Lahir dari kelurga sederhana dan menjadi bagian dari salah satu suku yang cukup populer di Indonesia membuat saya memiliki suatu kebanggaan dalam hidup ini. Saya bersyukur lahir di tengah-tengah keluarga yang memiliki dan menjalankan tanggung jawab penuh dalam perjalanan hidup saya.
Walaupun kondisi ekonomi kadang-kadang jadi pembeda alur cerita dan pencapaian antara saya dan teman sebaya, tapi saya tetap bersyukur akan hal itu dan saya tidak akan pernah menyalahkan bapak Joko Widodo.
Sebagian orang mungkin bertanya-tanya kenapa saya membuat tulisan ini. Tulisan ini muncul setelah saya melihat banyaknya fenomena unik yang terjadi di Indonesia saat ini. Salah satu fenomena yang muncul ketika seorang Ir. H. Joko Widodo menjadi presiden Republik Indonesia yang ke-7.
Fenomena itu adalah “semua salah Jokowi”. Fenomena ini terus menghiasi layar televisi, media sosial, dan ruang-ruang publik tempat masyarakat berinteraksi. Pendukung Jokowi yang lebih dikenal dengan sebutan silent majority tidak terlalu serius menanggapi hal tersebut.
Demikian halnya dengan bapak Jokowi sendiri, yang lebih memilih tetap bekerja daripada menanggapi beragam isu yang menerpanya. Perlahan tapi pasti, fenomena ini justru sesuatu yang menarik menurut pengamatan saya.
Semenjak kemenangan Jokowi pada pemilihan presiden tahun 2014 sampai ke periode yang kedua 2019, masyarakat Indonesia sampai terbelah dan sepertinya sulit untuk menemukan kesatuan kembali.
Kondisi tersebut sebenarnya imbas dari gaya perpolitikan yang diterapkan oleh elite-elite politik Indonesia sendiri. Menyebabkan masyarakat ikut terbawa suasana dan akhirnya terseret terlalu jauh yang justru menimbulkan perpecahan.
Tingginya politik identitas dan dipadukan dengan isu keagamaan menjadi racun mematikan yang memporak-porandakan tatanan sosial masyarakat Indonesia sekarang ini. Masyarakat Indonesia sekarang lebih condong untuk melihat perbedaan daripada persamaan dan hal itulah yang membuat persatuan bangsa makin runyam.
Kembali ke topik, bahwa masyarakat yang kontra Jokowi sering meyalahkannya secara membabi-buta.
Tudingan negatif tersebut bukan tanpa alasan. Kekalahan Prabowo Subianto dalam dua kali pertarungan politik dengan Jokowi membuat pendukung Prabowo Subianto kecewa sekaligus sakit hati. Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang kontra menjadikan Jokowi sebagai kambing hitam atas segala permasalahan yang dihadapi Indonesia.
Naiknya harga BBM, BPJS, melemahnya nilai rupiah, terjadinya gempa di Lombok, masuknya kapal Cina ke Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan masih banyak permasalahan lain yang semuanya itu dituding sebagai salah presiden Joko Widodo.
Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka akan jadi sebuah budaya baru di masyarakat Indonesia, yaitu budaya menyalahkan orang lain. Lantas, benarkah tudingan yang dialamatkan kepada bapak Jokowi tersebut?
Faktanya mengungkapkan bahwah Jokowi punya prestasi yang seharusnya membuat kita bersyukur di samping banyaknya hal-hal yang harus diperbaiki di dalam republik ini.
Pertama, pemerintahan Presiden Jokowi berhasil menjaga inflasi di kisaran 3-4% dalam kurun waktu 4 tahun terakhir sejak 2016. Pada tahun 2019, inflasi diprediksi di angka 3.3%. Sejak 2009-2015, tingkat inflasi tahunan Indonesia bergerak fluktuatif di rentang 3.98-6.41%.
Setelah itu, tingkat inflasi cenderung bergerak lebih stabil di kisaran 3,2-3,8% hingga tahun 2019. Pemerintah berhasil mempertahankan tingkat inflasi dengan stabil sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga.
Kedua, masalah pengentasan kemiskinan. Pemerintahan Jokowi berhasil menurunkan angka kemiskinan di Indonesia menjadi single digit. Hingga tahun 2018, angka kemiskinan di Indonesia telah mencapai 9,2%, turun dibandingkan dengan bulan Maret 2014 yang mencapai 11,25%. Pemerintah masih optimis tahun 2019 ini angka kemiskinan masih bisa ditekan di level 9,2%.
Ketiga, indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia terus membaik dalam 5 tahun terakhir. Angka IPM Indonesia sudah berada di kisaran 70-an pada 2018.
Perlu diketahui bersama, IPM adalah salah satu alat untuk mengukur pencapaian sosial ekonomi suatu negara yang dilihat dari beberapa aspek seperti tingkat kesehatan, pendidikan, dan standar hidup masyarakatnya. Makin tinggi skornya, maka makin bagus tentunya.
Keempat, pemerintah berhasil menurunkan prevalensi stunting di Indonesia dari 37,2% di tahun 2013 menjadi 30,8% di tahun 2018. Artinya, prevalensi stunting di Indonesia turun 6,4 persentase poin dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Pencapaian ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memerangi stunting sebagai indikator gizi buruk untuk anak-anak Indonesia.
Kelima, dari sektor pendidikan, pemerintah juga berhasil meningkatkan rata-rata lama sekolah penduduk usia di atas 15 tahun. Pada tahun 2013, rata-rata lama sekolah penduduk usia di atas 15 tahun adalah 8,1 tahun. Ketika target pemerintah tercapai, maka naik menjadi 8,8 tahun.
Keenam, target dwelling time Indonesia kembali menurun. Perlu diketahui, pada tahun 2013, dwelling time Indonesia mencapai 6-7 hari. Pada 2019, dwelling time di Indonesia ditargetkan berada di kisaran 3-4 hari. Hingga Maret 2019, dwelling time di Indonesia sudah berada di 3,9 hari.
Tentu perbaikan supaya dwelling time jadi 3 hari masih perlu dilakukan. Karena pada dasarnya, lamanya dwelling time membuat waktu mobilitas barang menjadi tidak efisien.
Ketujuh, rasio elektrifikasi di Indonesia terus membaik. Pada tahun 2014, rasio elektrifikasi di Indonesia hanya 81,5%. Target rasio elektrifikasi Indonesia di tahun 2019 mencapai 100%. Namun hingga kini, rasio elektrifikasi berada di level 96,6%.
Selain itu, rasio konsumsi listrik juga sudah mencapai target di level 1.200 kwh/orang.
Sebagai rakyat yang beradab, tentu kita harus memberikan apresiasi atas pencapaian ini. Meskipun masih banyak target yang belum tercapai dari yang sudah ditargetkan oleh presiden beserta jajarannya.
Mencerca, memaki, atau bahkan menyalahkan presiden atas semua yang kita alami dengan asumsi bahwa hal tersebut adalah bentuk kebebasan berpendapat di era demokrasi bukan keputusan yang bijak. Sudah saatnya kita memperbaiki diri, kelurga, dan lingkungan kita demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia ke depannya.