Pembicaraan soal metafisika menjadi tampak menyeramkan bila kita melihat kembali masalah-masalah yang diangkat oleh filsuf pendahulu seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas.
Begitu menakutkan karena seolah pikiran kita dibawa menjauh dari dunia keseharian dan dipaksa begitu saja untuk mencari apa itu hakikat dari realitas tanpa memahami posisi kita sebagai being itu sendiri.
Aristoteles misalnya, dalam metafisikanya berusaha menguak tentang kehadiran Ada melalui realitas yang tampak. Sedangkan Thomas Aquinas sendiri berusaha mencari sebab-sebab Ada bisa hadir (melalui Pengada Tunggal yang tidak diadakan-ultimate being) dengan skema metafisika Aristoteles.
Lalu sebenarnya apa yang ingin dicari oleh Heidegger ketika ia menaruh minat khusus pada pembicaraan soal ada/being?
Secara definitif dapat dilihat bahwa metafisika klasik Aristoteles memiliki objek material yaitu tentang segala sesuatu sejauh itu ada (real) dengan keberadaanya (realness).
Dari metafisika Aristoteles muncul dua pertanyaan pokok: apa yang menyebabkan segala sesuatu ada? dan apa itu ada? Dari dua pertanyaan ini muncul teologi dan ontologi sebagai derivatif metafisika dengan pendekatan yang berbeda.
Teologi yang percaya bahwa keberadaan sesuatu tidak bisa lepas dari ultimate being, sedangkan ontologi yang percaya bahwa dasar dari keberadaan segala sesuatu adalah being itu sendiri (subsistent) dan menggalinya.
Dapat kita gambarkan dengan jelas; dari metafisika klasik Plato percaya bahwa hakikat segala sesuatu adalah ideos, Aristoteles percaya hakikat dari segala sesuatu yang riil itu adalah entelecheia, teologi Thomas Aquinas yang menerangkan bahwa sebab utama yang dapat menyebabkan seluruh being itu eksis adalah ultimate being/esse..
Persoalan dalam ontologi—yang tampak jelas kemudian dalam ontologi klasik pra Heidegger—adalah, ketika kita membicarakan Ada, kita seolah dibawa lepas dari keberadaan itu sendiri tanpa menyadari keberadaan kita sebagai subjek yang sadar dan menghidupi dunianya.
Kita sebagai being itu sendiri justru disibukkan dengan pencarian being-being yang lain di mana membuat kita akan menjauh dari kesadaran soal dunia kehidupan sehari-hari.
Konsekuensinya adalah bahwa kejelasan tentang hakikat sesuatu hal yang ingin kita gali, justru semakin kabur karena minimnya kesadaran akan eksistensi diri kita sendiri yang terus berdinamika dalam dunia keseharian bersama dengan being yang lain.
Pasca metafisika helenisme dan kejayaan teologi, terjadi perubahan paradigma besar terhadap metafisika.
Dalam era Cartesian kita tahu bahwa kita hanya bisa memulai percakapan tentang being bila kita menyadari posisi kita sebagai ego yang terus berpikir. Ini membuka pembicaraan baru soal titik berangkat subjek yang menyadari tentang segala sesuatu.
Namun, cogito ergo sum tidak tampak peduli dengan makna sum-nya (ada). Kenyataan dibiarkan begitu saja ada karena kenyataan merupakan konstruksi dari kesadaran. Dengan kata lain Ada identik dengan kesadaran itu sendiri. Konsekuensi dari subjektivisme Descartes adalah bahwa segala sesuatu hal patutlah dipertanyakan.
Secara metodologis, skeptisisme Descartes akan membawa pada Ergo Cogito, hanya saja kita perlu menangguhkan segala sesuatu hal terlebih dahulu sebelum dapat mencapai kesadaran akan sum melalui aku yang terus berpikir. Skeptisisme metodis macam ini yang kemudian menghiasi kultur pemikiran modernitas.
Apa yang kemudian membuat Heidegger terasa istimewa di mata akademisi yang menggeluti metafisika dan ontologi--secara khusus? Tentu ada titik tolak yang sangat berbeda antara metafisika/ontologi klasik dengan ontologi keseharian Heidegger.
Hal ini paling nampak pada pendekatan Heidegger kepada being melalui metode fenomenologi. Heidegger menggeser pendekatan objektif terhadap being dan menggunakan kerangka fenomenologis sehingga membuat perubahan secara radikal pada pandangan ontologinya.
Objek material Aristoteles adalah yang nyata(to on) dengan ke-nyataan-nya (realness) dari yang nyata tersebut. Ousia kemudian menjadi objek yang berdiri sendiri di luar subjek.
Sedangkan objek material dari Heidegger adalah makna (to alethes) dengan ke-bermaknaan-nya (aletheiai) dan korelasinya dengan minat serta tujuan manusia.
