Ada dua hal yang mengejutkan kita dari sepak bola nasional di Bulan September 2018 ini. Pertama, ironi kematian Haringga Sirla yang disebabkan pengeroyokan dengan dalih cinta “fanatik” kepada tim kesayangan. Kedua, lolosnya Timnas dari fase grup sebagai pemuncak klasemen; disusul India, Iran, dan Vietnam secara berurutan di Piala AFC U-16.
Kejutan pertama berujung menjadi tema-tema pembahasan media mainstream nasional. Semua pembahasan diwarnai tangis ironi, sebuah kematian yang sangat tidak diinginkan dan memilukan hati. Pembahasan juga diwarnai kegemasan karena ironi seperti ini terulang lagi setelah sekian pembahasan nasional dan tangisan sama terjadi beberapa tahun lalu.
Kejadian pertama ini juga kembali menggugat diri kita untuk bertanya dan menantang ke semua pecinta sepak bola nasional: sebenarnya sepak bola itu menyatukan atau memisahkan?
Demi melakukan refleksi untuk mendapatkan jawaban yang punya nilai mendalam, mari kita bahas dengan titik masuk dari kejadian kedua. Saya akan mulai dari kisah heroisme sepak bola India.
Belajar dari Mohun Bagan
Pada Tahun 1911, ketika India masih dijajah Inggris, ada klub sepak bola bernama Mohun Bagan. Tim yang berisi pemuda lokal Bengal tersebut berhasil mencapai babak final IFA Sheild. Mereka bertemu East Yorkshire Regiment yang pemainnya merupakan pasukan militer terlatih berperalatan lengkap.
East Yorkshire Regiment selalu merajai liga sepak bola India. Pertandingan final dimainkan di lapangan terbuka Kota Kalkuta. Jumlah penonton membludak, membuat penonton di barisan belakang tidak bisa menyaksikan jalannya pertandingan. Penonton dari baris depan memberi informasi ke penonton belakang dari layang-layang yang diterbangkan.
Setelah sempat tertinggal 1-0, menjelang pertandingan berakhir, Mohun Bagan berhasil membalikkan kedudukan menjadi 1-2. Sebuah negeri jajahan mengalahkan negeri penjajah melalui olahraga yang diciptakan negeri penjajah. Berbekal telanjang kaki, mereka mengalahkan pemain berkaos kaki dan bersepatu lengkap.
Pada tahun ini jugalah Inggris memindahkan ibu kota jajahan mereka dari Kalkuta ke Delhi. Pemerintahan Inggris tidak mau lagi ada tindakan memalukan yang bisa mereka terima akibat euforia kemenangan yang berdampak kepada semangat kemerdekaan nasional itu.
Penyair India, Achintya Kumar, menulis: “Mohun Bagan bukan suatu kesebelasan sepak bola. Ia adalah satu negara yang tertindas yang berguling-guling dalam debu, yang baru saja bangkit menegakkan kepala.”
Drogba dalam Persatuan
Sejak 2002, Pantai Gading mengalami perpecahan: bagian selatan pro-pemerintah, dan bagian utara pro-pemberontakan. Perang antarsaudara tersebut mengakibatkan masyarakat sipil mengalami penganiayaan, pemerkosaan, sampai pembunuhan. Didier Drogba kemudian merasa terpanggil sebagai kapten tim nasional untuk menjadikan sepak bola sebagai alat pemersatu.
Pada Tahun 2006, akhirnya Drogba berhasil memimpin timnya lolos ke piala dunia. Drogba juga berhasil membantu pembentukan tim nasional yang pemainnya harus berasal dari multi-etnis yang sedang terlibat perang. Lolosnya tim multi-etnis ke Piala Dunia 2006 membuat kelompok yang berkonflik memberikan dukungan pada tim nasional dan melahirkan embrio persatuan nasional.
Puncaknya adalah saat Tahun 2007 Drogba mengumumkan bahwa pertandingan kualifikasi Piala Afrika melawan Madagaskar akan dihelat di Kota Bouake, kota yang menjadi pusat kelompok pemberontak bermukim di bagian Utara. Dua puluh lima ribu rakyat yang terlibat perang kemudian dipersatukan sekali lagi oleh sepak bola untuk mendukung Tim Nasional-nya.
Pantai Gading menang 5-0 dan Drogba sendiri yang menutup pesta gol tersebut. Christophe Diecket, pejabat federasi sepak bola Pantai Gading, menyatakan keharuannya. Ia melihat banyak penonton di stadion, bahkan dia dan istrinya menangis atas kemenangan yang menurutnya menjadi obat atas penyakit yang selama ini diderita bangsanya. Keesokan harinya, sebuah Koran Nasional menulis: “Lima gol menghapus lima tahun perang.”
Banyak hikmah yang bisa diambil dari kisah-kisah sepak bola. Pertama, dari Mohun Bagan, harus kita lihat sebagai refleksi semangat nasionalisme yang membuat keterbatasan mengatasi kemustahilan. Bahkan sebuah gol bisa menggeser sebuah Ibu Kota negeri penjajah.
Kedua, konflik saudara yang mendikotomikan Pantai Gading menjadi wilayah Selatan dan Utara dan berkecamuk perang saudara, nyatanya bisa bersatu ketika harus mendukung Tim Nasional-nya.
Gianluigi Buffon, saat pertandingan penentuan kualifikasi Piala Dunia Rusia melawan Swedia, mengingatkan para suporter agar melupakan apa itu Juventus, Milan, Internasionale, Roma, Lazio. Ia meminta kepada fans untuk melihat tim yang bermain sebagai Italia.
Sepak Bola dan Semangat Damai
Liga Indonesia dan tim-tim yang berlaga di dalamnya harus menjadi Didier Drogba yang baru. Bercita-cita menyatukan saudara. Suporter kita harus menjadi suporter Mohun Bagan, yang kesabarannya berjuang secara beradab, mampu mengusik penjajah.
Begitulah “cinta” melihat sepak bola yang menyatukan. Jika ada cinta yang berujung pada perusakan, penganiayaan bahkan sampai pembunuhan, yakinlah itu bukan cinta melainkan nafsu.
Sementara untuk olahraga seagung sepak bola yang telah mewarnai sejarah perjuangan bangsa-bangsa, hanya cinta yang pantas kita rasakan dan berikan kepadanya, bukan nafsu yang dibiarkan lepas membabi buta. Mulai dari sekarang, setiap kali nafsu kita terusik dan terprovokasi, mari kita tanamkan dalam diri kita bahwa kita adalah salah satu penonton pendukung Mohun Bagan yang menyaksikan pertandingan melawan East Yorkshire Regiment.
Jika suporter tim lawan telanjur kita anggap sebagai “musuh”, mari kita berpura-pura seolah kita warga Pantai Gading dari wilayah selatan yang sedang menonton ke wilayah utara untuk satu tujuan, yaitu persatuan. Semoga suporter Indonesia mau belajar dan membaca sepak bola sebagai sejarah perjuangan dan mau mencintai sepak bola nasional dengan mengekang nafsunya.