Dari sejak lahir sampai nyawa terpenggal, tak satupun diantara kita yang meninggalkan warisan nenek moyang kita. Meskipun sudah berabad-abad telah kita lewati. Tetapi tetap saja masih menyisihkan sisa-sisa dewa, ruang, tempat, tahayul, jimat, kubur, kuil, candi, Imperium, dan bangunan-bangunan lainya yang kita bawa, kita yakini dan kita percayai.
Sebelum Indonesia menginvasi militer belanda, sebelum Cina membangun bendungan Tiga Ngarai, sebelum Google membangun mobil otonom, dan sebelum Sadam Hussein membuat bom nuklir. Sudah duluan Fir'aun membangun Candi, waduk dan mendirikan kerajaan.
Dalam dunia dinamisme, kerajaan dan kekuasaan, mereka yang di anggap sebagai budak, dan prajurit dari kelompok-kelompok kerajaan. Itu harus tunduk dan taat tugas perintah. Akhirnya apa yang terjadi?
Satu kepercayaan kecil yang dikutuk oleh Fir'aun itu akan menjadi masalah besar bagi sejarah manusia. Sungguh miris keadaan kita ini! Tak ayal sampai di situ. Perang Jamal, perang Sifik, perang Huro dan perang Jap. Itu semua dikarenakan misi kerajaan, politik dan agama.
Abdulrahman Bin Mukjab yang memenggal leher Syaidina Ali. Itu juga karena atas dasar, kerajaan, agama dan politik. Sampai di bakar hidup-hidup, tetap saja tidak mengakui kesalahannya. Karena dia membela agama, kerajaan, dan politik. Sesama Islam mereka membunuh Syaidina Ali. Sesama Islam mereka membunuh Syaidina Usman. Sesama Islam mereka membunuh Syaidina Husen, dan membunuh Syaidina Hasan.
Di revolusi Prancis, yang menginvasi militer Jerman, melahirkan rakyat berdarah-darah. Hingga menumpas ribuan rakyat Paris meninggal. Itu juga karena agenda politik. Di konflik Papua, karena misi seperatis. Itu menyebabkan Timur Timour terpisah dari Indonesia. Itu juga karena agenda politik. Intervensi kekacauan, hak kebebasan, dan perilaku kemanusiaan. Itu tidak kita pisahkan dari agenda politik Australia dan Amerika Serikat (AS).
Sebab, —Tahun 1999, ketika usai Papua berdarah, Scot Marison, selaku Perdana Mentri Australia merayakan Pesta kebahagiaan, ketika melihat Timur-Timour dan Indonesia bergejolak konflik dan berdarah. Akhirnya apa yang terjadi di Indonesia? Amerika Serikat menjadi dalang utamanya. Sebagai mayoritas muslim terbanyak dari 132 negara. Asia yang harus jadi tumbang dalam konflik, perang, dan kekacauan. Agar tidak salahpahami, baca tulisan saya Konflik Papua di Balik Geruduk Asing.
Lewat itu, jaringan dan senjata pikiran,— biologis Sadam Husen, meluluhlantahkan Amerika tumbang dalam sejarah. Membunuh Sadam Husen, bagi mereka bukan berarti serangan politik Amerika menang melawan negara Timur Tengah, Asia, tetapi mereka kalah dalam jaringan bersaing.
Satu poin penting yang terjadi dalam sejarah kita. Itu akan menjadi jaringan besar terhadap kemajuan manusia. Dari jaman Batu hingga sampai ke jaman Silicon, memperlihatkan bahwa revolusi kognitif kita memungkinkan membicarakan hal-hal yang ada dalam Imajinasi mereka.
Apa yang di percayai oleh Sadam Husen dan apa yang yakini Fir'aun, serta kelompok-kelompok Islam lainnya. Itu akan menjadi dalil dalam agama, kisah dalam sejarah dan politik dalam negara.
Sejarah memang mengisahkan pembantaian, kekacauan. Tetapi agama mendamaikan ulang perpecahan.
Tidak ada yang salah dengan imajinasi yang mereka bangun. Tetapi yang patut di permasalahkan oleh kita adalah, ketika mereka membangun kepercayaan dan keyakinan mereka sendiri di atas hajat dan kekuasaan orang lain.
Fir'aun yang di anggap sebagai manusia super, sombong, dan kuat. Tidak akan gentar, takut pada siapapun. Sekalipun Tuhan yang menciptakan. Tetapi tetap saja ia harus membangkangnya. Begitu juga dengan Amerika Serikat, Tak mau kalah dengan kekuatan Sadam Husen, walau dengan nyawa yang terbengkalai, tetap saja ia harus terbunuh.
Dari latar peristiwa, kisah, dan sudut pandang cerita itu memang berawal bukan dari dewa, tuhan, dan fiksi, melainkan dari imajinasi, walaupun demikian akhir nantinya harus terbayar dengan kenyataan. Namun itu kerap kali mereka menjadi bukti dalam sejarah.
Ketika revolusi Agrikultural, sekitar 12.000 tahun yang lalu, mitos-mitos yang di munculkan dari nenek moyang kita. Itu di gambarkan oleh para petani sebagai kemampuan buntut dari otak manusia.
Mereka sangat yakin dan percaya pada cerita tentang dewa-dewa besar. Mereka mengadakan perayaan, memberikan sesaji, membangun kuil-kuil, menyembah patung-patung, membayar upeti, menarik pajak, dan bahkan pula menjual tanah.
Di Sumeria, misalnya sebagai pemujaan kota pertama. Mereka membangun kuil-kuil tidak hanya sebagai akses pusat penyembahan. Tetapi juga sebagai bentuk pusat ekonomi dan politik. Patung-patung, dewa-dewa Sumeria, dan upeti, pajak, serta sesaji. Itu layak seperti Tesla, Bank, Korporasi, Google, Software menurut mereka. Bagi mereka dogma tertinggi dari segala dinamisme dan imajinasi adalah pemujaan terhadap material dan benda-benda.
Bukan seperti,— batu-batu, dewa-dewa Zeus, pohon-pohon beringin, atau pun benda-benda yang di anggap memiliki kekuatan lebih dari karya, cerita-cerita, dan kemampuan khusus manusia.
Sebelum penciptaan tulisan dan cerita-cerita tentang penyembahan. Itu sudah terkurung dalam ketumpuan otak manusia.
Jadi, apa yang berlaku dalam dogma dan dinamisme. Itu tidak akan berlaku pada kerajaan, politik, korporasi, agama, dan kesehatan. Tentu Mesir Kuno, secara teknokrat amat jauh kecanggihan-Nya di bandingkan rumah sakit modern. Tetapi hasilnya apa? Mereka melewati proses dan program algoritma-Nya "sama".