Munculnya pemimpin-pemimpin muda di era milenial ini, membawa angin segar bagi perkembangan organisasi di tanah air.  Kreativitas dan inovasi menjadi andalan kaum milenial dalam kiprahnya memimpin organisasi, agar dapat survive di persaingan global. Mereka menguasai perkembangan teknologi, dan update dengan beragam informasi. Para pemimpin muda ini dituntut untuk membuat percepatan perubahan, mengendalikan roda organisasi agar dapat berputar lebih cepat dengan berbagai kebaruan. 

Tuntutan percepatan ini menyebabkan para pemimpin milenial ini harus selalu bergerak cepat mengikuti perkembangan. Sikap mereka menjadi tidak sabaran dan tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan. Jiwa muda mereka yang masih meledak-ledak, cara pandang yang idealis, serta pengalaman yang masih kurang, membuat mereka rentan melakukan kesalahan. Kesalahan-kesalahan ini seiring berjalannya waktu akan menempa mereka untuk terus belajar, dan pengalaman akan membuat mereka lebih matang dalam kepemimpinannya.  Kesalahan yang sering terjadi dalam kepemimpinan para milenialis ini antara lain:

Kurang memberikan arahan

Pemimpin milenial biasanya lebih suka bekerja sendiri atau single fighter. Terlalu fokus dengan eksistensi diri dan pekerjaannya, sehingga lupa memberikan arahan pada timnya. Bisa juga hal ini disebabkan keengganan mereka untuk berkomunikasi dan memberikan arahan kepada tim yang dianggap lebih senior. Padahal tanpa arahan dari pemimpin, tim tidak akan tahu kemana harus berjalan, dan apa yang harus dilakukan. Mana tugas yang menjadi prioritas dan kapan tugas itu harus diselesaikan. Arahan pemimpin sangat diperlukan dari awal memulai hingga pekerjaan selesai. Tim yang terarah dengan pembagian tugas yang jelas akan mampu mencapai tujuan, sasaran dan target yang telah ditentukan organisasi.

Kurang peduli pada proses

Pemimpin milenial yang bersikap tidak sabaran biasanya menyukai hasil yang instan. Untuk mendapatkan output dengan cepat mereka akan melewatkan beberapa proses,  sehingga mitigasi resiko terabaikan. Ketika menghadapi kendala, pemimpin akan kesulitan untuk mencari benang merah permasalahan, karena beberapa proses yang dilewatkannya tersebut. Pemimpin terlalu fokus pada  output, yang sebenarnya juga bersifat jangka pendek, dengan kualitas yang juga instan.  Kurangnya kepedulian pada proses ini juga menyebabkan kurangnya kontrol pemimpin terhadap tugas-tugas yang dikerjakan oleh timnya.

Terlalu mengandalkan teknologi

Kemampuan para pemimpin milenial dalam penguasaan teknologi memang tidak diragukan. Sayangnya, hal ini membuat mereka kurang berminat untuk memberdayakan SDM. Mereka lebih mengandalkan peran teknologi dalam setiap proses daripada peran manusia. Mereka mengabaikan SDM karena memerlukan proses yang lebih lama dalam pembinaannya, dan tidak dapat mengimbangi percepatan perubahan yang diinginkannya. 

Para pemimpin muda ini harus menyadari bahwa teknologi ada karena SDM yang kompeten. SDM yang kompeten akan mampu menciptakan, mengelola, dan memanfaatkan teknologi sebagai supporting dalam penyelesaian tugas-tugasnya. Oleh karena itu soft skill SDM perlu terus ditingkatkan. Investasi teknologi tanpa didukung peningkatan kompetensi SDM pengelolanya, akan menghambat laju percepatan organisasi itu sendiri.

