Syekh Abdul Majid Jambi adalah salah seorang ulama paling berprestasi dalam sejarah Islam di Jambi. Namanya selalu bersanding dengan nama-nama besar penyiar agama Islam di Jambi seperti Sayid Ahmad bin Husen Baragbah dan yang paling populer, Orang Kayo Hitam.
Syekh Abdul Majid Jambi lahir di Seberang Kota Jambi (Sekoja) pada tahun 1850. Di sana ia menuntut ilmu kepada ulama seberang seperti Ketib Mas’ud dan ayahnya sendiri, Muhammad Yusuf. Memasuki usia dewasa, ia kemudian melanjutkan studinya ke Mekah dan belajar kepada ulama Syafi’i paling berpengaruh pada masa itu, Sayid Bakri Syatha dan Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan. Peristiwa ini terjadi antara tahun 1870 hingga 1880an.
Sekitar tahun 1880an ia kembali ke Jambi dan mengajar di Langgar Putih, Kampung Tengah, Sekoja. Di sana ia memiliki sejumlah murid besar seperti Tuk Han, anaknya Guru Abdullah Affandi dan Tuan Guru Ibrahim, Hoofd Penghulu Abdussamad, Tuan Guru Utsman bin Ali, Tuan Guru Ahmad Syakur, dan Tuang Guru Kemas Muhammad Soleh.
Murid-muridnya inilah yang pada 1915 mendirikan empat madrasah di Sekoja dan kota Jambi. Keempat madrasah tersebut merupakan madrasah pertama di Jambi. Konon, Syekh Abdul Majid Jambi-lah yang menganjurkan para muridnya untuk mendirikan madrasah. Menurutnya, untuk melawan Belanda rakyat Jambi haruslah menguasai ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama.
Satu kisah yang kerap diceritakan oleh para guru di madrasah-madrasah Sekoja adalah bahwa Syekh Abdul Majid Jambi adalah guru dari Sultan Taha dan berperan dalam pengiriman surat Sultan Taha ke Turki.
Namun, sayang sekali kisah ini kerap dipandang sebelah mata oleh para sejarawan karena tidak adanya bukti atas cerita tersebut. lagipula nama Syekh Abdul Majid Jambi tidak pernah disebutkan dalam surat-surat Sultan Taha dan semakin mempersulit argumen tersebut.
Namun, apakah benar demikian? Bukankah tradisi lisan juga merupakan sebuah bukti. Jan Vansina, seorang sejarawan Afrika berupaya mengemukakan ide bahwa tradisi lisan adalah bagian dari sejarah. Tradisi lisan bukanlah sumber alternatif ibarat pemain pengganti dalam suatu pertunjukan drama.
Cerita-cerita tentang keikutsertaan Syekh Abdul Majid Jambi sangat populer di kalangan para guru di Sekoja. Menurut cerita yang saya dengar dari beberapa guru bahwasanya rombongan Syekh Abdul Majid Jambi tidak pernah sampai ke Turki. Rombongan tersebut tercium oleh Belanda sehingga membuat mereka mengurungkan niatnya ke Turki dan mengubah tujuannya ke Mekah untuk menunaikan haji.
Di Mekah, Syekh Abdul Majid Jambi mengajar di salah satu pintu di Masjid al-Haram beberapa waktu hingga suatu ketika ia memutusan untuk kembali ke Jambi. Dalam perjalanan pulang tersebut ia jatuh sakit dan meninggal dunia di Laut Merah.
Menelisik Kebenaran
Demikianlah cerita yang umum diingat oleh para guru di Sekoja. Apakah cerita tersebut benar-benar tidak dapat ditelusuri kebenarannya?
Syukurnya ada beberapa catatan yang mengindikasikan akan kebenaran cerita tersebut.
Irmawati Sagala dalam bukunya Islam dan Adat Dalam Sistem Pemerintan Jambi Masa Kesultanan dan Kolonial pada Tahun 1855-1942 telah menghimpun data tentang pengiriman utusan ke Turki sejak Sultan Taha berkuasa.
Salah satu dari catatan pengiriman surat tersebut adalah kutipan dari Mehmet Özay. Mehmet Özay menyatakan bahwa Sultan Tahan telah mengirim surat ke Turki sebanyak tiga kali.
Pertama terjadi pada tahun 1858/1859 yang dikirm oleh Sayid Ali bin ‘Alawi bin Hasan al-Jufry. Utusan kedua dan ketiga tejadi pada tahn 1903 dan 1904. Utusan tahun 1903 mendapat medali dari Turki yang sekarang disimpan di Museum Siginjai. Sedangkan utusan yang ketiga dikatakan hanya sampai ke Mekah tanpa ada alasan yang jelas.
Catatan tentang utusan yang hanya sampai ke Mekah ini sangat mirip dengan cerita yang diingat oleh para guru di Sekoja. Syekh Abdul Majid Jambi memang tidak pernah sampai ke Turki karena gerakan mereka tercium oleh Belanda.
Agaknya catatan Özay memiliki korelasi dengan cerita yang diingat oleh para guru. Selain itu, sebuah cerita memperkuat gagasan ini; bahwa anak Syekh Abdul Majid Jambi, Abdullah mendapat pelatihan militer dari Turki dan mendapat gelar Affandi, salah satu gelar bangsawan di Turki. Keikutsertaan Syekh Abdul Majid Jambi semakin beralasan mengingat jaringan yang dimiliki oleh anaknya.
Abdullah sendiri kemudian kembali ke Jambi dan mengajar di Madrasah Nurul Iman, salah satu madrasah yang didirkan oleh murid Syekh Abdul Majid Jambi. Abdullah kemudian dikenal sebagai Guru Abdullah Affandi dan terkenal tegas dan keras dalam mengajar.
Tulisan ini tidak sedang memaksakan kebenaran bahwa Syekh Abdul Majid Jambi betul terlibat dalam utusan surat Sultan Taha ke Turki. Akan tetapi diharapkan dengan keserasian cerita yang ada sekarang patut dipertimbangkan.
Bahwa tidak tersedianya bukti tertulis memang sangat disayangkan. Akan tetapi selayaknya para sejarawan tidak mengabaikan tradisi lisan dan keserasian dengan catatan Özay. Semoga dengan adana tulisan ini dapat mengusik kembali gairah sejarawan Jambi untuk meneliti hal tersebut.