Fenomenologi sebagai teori tentang makna berusaha mencari korelasi antara objek dan konstitusi dari keterarahan subjek. Ini tentu berbeda dari pandangan subjektif Cartesian yang memisahkan ego dari dunia, maupun pandangan objektif yang mempercayakan sumber kebenaran pada objek seutuhnya (makna dari objek terpisah dari pikiran).
Namun, ada perbedaan antara fenomenologi hermeneutik Heidegger dengan fenomenologi Husserl. Husserl masih percaya akan kesadaran murni sebagai sumber makna dari being.
Sedangkan Heidegger menolak kesadaran murni dan membiarkan makna mengikuti konteksnya/dunia yang dihidupi oleh manusia, sehingga makna being bersifat dinamis mengikuti cara pandang manusia itu sendiri. Baginya, sumber dari segala makna adalah dunia (Die Welt weltet).
Ketika hendak menjelaskan tentang Being, biasanya kita akan memulai dengan pertanyaan paling dasar tentang hakikat dari being dan apa yang bisa mengakibatkan being itu menjadi.
Namun, Heidegger mendekati being melalui entitas yang menanyakan tentang Ada itu yaitu manusia itu sendiri. Maka, perlulah kita mendekati being melalui Mengada yang menanyakannya. Menanyakan tentang Ada-nya berarti manusia sedang bergumul dengan Ada-nya.
Sebutan lain Heidegger bagi manusia yang terus bergulat dengan Ada-nya yaitu Dasein. Dasein sendiri secara harafiah berarti “ada di sana”. Artinya bahwa mengadanya manusia selalu ada di sana karena ia ada begitu saja.
Dasein ada begitu saja dalam faktisitasnya, dilempar ke dalam dunia di mana Dasein tidak dapat memilih, menentukan keberadaanya.
Dasein sebagai mengada berbeda dengan mengada-mengada lain, di mana Dasein selalu berhubungan dengan Ada-nya dan terbuka, sedangkan mengada lain tidak terbuka dengan Ada-nya. Ini kemudian yang disebut dengan eksistensi, hubungan antara Dasein dengan Ada-nya.
Dasein akan selalu berada di dunia (in der welt sein). Ini menunjukan bahwa eksistensi Dasein terbatas pada dunia-nya. Dunia yang dimaksud di sini adalah pengalaman keseharian Dasein.
Dalam menggunakan pengalaman sehari-hari Dasein dapat menggunakan apa pun untuk mengerjakan suatu hal, namun persoalan yang diangkat Heidegger dari kehidupan sehari-hari adalah bagaimana kita mungkin mencapai makna yang seperti itu, kendati sebelumnya sesuatu itu bermakna bagi kehidupan kita.
Bagaimana sesuatu itu mendapatkan maknanya? Sesuatu itu bermakna bila manusia memberikan makna terhadapnya dalam konteks dan tujuan tertentu.
Maka, dunia Dasein itu yang mengkonstitusi makna terhadap sesuatu itu. Dunia di sini diartikan sebagai Ada dari mengada, juga sifat eksistensial dari Dasein yang mendunia.
Dunia sebagai Ada dari mengada merupakan tempat dari Dasein yang terlempar dan bermukim di dalamnya. Di situlah Dasein berinteraksi dengan mengada yang lain dan mengkonstruksikan maknanya.
Dunia di sini diartikan sebagai dunia terbuka, di mana mengada-mengada lain hadir di dalamnya. Inilah yang kemudian memungkinkan Dasein di dalam dunianya berinteraksi dan bergulat bersama dengan mengada-mengada lain.
Mengada yang lain ini terbuka untuk dimaknai oleh Dasein. Dunia macam ini bagi Heidegger bersifat statis-intransitif di mana ia hadir sebagai tempat mengada kendati mengada lain memantikkan dirinya pada Dasein (dunia sebagai tempat berkumpulnya mengada yang dimaknai Dasein).
Dasein yang juga mengada tentu berada di dalam dunia. Namun, dunia ini sebagai batas eksistensi Dasein karena ia hidup dan bergulat dalam kesehariannya. Dasein di sini terbuka untuk memaknai mengada lain untuk tujuan hidupnya.
Di dalam dunianya, eksistensi Dasein bergerak dinamis dan transitif karena terus membentuk makna akan dunianya karena hanya Dasein yang bisa menduniakan ruang tempat ia tinggal.
Ini yang menjadikan Dasein khas dari mengada yang lain. Ia bersentuhan langsung dengan dunia-dunia partikular dan memaknainya sehingga keduniaan Dasein—atau eksistensi—selalu dinamis dan berubah.
Heidegger kemudian menyebutkan bahwa eksistensi Dasein tidaklah padat melainkan merupakan bentangan karena kemampuannya untuk menghadirkan kembali emosi, memori, perasaan psikologis terhadap suatu tempat/dunia yang pernah dimukiminya.