Beberapa waktu yang lalu, pernyataan Ratna Sarumpaet yang menuding Ahok telah membeli tentara, polisi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menarik perhatian publik. Situs berita Kompas mengutip pernyataan itu secara langsung: "Ahok bisa beli apa aja, dia sudah beli tentara, dia beli kepolisian, dia beli KPK.”
Pernyataan itu ditanggapi dingin oleh beberapa pihak yang Ratna sebut. Laode Syarif, pemimpin KPK, berkata, “Yah, Ratna elu tanggepin. Ngapain?” Tanggapan Muhammad Iqbal, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya juga serupa. Beliau katakan, “Saya enggak tanggapi, ngapain ditanggapi. Masa ngomong gitu.”
Sedangkan dari pihak tentara, Kolonel Infanteri Heri Prakosa, Kepala Penerangan Kodam Jaya, memberi tanggapan dengan bertanya balik, “Belinya berapa? Tanya dong beli berapa. Saya saja enggak tahu, ngapain komentari Bu Ratna.” Tanggapan itu mirip dengan kicauan akun twitter resmi TNI Angkatan Udara (@_TNIAU) yang sempat ramai di media sosial: “Bu @RatnaSpaet pegang kwitansinya? Boleh lihat Bu?”
Ahok sendiri santai menerima tuduhan Ratna. Ia berkata, “Saya terima kasih dengan Ratna Sarumpaet karena dia anggap Ahok hebat banget dan kaya banget. Yang kedua, saya juga kasihan sama dia karena memfitnah. Dari dulu, dia juga enggak dukung gue, cuma ngocah-ngoceh doang.”
Demagogi: Wacana Manipulatif dan Tunas Kebencian
Dapat diperdebatkan apakah pernyataan Ratna merupakan ujaran kebencian (hate speech). Di satu sisi, dilihat dari aspek kebenaran substantif, pernyataan itu bisa menjadi berita bohong. Di sisi lain, pernyataan Ratna tidak mengetengahkan isu SARA, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, atau orientasi seksual.
Tetapi yang jelas, pernyataan Ratna merupakan salah satu bentuk demagogi. Demagogi secara harafiah berarti orang yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Dalam konteks politik, demagogi merupakan wacana manipulatif yang dapat menyuburkan tumbuhnya tunas kebencian. Sejarah membuktikan demagogi berpotensi untuk menumbuhkan kebencian yang bisa destruktif dan mematikan.
Lihatlah fenomen Joerg Haider di Austria. Partainya mendapatkan simpati besar dari penduduk asli. Mengapa? Sebab ideologi partai Joerg Haider adalah kebencian terhadap orang asing, yang mana memikat perhatian penduduk asli.
Wacana yang berkembang dan sepertinya logis adalah: pertama, orang asing dianggap merebut pekerjaan warga Austria asli sehingga angka pengangguran tinggi; kedua, orang asing di Austria dianggap sebagai parasit dengan memanfaatkan sistem asuransi sosial; ketiga, angka kejahatan serta kekerasan di Austria tinggi dan kebanyakan pelakunya adalah orang asing.
Lepas dari argumen-argumen itu masih perlu diuji kebenarannya, partai Joerg Haider mengeksploitasi perasaan, kegelisahan, dan ketakutan rakyat, untuk kepentingan politiknya. Semua penyebab persoalan sosial dan ekonomi Austria diproyeksikan pada satu hal, yaitu kehadiran orang asing. Dengan itu, berkobarlah kebencian terhadap orang asing di Austria.
Lihatlah pula fenomen Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terjadi pada tahun 1965-1966 dalam sejarah bangsa kita. Demagogi terjadi ketika menempatkan PKI sebagai biang keladi penculikan beberapa jenderal dan oleh karenanya harus dibasmi sampai ke akar-akarnya demi keselamatan kemanusiaan dan ketertiban. Alih-alih menyelamatkan kemanusiaan, yang terjadi kemudian adalah kebencian massal terhadap PKI, baik ideologi maupun pengikutnya, dan kejahatan kemanusiaan paling buruk dalam sejarah Indonesia modern.
