Tegas, ceplas-ceplos, dan kontroversial. Ketiga kategori itu mungkin sangat cocok jika dikaitkan dengan nama Basuki Cahaya Purnama atau Ahok. Sosoknya yang apa adanya dan cenderung temperamen tak jarang menjadi sorotan publik.

Ahok mulai dikenal publik saat dia mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 lalu. Saat itu dia berpasangan dengan Joko Widodo, seorang wali kota Solo yang kemudian mengadu nasib untuk bertarung di perpolitikan Ibu kota. Begitupun Ahok, yang notabene sebelum menjadi wakil gubernur DKI Jakarta adalah seorang bupati Belitung Timur.

Kedua orang ini bisa dikatakan bernasib sama, yaitu sama-sama seorang pemimpin daerah yang kemudian mencoba pertarungan politik yang dirasa cukup “bergengsi” di Ibu kota. Namun setelah keduanya terpilih, di tengah-tengah amanah mengemban jabatan, Ahok ditinggalkan oleh sang rekan kerja.

Joko widodo yang terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. Kemudian secara otomatis menurut undang-undang Ahok-lah yang paling berhak mengganti tampuk kepemimpinan. Dari sinilah episode dimulai. Pada masa-masa awal kepemimpinan, banyak kecaman dari sana-sini yang ditujukan untuk Ahok. Khususnya dari kalangan umat Islam fundamentalis yang berpayung ayat-ayat suci.

Sentimen SARA yang selalu digunakan sebagai senjata andalan terbukti cukup ampuh dalam mengerahkan massa. Tentu masih terngiang di ingatan kita saat kemunculan gubernur tandingan secara tiba-tiba. Yang tak menyetujui Ahok menjabat sebagai gubernur Jakarta dengan alasan tak sesuai dengan isi yang ada di dalam kitab suci mereka.

Pernah juga gedung DPRD DKI Jakarta dikerubungi massa dengan tuntutan yang sama: mencopot jabatan gubernur DKI Jakarta yang melekat pada diri Ahok. DPRD dianggap yang paling berhak secara konstitusional untuk mewujudkan tuntutan itu. Namun, sayang serangan secara tubi-tubi itu tetap tak bisa meruntuhkan kedigdayaan Ahok. Padahal kalau dilihat secara eksplisit, tuntutan itu tidak rasional.

Bagaimana mungkin Ahok yang memang—meminjam istilah hukum—secara sah dan meyakinkan berhak menjadi gubernur DKI Jakarta menurut konstitusi dituntut untuk menanggalkan jabatan hanya karena tidak sesuai dengan kitab suci yang mereka yakini, padahal konstitusi menjamin kesamaan hak berpolitik! Dilihat dari suku, etnis, dan agama apa pun!

Dalam posisi ini, Ahok seharusnya bisa marah karena hak konstitusionalnya diganggu oleh sekelompok orang. Namun Ahok hanya merespons dengan perkataan, tidak dengan tindakan. Padahal, sejatinya bisa saja Ahok meresponsnya dengan sebuah tindakan karena dia juga mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

Pun dengan kasus uninterruptible power supply (UPS). Ahok diserang secara habis-habisan. Banyak pihak yang menyatakan bahwa Ahok juga terlibat dalam kasus yang melibatkan salah satu wali kotanya tersebut.

Namun setelah melewati berbagai proses, Ahok dinyatakan tidak terlibat dalam kasus tersebut meskipun salah satu anggota DPRD waktu itu ada yang menuduh dan terlihat meyakinkan bahwa Ahok juga sebagai “dalang” dalam kasus ini. Meskipun sampai sekarang itu tak pernah terbukti, lagi-lagi Ahok merespons bahwa ini hanya serangan politik untuk menjatuhkannya.

Kemudian selanjutnya adalah kasus Sumber Waras. Rumah sakit yang dibangun oleh pemprov DKI Jakarta tersebut juga menjadi ladang empuk bagi lawan-lawan Ahok untuk menjatuhkannya.

Tak tanggung-tanggung, salah satu lembaga negara (Badan Pemeriksa Keuangan) pun seakan-akan ikut “mengadili” Ahok yang menyatakan bahwa ada kejanggalan dalam proses pembelian lahan sumber waras tersebut dan mengindikasikan adanya korupsi. Lagi-lagi tuduhan itu tak pernah terbukti sampai sekarang. Bahkan dalam kasus Sumber Waras ini massa berbondong-bondong menyerang Ahok lewat media sosial.

