan.
Sejak bergabung dengan Indonesia pada tahun 1963, Papua menghadapi permasalahan yang dapat dibagi ke dalam empat kategori isu utama: politik (sejarah integrasi dan identitas politik Papua yang didistorsi), keamanan (siklus kekerasan politik dan kasus pelanggaran HAM berat), budaya (diskriminasi ras dan budaya – Papuanisasi dan Indonesianisasi), hingga ekonomi (penguasaan dan eksploitasi potensi dan kekayaan ekonomi Papua oleh orang non-Papua).
Permasalahan Papua kian kompleks akibat adanya korelasi antara satu isu dengan isu yang lain, seperti isu politik dan keamanan maupun isu politik dan ekonomi. Namun, apabila persoalan itu kita bahasakan dalam satu kata, “separatisme” tampaknya cukup mewakili.
Meskipun sebetulnya masih banyak warga Papua yang setia kepada Indonesia, sebagian warga Papua mengorganisir diri mereka ke dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan motif ingin melepaskan diri dari NKRI. Separatisme di Papua adalah goresan lama sebetulnya. Kekecewaan terhadap pemerintah pusat menjadi biang keladinya.
Dalam perspektif OPM, pemerintah melakukan pembangunan terpusat di Jawa sedangkan daerah yang jauh tidak terperhatikan. Lebih ekstrim lagi, nasionalis Papua memandang Indonesia sebagai kolonial yang merampas hak dasar mereka sebagai sebuah bangsa untuk merdeka maupun sumber daya alam mereka, terkhusus sejak berdirinya PT. Freeport pada 1967.
Dalam narasi Free West Papua Campaign dapat ditemukan bahwa kesejahteraan mereka tidak diperhatikan. Mereka hidup miskin, tidak punya akses terhadap pendidikan, dan kurang gizi. Ironis, mengingat Papua merupakan wilayah pertambangan dengan omset puluhan triliunan per tahun. Keuntungan selama ini terlalu banyak diterima Amerika Serikat ketimbang Indonesia.
Kendati belakangan 51 persen saham sudah dimiliki Indonesia menyusul divestasi yang dilakukan PT. Freeport pada Agustus 2017, hal itu bukanlah jaminan kesejahteraan masyarakat di Papua terjamin, terutama yang berada di pegunungan. Itu juga bukan jaminan aksi kekerasan dan pelanggaran di Papua akan berakhir.
Terakhir, pada 6 September 2017, sekitar 32 aktivis Papua Barat ditangkap dan disiksa oleh aparat di Sorong. Ditambah lagi, sejauh ini PT. Freeport telah merusak lingkungan di tanah Papua sehingga mempertegas bahwa secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat Papua masih mengalami kekerasan.
Kekerasan di Papua, sebagai contoh kasus Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014), kian membuat masyarakat Papua merasa disudutkan dan berasumsi tidak mendapat tempat di rumah sendiri. Diperparah lagi tidak adanya ketegasan pemerintah untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM akan memperparah stereotype yang menjamur di tengah masyarakat. Rasisme akan meningkat dan secara psikologis aktivis nasionalis Papua akan bergenerasi dan bereproduksi.
Belajar dari pengalaman, operasi militer besar-besaran yang dilancarkan pemerintah Indonesia di Papua bukanlah solusi. Ketika kekerasan dilawan dengan kekerasan, hal itu hanya akan menambah rasa trauma dan korban sipil tak bersalah.
Namun, penyelesaian konflik di Papua diakui tidak mudah lantaran sulitnya menguraikan fase konflik dalam perspektif yang tunggal. Nasionalis Papua dengan ceritanya sendiri (pandangan bahwa dulunya Papua dijajah Belanda terus dijarah Indonesia) dan pemerintah Indonesia punya narasi yang berseberangan (bahwa Papua adalah Indonesia sehingga perlu dipertahankan). Lantas apa yang bisa dilakukan?
Pertama, dibutuhkan keberanian dan keseriusan. Resolusi konflik bukan sekadar mencapai kesepakatan, tetapi lebih jauh ialah bagaimana menstruktur ulang atau menstransformasi hubungan pihak-pihak yang berkonflik. Tujuannya adalah mengubah perilaku pihak yang berkonflik untuk tidak lagi memilih kekerasan sebagai alat, mengubah kebiasaan bermusuhan menjadi saling memahami, serta mengubah struktur pihak yang berkonflik agar tidak ada lagi kesenjangan dan diskriminasi.
Dalam praktiknya, organisasi pergerakan di Papua perlu diwadahi dalam partai politik yang dapat berpartisipasi secara konstitusional dalam legislatif Indonesia. Yang penting ada ruang untuk mendengarkan suara para pemberontak yang selama ini kita menutup telinga.
Kedua, dibutuhkan pemahaman dengan satu perspektif yang kuat untuk menjelaskan sejarah atau latar belakang terjadinya konflik, suatu pemahaman universal bagi pihak yang terlibat. Hal ini belum tercapai karena tidak seriusnya pemerintah berdialog dengan pemberontak sehingga terkesan masing-masing berdiri dengan kebenarannya sendiri-sendiri.
Masyarakat awam pun juga dibingungkan oleh narasi-narasi yang berseberangan terlebih ketika pemerintah mulai membatasi opini masyarakat untuk mengkritik dan mengawasi tindakan pemerintah. Secara umum di Indonesia, penuntasan pelanggaran HAM belum dijamah.
Di level internasional hambatan ini masih terasa ketika Indonesia menolak keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam Melanesian Spearhead Group dari pengamat menjadi anggota penuh. Padahal itu adalah kesempatan untuk meruntuhkan hambatan mental pemerintah dan pemberontak.
Ketika hambatan itu sudah diruntuhkan, barulah aksi tembak-menembak dapat dihentikan dan pembangunan inklusif yang dapat melibatkan berbagai lapisan masyarakat Papua, termasuk perwakilan adat yang selama ini dipinggirkan, dapat dicapai dan diimplementasikan.
Kedua hal di atas bukanlah sesuatu yang mengada-ada asalkan adanya kelapangan jiwa dari kedua belah pihak untuk menghentikan aksi kekerasan. Memang akan membutuhkan waktu dan energy yang tidak sedikit, tetapi berkeringat membangun batu loncatan perdamaian jauh lebih baik ketimbang menyuburkan stereotype, aksi kekerasan, dan pemeliharaan kebencian.
Dengan memilih perundingan yang elegan, semoga Indonesia kian menjadi bangsa besar yang bermartabat memelihara hak-hak dasar masyarakatnya sebagai manusia.
#LombaEsaiKonflik