Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) terpidana Baiq Nuril Maknun dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019. Penolakan ini membuat keputusan kasasi MA yang menghukum Baiq Nuril enam bulan penjara dan denda Rp500 juta, subsider 3 bulan penjara, tetap berlaku.
MA menilai, dalil pemohon bahwa dalam putusan judex juris atau MA dalam tingkat kasasi mengandung muatan kekhilafan hakim atau kekeliruan, yang nyatanya tak dapat dibenarkan. Tim kuasa hukum Baiq Nuril belum menentukan sikap setelah PK ditolak.
Kuasa hukum Baiq Nuril, Aziz Fauzi, masih akan memikirkan langkah selanjutnya. Ada harapan campur tangan Presiden RI Joko Widodo untuk menentukan nasib tenaga honorer SMAN 7 Mataram tersebut. Jokowi diharapkan bisa memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.
Proses Panjang Kasus Baiq Nuril
Kasus ini berawal ketika Baiq Nuril merekam pembicaraannya dengan Kepala Sekolah SMA 7 Mataram, Haji Muslim, via ponsel. Kasus yang terjadi pada 2012 ini menjadi perbincangan publik di tahun 2017.
Dalam percakapan tersebut, Muslim menceritakan pengalamannya berhubungan badan yang dilakukan bersama wanita yang bukan istrinya. Baiq Nuril merekam percakapan itu karena merasa jengah dengan pelecehan verbal yang dilakukan Muslim terhadapnya.
Percakapan itu kemudian ditransmisikan kepada rekannya, Imam Mudawin. Rekaman tersebut juga diteruskan ke Dinas Pendidikan Mataram dan membuat Muslim akhirnya dimutasi.
Tak terima, Muslim kemudian melaporkan Baiq Nuril ke polisi atas dugaan pelanggaran pasal 27 ayat 1 UU Nomor 11/2018 tentang ITE.
Kasus ini pun berlanjut hingga pengadilan. Pada 26 Juli 2017, Pengadilan Negeri (PN) Mataram menyatakan Baiq Nuril tak bersalah. Namun jaksa penuntut umum (JPU) PN Mataram kemudian mengajukan kasasi ke MA.
Kasasi tersebut kemudian dikabulkan dan MA menghukum Baiq Nuril enam bulan penjara dan denda Rp500 juta, subsider 3 bulan penjara. Dia divonis bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 11/2018 tentang ITE.Putusan ditingkat kasasi itu diketok ketua majelis Dr Sri Murwahyuni dengan anggota MD Pasaribu dan Eddy Army, pada 26 September 2018.
Kuasa hukum Baiq Nuril lantas mengajukan PK pada awal 2019. Sayang, MA menolak permohonan PK yang diajukan Baiq Nuril.
Bagaimana Penyelesaian yang Paling Tepat?
Kasus yang dialami Baiq Nuril ini pun menimbulkan simpati dari seluruh lapisan masyarakat. Salah satunya adalah munculnya gerakan petisi di change.org. Petisi itu bertajuk 'Bebaskan Ibu Nuril dari Jerat UU ITE #SaveIbuNuril'.
Sampai hari Sabtu, 13 Juli 2019, pukul 15.00 WIB, sudah ada 316.060 orang yang menandatangani petisi tersebut dari target yang dikumpulkan adalah 500.000 tanda tangan. Selain itu, muncul gerakan pengumpulan koin yang sampai saat ini sudah mengumpulkan Rp419 juta.
Terkait dengan amnesti yang dilayangkan oleh tim kuasa hukum Baiq Nuril, itu juga sebenarnya merupakan langkah yang kurang tepat. Meskipun dalam pasal 14 UUD 1945, amnesti adalah hak presiden, namun sebenarnya amnesti diberikan untuk mereka yang tersangkut kasus politik.
Salah satu contohnya adalah pemberian amnesti yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid diberikan kepada tahanan politik aktivis pro-demokrasi, yaitu aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko (mantan Ketua PRD) pada peringatan hari HAM internasional, 10 Desember 1999. Pemberian amnesti ini jelas dengan mudah diberikan untuk membebaskan Budiman Sudjatmiko karena mengandung unsur politik yang dapat dilihat dengan mudah.
Lalu bagaimana dengan kasus Baiq Nuril? Sepertinya akan sedikit terhambat karena di dalamnya hanya mengandung unsur atas nama kemanusiaan dan fungsi hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Jokowi mesti berhati-hati sebelum memberikan amnesti. Selain harus mempertimbangkan masukan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Mahkamah Agung, Jokowi juga harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Namun sebenarnya ada penyelesaian yang lebih tepat yang dapat dilakukan oleh Jokowi untuk memberikan rasa adil kepada Baiq Nuril. Presiden segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menghapus sejumlah pasal karet di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Penerbitan Perppu oleh Jokowi merupakan cara paling mudah untuk menghapus pasal karet di UU ITE dibandingkan meminta DPR melakukan revisi. Jokowi cukup menghapus pasal karet di UU ITE kemudian membawanya ke DPR untuk mendapatkan persetujuan karena selama ini revisi UU ITE terganjal masa bakti anggota DPR 2014-2019 yang hanya kurang tiga bulan lagi, sehingga tidak cukup untuk merevisi UU ITE.
Penerbitan Perppu sudah layak ditempuh oleh Jokowi mengingat UU ITE sudah banyak memakan korban. Maraknya aksi saling lapor dengan menggunakan pasal-pasal di UU ITE bukan tendensi positif dalam negara demokrasi. Fungsi UU ITE harus segera dikembalikan ke regulasi terkait transaksi ekonomi.
UU ITE masih mencantumkan pasal-pasal pidana konvensional yang selama ini dianggap pasal karet, yaitu Pasal 27, 28 dan 29 UU ITE. Faktanya, pasal-pasal ini, khususnya norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE, memuat ancaman-ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi.
Ketentuan pidana sejenis itu cukup diatur KUHP. Salah satu contoh kasus lain di mana pasal karet ini memakan korban, yaitu kasus Anindya, seorang jurnalis yang dilaporkan karena menulis kronologis pembubaran diskusi dan pelecehan seksual yang pelakunya adalah aparat kepolisian di Asrama Papua Surabaya.
Selain itu juga, Zakki Amali dilaporkan oleh rektor Universitas Negeri Semarang karena membuat berita dugaan plagiat rektor tersebut. Maka di sini jelas UU ITE digunakan untuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy, dan persekusi kelompok, termasuk apa yang terjadi dengan Baiq Nuril Maknun.