Setidaknya, ada empat buku yang WAJIB dibaca kaum pendidik hari ini: pertama, buku KH Dewantara yang berjudul “Pendidikan dan Kebudayaan;” kedua, buku Paulo Freire tentang politik pendidikan; ketiga, tulisan Murtadha Mutahhari tentang pendidikan Islam; dan terakhir, buku yang berjudul Teach like Finland oleh Timothy D. Walker untuk menentukan arah konsep pendidikan.

Hal tersebut diungkapkan oleh Hartono Tasir Irwanto, atau yang akrab disapa Tonton, di Café Resensi.co.id yang merupakan ruang belajar dan diskusi para peresensi buku. Di sini, Tonton memberikan ceramah pendidikannya sekitar sejam untuk mahasiswa jurusan Manajemen Pendidikan Islam, STIT AL Chaeriyah, Mamuju, Sulawesi Barat pada mata kuliah Etika Profesi Guru semester enam.

Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan Trisentra pendidikan menurut KH. Dewantara bahwa pendidikan bukan hanya sekadar di sekolah atau di kampus, namun terbagi dalam tiga bagian, yaitu pendidikan formal, informal, dan nonformal. 

Pendidikan formal seperti di sekolah dan kampus; pendidikan informal belajar pada orang tua atau keluarga (parenting); pendidikan nonformal pada masyarakat.

Adapun hasil akhirnya ketika menjalani tiga bagian pendidikan ini adalah IQ, SQ, dan EQ. Intelligence Quotient (IQ) pada pendidikan formal, Spiritual Quotient (SQ) untuk pendidikan informal, dan Emotional Quotient (EQ) bagi pendidikan nonformal. Ketiga bagian Trisentra pendidikan ini harus berjalan seimbang.

Ketika salah satu dominan, misalnya, pendidikan formal yang begitu padat di sekolah, belajar dari pagi sampai siang, lanjut lagi pada sore hari untuk les dan malamnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR), maka hasilnya, peserta didik cerdas secara IQ tapi bodoh secara SQ dan EQ. Mereka pintar namun pintar ngapusi, contohnya pintar korupsi. 

Jika SQ yang dominan, ini akan menciptakan peserta didik yang manja atau istilah kerennya, anak mami. Kemudian kalau EQ yang dominan, maka yang terjadi adalah peserta didik yang mampu menjadi leader namun menjadi pemimpin yang kurang benar. Misalnya, menjadi ketua tapi mengajak teman-temannya bolos.

Bapak Pendidikan Indonesia, KH Dewantara, telah memamaparkan Trisentra Pendidikan ini sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Namun, setelah kemerdekaan, konsep yang diterapkan malah banyak pada pendidikan formal.

Tonton kemudian membandingkan sistem pendidikan kita dengan Finlandia. Mereka punya lima poin, poin yang penting untuk dijadikan contoh. Poin-poinnya adalah waktu, honor, kualifikasi, tidak ada PR, dan fokus.

Poin pertama, yaitu poin waktu yang mana maksudnya berfokus pada pendidikan informal. Setiap anak atau peserta didik bisa bersekolah ketika berumur tujuh tahun. 

Di Indonesia, terkadang anak umur empat (4) tahun sudah bisa diterima di sekolah. Waktu belajar dari jam delapan pagi sampai jam dua belas siang (08.00-12.00).  Di sela-sela pemberian materi, ada coffee break selama lima belas (15) menit dan free lunch di akhir kelas. 

Dulu, di Indonesia, ada juga yang seperti ini. Ada pemberian makanan tambahan, seperti kolak, bubur kacang hijau, dan sebagainya.

Di Finlandia, program pemberian makanan tambahan dimaksudkan agar anak-anak atau peserta didik tidak perlu pulang ke rumah mereka lagi untuk makan siang. Apalagi, orang tua mereka juga sibuk bekerja tidak sempat memasak. Ketika akan bermain dengan temannya di siang hari atau pada pendidikan nonformal, mereka bisa langsung melakukannya.

