Selain pada Kanjeng Nabi SAW, perlu juga sesekali kita belajar cara bergama ala Jurgen Habermas – filosof Jerman. Habermas bukanlah seorang muslim, tetapi konsepnya dalam menampakkan agama dalam ruang publik sangat bijaksana.

Habermas menampakkan nilai religius yang tidak hanya ramah kepada pemeluknya, tetapi juga diterima semua golongan – rahmatan lilalamin. Hal itu dituliskan dalam esai-esainya yang membahas tentang masyarakat post-sekular.

Upaya Habermas tersebut bertujuan melahirkan sebuah konsep beragama dalam kehidupan yang plural (majemuk) saat ini.

Konsepsi Habermas itu sekaligus bentuk penolakan terhadap tesis sekularisasi oleh pemikir-pemikir sebelum dirinya – pemikir era modern. “Agama akan lenyap dan hilang seiring perkembangan modernisasi (pengetahuan positivistik).” Kurang lebih demikian tesis yang terbangun sebelum Habermas.

Tesis di atas menyebabkan agama hanya terkungkung dalam ranah privat. Tidak diperkenankan hadir dalam ruang publik. Sebab, hanya hal-hal rasional dan pengetahuan positivis saja yang diterima di ruang publik. Apesnya, agama diklaim sebagai pengetahuan tidak rasional – irasional.

Kondisi ini yang tidak diamini oleh Habermas. Menurutnya, tidak tepat jika dikatakan agama hanya berada dalam ruang privat. Ia melihat agama saat ini sudah hadir dan ikut memengaruhi ruang publik.

Seperti tercantum dalam karya Budi Kleden dan A. Sunarko: Dealektika Sekularisasi, Habermas mencontohkan aksi-aksi teror yang tejadi sejak 11 September 2001. Menurutnya, tragedi tersebut melalui legitimasi dan motivasi religius.

Kejadian-kejadian inilah yang menjadi salah satu dasar pernyataan Habermas. Meskipun sampai saat ini masih menuai perdebatan; apakah benah bermotifkan religius atau hal lain.

Terlepas dari perdebatan, Habermas tetap meyakini agama memiliki potensi untuk menampakkan diri di ruang publik. Motivasi-motivasi religus tetap diperkenankan muncul diperdebatan publik.

Salah satu alasan bagi Habermas adalah: karena agama berpotensi menggaet solidaritas. Kesamaan motivasi dan nilai religius memudahkan untuk membangun solidaritas.

Dengan solidaritas, agama mampu memengaruhi ruang publik; melawan kapitalisme; menumbangkan ketidakadilan; memerangi korupsi, kolusi, dst. Alasan inilah yang membuat agama tidak boleh hanya berada dalam ruang pivat belaka.

Melampaui Totalitarianisme Agama dan Keangkuhan Sekular

Walau begitu, Habermas menolak totalitarianisme agama. Tidak sepakat dengan segala sesuatu harus berbau religius. Tak mengizinkan agama mendominasi ruang publik.

Karena Habermas juga tidak ucup-ucup meninggalkan nalar sekular. Ia masih sangat menghargai warisan rasionalitas pendahulunya.

Terus, bagaimana cara Habermas melampaui keduanya?

Pertanyaan tersebut coba dijawab oleh Habermas dengan teori komunikasinya. Ia menganggap antara agama dan sekular harus sama-sama belajar satu sama lain; harus mengisi kekurangan masing-masing. Sebab, masing-masing memiliki kekurangan dalam pengamalannya.

Senada yang dituliskan Gusti Menoh dalam bukunya Agama dalam Ruang Publik: Hubungan Agama dan Negara dalam Masyarakat Postsekuler menurut Jurgen Habermas, [2018] “Ia (agama dan sekular) harus meninggalkan perpektifnya sendiri dan belajar melihat dirinya dari perspektif pihak lain. Proses transendensi komunikatif ini merupakan ‘kuning telur’ penalaran publik”

Oleh Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif [2009] merinci lebih detail dan praksis cara beragama Habermas. Membagi proses belajar tersebut dalam empat tahap:

Pertama, menuntut penerjemahan agama dari bahasa religius ke bahasa yang diterima semua golongan. Diterima di ruang publik, tanpa mengurangi substansi nilai dan motivasi religiusnya.

Bahasanya pun harus rasional. Karena, keyakinan-keyakinan religius harus dijelaskan secara rasional. Sehingga dapat diterima oleh warga lainnya. Entah orang yang beragama lain atau yang sekular.

Kedua, menghilangkan arogansi masing-masing – agama dan sekular. Seperti arogansi eksklusivisme agama yang memandang para warga sekular sebagai jiwa-jiwa tersesat, kafir, dan lain-lain. Serta, arogansi sekularisme yang menilai agama sebagai irasional dan tidak berhak hadir di ruang publik.

Ketiga, netralitas negara. Negara sendiri semestinya menjadi neraca yang seimbang, bukan netralitas yang berlandaskan sekularisme. Sebab, Habermas mewanti-wanti asas netralitas negara akan tersembunyi dalam pemihakan terhadap sekularisme.

Habermas mempertegas bahwa netralitas kekuasaan negara yang menjamin kebebasan etis bagi setiap warga negara, tidak bisa disamakan dengan universalisasi politis sebuah pandangan dunia sekular.

Keempat, menghilangkan dominasi mayoritas terhadap minoritas. Dalam konteks bernegara menurut Habermas, suara mayoritas tidak boleh semena-mena membendung suara minoritas.

Suara mayoritas agama tertentu tidak diperbolehkan menghalingi, apalagi menolak argumen minoritas, baik suara dari agama lain atau kaum sekular. Sebab, dominasi akan menjelma menjadi penindas dan totaliter.

Ungkapan lain menurut Habermas adalah kelompok mayoritas dalam demokrasi tidak boleh mengabaikan dan membungkam potensi kebenaran dari argumentasi-argumentasi kelompok-kelompok minoritas.

Keempat tahap tersebut adalah gambaran sederhana cara dan konsep beragama yang ditawarkan Jurgen Habermas. Melihat kehidupan bernegara yang amat plural, terutama di Indonesia saat ini, melegitimasi masih sangat relevannya pemikiran Habermas.

Tahapan di atas menjadi upaya bagi agama dan sekular untuk sama-sama belajar dan mengisi satu sama lain. Kondisi tersebut kemudian disebut Habermas sebagai “masyarakat pasca sekular” – post-secularism.

Bagi Habermas, “In democratic discourse secular and religious citizens stand in a comlementary relation.” Lihat selengkapnya esai Jurgen Habermas, Then Political: The rational Meaning of a Questionable Inheritance of Political Theology dalam The Power of Religion In The Public Sphere, Columbia University Press, [2011].