Kurang mendelegasikan tugas dan wewenang

Kurangnya kepercayaan pada tim  menyebabkan pemimpin milenial kurang mendelegasikan tugas dan wewenangnya ke bawah. Hal ini mengakibatkan para pemimpin muda ini terbelenggu dengan tugas-tugas detail yang bersifat teknis jangka pendek, dan seharusnya bisa dilakukan oleh timnya. Pemimpin sebaiknya fokus pada konsep-konsep yang lebih strategis dengan tujuan jangka panjang. Berikan kepercayaan pada tim, dengan memberikan peluang dan kesempatan yang lebih besar untuk berkembang dan berkontribusi aktif dalam pencapaian tujuan organisasi.

Kurang peduli dan kurang empati

Pemimpin milenial dengan sifatnya yang masih egois, menjadikannya kurang peduli dan kurang empati dengan fakta yang ada di lapangan. Selalu merasa benar, kurang terbuka dengan masukan dan saran, serta tidak suka dievaluasi. Akibatnya mereka kurang bisa memberikan umpan balik yang tepat terhadap berbagai permasalahan. Cara pandangnya yang idealis, membuatnya kaku dalam setiap pengambilan keputusan. 

Pemimpin perlu memberikan kesempatan kepada tim untuk menyatakan pendapatnya. Lebih banyak mendengar, serta mengembangkan sikap peduli dan empati dengan lingkungan di sekitarnya. Peka dengan permasalahan, dan berusaha mencari solusi untuk memecahkannya. Bila metodenya memang terbukti tidak tepat, bersedia mengakui kesalahan dan melakukan perbaikan atas kesalahan tersebut.

Kurang mampu mempersatukan

Pemimpin milenial menyukai orang-orang yang dapat mengimbangi kecepatan pemikiran dan ide-ide yang dimilikinya. Mereka cenderung membentuk tim-tim kecil yang terdiri dari orang-orang muda kreatif, dengan kinerja optimal. Para pemimpin muda ini tidak sabar bila harus membina dan memberdayakan SDM yang dianggap lambat dan kurang kreatif.

Hal ini sering menimbulkan jurang pemisah yang cukup lebar. Antara SDM yang diberdayakan dengan yang kurang diberdayakan, atau antara SDM muda dengan para seniornya. Seharusnya pemimpin mampu mempersatukan, membangun soliditas lintas generasi, memberdayakan semua SDM sesuai kapasitasnya masing-masing. Pemimpin harus mampu  menciptakan lingkungan kerja yang sehat.  Membangun rasa saling percaya melalui komunikasi yang efektif, keterbukaan informasi, sikap adil dan proporsional dalam pembagian tugas.

Terjebak dalam konflik kepentingan

Posisi pemimpin sebagai pengambil keputusan seringkali membuatnya terjebak dalam konflik kepentingan. Kepemimpinan yang didapatkan dengan cepat, memerlukan kesiapan mental yang lebih besar untuk menghadapi berbagai tantangan. Pemimpin milenial yang menduduki jabatan politis  mempunyai beban yang cukup berat, sebagai konsekuensi dukungan yang didapatkannya. Konflik kepentingan  juga seringkali menghadapkan para pemimpin muda ini pada pilihan sulit, antara tanggung jawab dan kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Integritas dan kejujurannya akan diuji, dengan berbagai permasalahan yang menempatkannya sebagai pengambil keputusan.

Terdegradasi secara pribadi karena pengaruh media sosial

Penggunaan media sosial yang makin marak saat ini ikut mempengaruhi jiwa kepemimpinan para milenialis. Mereka dengan mudahnya bisa melihat kehidupan pribadi orang lain dan juga bisa mengekspose kehidupan pribadinya sendiri. Membandingkan kesuksesan, kemapanan, kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain dengan diri sendiri. 

Ada rasa bangga bila merasa menang, tapi juga ada rasa rendah diri ketika merasa kalah. Kondisi ini rawan memicu stres bagi para pemimpin muda. Belum lagi bila mereka mengalami bullying dan perlakuan tidak menyenangkan lainnya di media sosial. Para milenialis harus membiasakan diri untuk lebih percaya diri, fokus pada hal-hal yang lebih penting, dan tidak mudah terjebak disinformasi yang beredar di media sosial. Luangkan waktu dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, yang dapat menambah wawasan dan pengetahuan, serta meningkatkan potensi diri. (IkS)