Demagogi, menurut Haryatmoko, efektif untuk menggalang dukungan politik dari khayalak karena mempunyai mekanisme yang khas: pertama, seorang demagogue selalu mencari kambing hitam atas segala masalah. Dengan cara itu, seorang demagogue menjamin fanatisme kelompoknya dengan menghancurkan pribadi atau kelompok lain yang dianggap sebagai sumber permasalahan. Kepada mereka, kebencian ditumbuhkan, dipelihara, bahkan diperdahsyat intensitasnya;
kedua, argumen yang dijadikan senjata utama biasanya ad hominem (menyerang pribadi orangnya) dan argumen kepemilikan kelas (gagasan seseorang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan atau kelas dari mana dia berasal). Kedua argumen itu rentan dikaitkan dengan soal SARA, yang dapat membangkitkan sentimen agama dan kelompok.
Argumen-argumen itu cenderung mengalihkan perhatian dari substansi permasalahan, karena demagogi cenderung mencari kambing hitam. Orang dapat, misalnya, memojokkan seseorang pada soal agama atau etnis tertentu, sehingga simpati dan dukungan kepada orang itu dapat dihambat atau bahkan direbut;
ketiga, seorang demagogue biasanya sangat canggih dalam membuat skematisasi. Skematisasi merupakan mekanisme penyederhanaan suatu gagasan atau pemikiran supaya ada efektivitas sosial. Penyederhanaan itu dirumuskan dalam bentuk opini yang membentuk keyakinan. Bahayanya muncul ketika opini yang dikonstruksi tidak lebih dari sebuah reduksi.
Di Austria, penyebab persoalan sosial dan ekonomi direduksi pada kehadiran orang asing. Oleh karena itu, solusi pemulihan situasi adalah dengan jalan pengusiran orang-orang asing. Di Indonesia pada tahun 1965-1966, dosa penculikan dan pembunuhan beberapa jenderal ditanggungkan pada PKI. Ketakutan, kecemasan, dan kemarahan rakyat dieksploitasi.
Penyebab situasi politik yang tidak stabil direduksi pada keberadaan dan sepak terjang PKI. Wacana pembasmian PKI sebersih-bersihnya pun menjadi dasar bagi stabilitas nasional. Segala cara dihalalkan, termasuk pembunuhan massal terhadap seluruh simpatisan, anggota, dan yang terkait dengan elemen-elemen PKI.
Catatan Akhir
Saya tidak ingin membesar-besarkan persoalan yang muncul dari pernyataan Ratna Sarumpaet. Sebab siapa saya? Bahkan mereka yang tertuduh pun menanggapinya dengan santai. Kesan awal mereka justru enggan menanggapi.
Tetapi menyederhanakan peristiwa itu dan menganggapnya biasa (banalisasi) juga disayangkan. Mengapa? Sebab bentuk-bentuk demagogi berbahaya terhadap kehidupan bersama. Ratna Sarumpaet boleh saja menghindar dari persoalan dengan menyebut pernyataannya sebagai asumsi, tetapi semoga beliau tidak lupa posisinya sebagai figur publik, yang kata-katanya dengan bantuan media dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Apa jadinya jika masyarakat mempercayai sesuatu yang kebenaran substansinya masih perlu diuji?
Harapan kita bersama adalah semakin banyak orang terbiasa berpikir kritis, bijaksana dan tidak berat sebelah dalam menyampaikan opini, serta sedapat mungkin tidak terjebak dalam demagogi. Demagogi perlu kita hindari, baik dalam ujaran lisan maupun ujaran media (media cetak, media sosial, dsb.), pertama-tama karena kebencian dapat dengan mudah berubah menjadi kekerasan atau tindakan anarkis.
Untuk itu, mungkin kita juga perlu kritis terhadap keyakinan-keyakinan kita, agama misalnya, sebab bisa jadi agama kita jadikan landasan ideologis dan pembenaran simbolis dari motif kebencian yang kita miliki.