Kemudian, poin kedua adalah honor. Guru atau pendidik dianggap sebagai profesi yang paling tinggi gajinya. Sehingga profesi guru di sana, Finlandia, menjadi sesuatu yang diincar-incar. Di Mamuju, Sulawesi Barat, ada guru dihargai dengan Rp10 ribu/jam.

Kualifikasi bagi pengajar guru di Finlandia adalah S2. Ini yang menjadi poin ketiga ketika kita membandingkan sistem pendidikan kita dengan Finlandia. 

Sedang, di Indonesia, masih ada dosen S1 mengajar mahasiswa S1 atau Guru yang tamat Sma bisa mengajar anak SMA. Parahnya lagi, walau sudah lulusan sarjana S1 atau S2, tapi dari kampus yang abal-abal.

Selanjutnya, poin keempat adalah tidak ada pekerjaan rumah (PR) dari sekolah. Bandingkan, di negara kita, anak-anak banyak sekali diberikan PR ketika pulang sekolah, baik PR yag tertulis maupun yang praktik. 

Dan poin yang terakhir dari pendidikan Finlandia adalah mereka fokus pada bidang atau pelajaran yang ditekuni. Beda banget dengan kita yang diberikan dengan bejibun pelajaran sejak kita duduk di bangku sekolah dasar (SD). Ada Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani, sehingga kita sendiri bingung dengan pilihan cita-cita kita.

Berbeda dengan di Jepang, peserta didik memfokuskan diri pada satu minat dan bakatnya saja. Misalnya, minat mereka pada robotik atau komputer. Mereka hanya akan mempelajari komputer atau robotik saja. Maka di sinilah diperlukan kerja keras sang pendidik, bagaimana bisa menggali minat dan bakat peserta didik mereka secara optimal.

Di negeri kita tercinta, pengajar menyeragamkan kecerdasan peserta didiknya. Siswa dikatakan cerdas ketika mereka mampu dalam pelajaran Matematika, IPA, atau Bahasa Inggris. Padahal, tidak semua anak-anak bisa dikatakan cerdas secara aritmatika (ilmu berhitung). Ada yang cerdas secara visual, auditory, dan kinestetik.

Ada yang cerdas secara sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya, sehingga konsep kecerdasan tidak lagi direduksi maknanya. Dan bukan satu tipologi saja, sehingga tugas seorang guru melihat bakat dan minat siswanya lagi. 

Misalnya, ruang Matematika, atau kelas khusus buat anak-anak yang suka atau cerdas Matematika. Jika mereka kurang di sana, diarahkan pada bidang yang lain, yang peserta didik sukai.

Teori kelas khusus ini berlaku bagi Ronaldo yang telah ekspert atau ahli di bidangnya (minat dan bakat). Ronaldo yang cerdas kinestetik telah mengikuti sekolah bola sejak kecilnya sehingga ketika berumur 21 tahun dia telah menjadi pemain terbaik di dunia. 

Juga, pemimpin pertama kita, Presiden Ir. Soekarno yang jago dalam berpidato dan beretorika menghabiskan banyak membaca buku ketika di penjara dan diasingkan.

Selanjutnya, Tonton menyampaikan tahap-tahap pendidikan menurut versinya yang akan dijadikannya sebagai rekomendasi buku pendidikan. Tahap-tahapnya, yaitu dididik, mendidik, dan terdidik.

Jika dididik, ada sub tahap menyimak, meresensi, dan membaca. Pada mendidik, ada bagian mengajar dan menulis. Dan di bagian terakhir, terdidik, semoga bisa mensuri-tauladani pribadi Nabi Muhammad SAW sebagai manusia pilihan yang segala tindakan, perbuatan, dan perkataannya menjadi sumber (rujukan) pendidikan.

The last but not the least, guru harus banyak banyak membaca demi meningkatkan profesionalisme dirinya dengan menentukan bacaan pendidikan yang menjadi role model-nya dalam mengajar. Never stop learning! Belajar, belajar, dan belajar.