Tentang rindu dan segala kebejatan yang menghampiriku malam ini. Ingin rasanya aku kabur masuk ke paru-parumu melalui tarikan nafas. Lalu membangun destinasi di dadamu berbentuk piramida, agar setiap seseorang mendekapmu akan luka-luka.
Aku masih di sini, mengotak-atik puisi dalam ngauman selangkangan beribu bahasa tanpa makna, menunggu ciuman itu membekas sekali lagi demi memulihkan ingatan.
Seperti Hiroshima dan Nagasaki yang porak-poranda oleh atom Amerika. Kehancuran sudah menjadi penantian panjang bagi orang-orang kesepian sepertiku yang hanya mengandalkan kepasrahan. Sebab, telah mencoba segala upaya untuk bertahan tetapi nahas.
Melihat dunia secara terbalik, menemukan lusinan lukisan mayat-mayat rongsokan di wajah perempuan malam di pinggir jalan.
Mencari jati diri mereka yang telah lama kehilangan identitas akibat mengenal bedak dan pemutih dengan sedikit tetesan alkohol sebagai pelengkap.
Kembali lagi aku mengatakan, persetan dengan kenyataan. Semenjak para filsuf dibunuh karena benar, ilmuan diracuni sebab ilmiah, dan aku yang terancam sia-sia karenamu yang lupa memberi isyarat akan hidup yang kian absurd.
Aku lupa berapa ratus mayat bergeletak begitu saja di Kanjuruhan, demikian juga tragedi Helloween di Seoul, Korea Selatan. Setiap hari kita disuguhkan dengan tragedi, dengan berita kematian, kesia-siaan, dan kehampaan yang tak berujung.
Ada berapa banyak nyawa yang harus melayang demi kepuasan sebuah acara seremonial. Lagi-lagi, ini tentang manusia, rela membunuh demi kepuasan, dan pasrah dibantai demi secuwil kenikmatan.
Muak dengan segala rekayasa sosial akibat permainan manusia, sebagaimana dikatakan Sholom Aleichem, "Hidup adalah mimpi bagi orang bijak, permainan bagi orang bodoh, komedi untuk orang kaya, tragedi bagi orang miskin.".
Lalu kita bisa apa? Kita hanya bisa membayangkan apa-apa yang tidak bisa mereka bayangkan, seperti membayangkan Sisifus sibuk selfi di saat-saat terakhir menjalani kutukannya.
Tetapi lebih dari itu. Aku ingin mengumbar segala keluhanku di sini, menyaksikan laki-laki dengan perempuan saling bertengkar memperebutkan warisan. Saling menghakimi, mengklaim paling benar demi kebuasan perut.
Aku melihat laki-laki doyan mencari perempuan cantik, sementara perempuan terkesima melihat kemewahan yang dimiliki laki-laki, lalu mereka sepakat menjalin hubungan atas klaim cinta masing-masing.
Sejauh ini aku belum menemukan makna apapun dari perilaku mereka. Belum pernah ada cinta dijual di toko modern, dan mungkin tak akan pernah ada. Sebab yang kutahu, mematerialisasikan perasaan adalah kehampaan, sebagai wujud lemahnya pengakuan jiwa.
Tetapi kenapa manusia selalu terpedaya materi? Seolah buta memahami kehidupan. Tidak pernah cukup, haus dan asu banget.
Mengingat hal seperti ini membuat kejengkelan semakin menjadi-jadi. Seyogianya para pendahulu kita tak meninggalkan jejak apa-apa, maka meminum racun lalu meninggalkan pesan lebih baik daripada meratapi semua tanpa perlawanan.
Angin semakin memanjakan tubuh, malam kian memuncak, bintang-bintang semakin mencibir. Jemari semakin menari, mengingat bagaimana Pramoedya Ananta Toer memainkan pena, bahwa mengutamakan kemanusiaan adalah kemutlakan.
Di mana, sebaik-baik manusia baginya adalah mereka yang memanusiakan sesama. Aku tertampar sekaligus bersyukur mengenali karyamu Pram.
Aku rindu petuah Ali Syariati, menyerukan empati di mana saat manusia merasakan derita, berarti ia masih hidup katanya, sementara menurutnya. Saat seseorang bisa merasakan derita orang lain berarti ia adalah manusia.
Pada zaman ini, manusia seolah tak lagi ada harganya, kemanusiaan sisa dongeng yang diputar berulang terus-menerus mengantarkan setiap bocah menuju lelap di ranjang.
Saat kemewahan mendominasi dunia, orang-orang lemah dibuang seperti sampah. Mereka yang tak memiliki apa-apa jadi tumbal, dijadikan santapan renyah industri.
Sehingga kemiskinan dan kemewahan akan selalu kontroversi. Walau sesekali orang-orang meminjam istilah kesederhanaan sebagai jembatan untuk memaklumi keduanya.
Oleh sebab itu, aku tidak pernah lagi keluar rumah. Jalan-jalan penuh ketakutan, hutan-hutan telah dipadati bangunan, sementara cinta telah jauh ke angkasa.
Seperti kata Tsushima Shūji “Cinta melayang keluar jendela saat kemiskinan menghampiri pintu” demikian kalimat dari penulis populer Jepang yang juga dikenal dengan nama pena Osamu Dazai ini.
Aku tidak tahu persis cerita hidup Osamu Dazai selain daripada ia beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri hingga akhirnya tewas mengenaskan, namun rasanya begitu nyenyak sekaligus sesak di dada ketika membaca karya-karyanya.
Menemukan kalimat yang mendeskripsikan kenyataan tanpa ada motif dan rekayasa, sungguh aku mengagumi Osamu Dazai dengan segala kejujurannya terhadap realita.
Bahkan aku ingin mengatakan padamu, Osamu Dazai. Semoga kau masih bisa membaca tulisanku di alam sana. Sesungguhnya apa yang kau tuliskan di masa lalu tidak seberapa dibandingkan zaman modern nan gila sekarang.
Dulu di zamanmu cinta baru melayang keluar jendela saat kemiskinan menghampiri pintu, tetapi. Kini jangankan cinta menghampiri pintu, cinta yang miskin bahkan takut keluar kamar apalagi menuju rumah kecintaannya.
Andai kau masih hidup, mungkin tak perlu bunuh diri untuk mati. Cukup melihat kenyataan sekarang, aku pikir perlahan akan merenggut nafasmu yang tidak tahan melihat hidup dengan bungkusan kebohongan.