Pernah suatu ketika tagar provokasi di Twitter yang menyudutkan Ahok dengan acuan hasil audit BPK menjadi trending topics world wide Indonesia. Namun provokasi-provokasi itu tak pernah memengaruhi KPK sebagai lembaga yang paling berhak untuk bersikap seobjektif mungkin.

“Saya menduga banyak yang sengaja menunggangi hasil audit Sumber Waras. Ada yang pengen saya gak jadi gubernur lagi.” Pernyataan ini terlontar dari Ahok tatkala merespons pertanyaan wartawan Tempo (30 November 2015) saat mewawancarainya.

Tak dapat dipungkiri dugaan Ahok ini terbilang cukup mendasar mengingat adanya pihak-pihak yang sedari awal yang tak suka melihat Ahok menjabat Gubernur Jakarta. Ditambah sikap Ahok yang mengundurkan diri dari Partai Gerindra, partai yang mengusungnya di pilkada DKI 2012, menyulut respons dari kader-kader partai tersebut. Salah satu kader yang menjabat anggota DPR RI juga pernah mengkritik secara pedas pada kasus Sumber Waras ini.

Tentunya ini juga menjadi tambahan “lawan” politik Ahok. Lagi-lagi Ahok masih kokoh dalam posisi ini. Yang terakhir, kasus dugaan penistaan agama. Kasus ini awalnya berasal dari video yang diunggah di YouTube dengan potongan dan judul provokatif yang pada akhirnya pengunggah juga dikenal sebagai orang yang tak suka Ahok.

Tentunya ini menjadi nilai yang sangat tendensius. Aksi bertajuk “Bela Islam” pun muncul. Ratusan ribu massa ikut berdemonstrasi menuntut agar Ahok dipenjara dengan tuduhan penistaan agama. Sulit dinafikan aksi ini tidak berbau politik. Terbukti dengan adanya perwakilan petinggi partai dan anggota DPR yang notabene berlawanan politik dengan Ahok dan tak terlihat di demo-demo yang lain juga ikut memeriahkan aksi itu.

Bahkan mereka memfasilitasi penginapan di gedung DPR bagi para demonstran yang berasal dari luar kota. Dalam kasus ini lagi-lagi Ahok masih bersabar. Terbukti dengan dirinya yang mengikuti secara penuh rangkaian proses di kepolisian. Ahok tak tumbang dengan serangan-serangan luar biasa terhadap dirinya meskipun tak dapat dipungkiri bahwa pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu adalah sebuah blunder yang bisa dibilang cukup fatal.

Nilai blundernya adalah dia memberikan pernyataan mengenai kitab suci dari agama yang tidak dianutnya. Tentu ini menjadi sentimen yang cukup sensitif di kalangan masyarakat Indonesia apalagi dihadapkan dengan kelompok fundamentalis.

Ahok memang dikenal sebagai sosok temperamen. Tak jarang dia memecat pegawainya yang dianggap tidak becus dalam jabatannya. Dia juga dikenal sebagai seorang yang ceplos-ceplos dalam berbicara tanpa adanya pencitraan yang kadang dilakukan sebagian politikus di Indonesia. Perkataan yang dianggap kasar tak jarang keluar dari Ahok. Namun ini justru membuktikan bahwa ketegasan Ahok tak main-main.

Tak ada pencitraan sama sekali dalam dirinya. Dia lebih memilih tidak populer asalkan programnya bisa terlaksana dengan baik dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Di luar itu semua, Ahok adalah orang yang cukup sabar menerima tuduhan-tuduhan yang sedari dulu sukar untuk dibuktikan.

Dicaci pun dia tetap menanggapi dengan senyum meskipun kadang juga ditanggapi dengan marah apabila isu mengenai dirinya sudah terlalu tendensius. Bahkan dia tak segan meminta maaf dan mengakui kesalahannya mengenai ucapan yang menyinggung sebagian umat Islam di Indonesia saat berada di Kepulauan Seribu.

Meskipun status Ahok adalah nonmuslim, kesabaran dan kelapangan hatinya perlu dipelajari umat Islam. Tentunya muslim sejati yang mengutamakan kasih sayang, dan rahmat bagi semesta. Bukan muslim yang pemarah, egois dan berhati sempit karena yang seperti itu bertentangan dengan nilai besar Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.