Orang-orang yang mengklik judul ini pasti karena judul yang saya pilih sangat mengundang tanya, memangnya ada orang tua yang sampai hati mengucapkannya?

Ada itu orang tua saya sendiri yang mengatakannya.

Mengapa saya memilih membahas ini? Karena saya yang mengalami sendiri perlakukan oleh orang tua dalam mengatur jalan hidup selama beberapa tahun.

Baca sampai selesai dahulu sebelum ingin berkomentar buruk tentang saya, bagi saya tidak perlu menjadi pembaca berita tentang pengalaman toxicnya orang tua terhadap anaknya di Google atau Youtube untuk mengetahui bagaimana rasanya berada di lingkungan toxic.

Karena pada dasarnya tulisan ini saya buat, bukan memojokkan posisi orang tua yang sudah membesarkan saya, melainkan ingin speak up apa yang di alami saya dan kasus para anak lain di luar sana, sangat jarang bukan korbannya yang memilih bercerita.

Kalau boleh membagi pengalaman saya sebagai anak, di lingkungan sekitar saat ini mungkin memberi klaim bahwa orang tua toxic pasti saya yang akan mendapat tuai hujatan dari para orang tua generasi kelahiran tahun 2000. Demi memberi jalan yang terbaik untuk anak, para orang tua berdalih bahwa mereka yang harus menentukan jalan hidup anak dari yang kecil hingga dewasa. 

Dalih orang tua saya mengatakan “kami yang lebih lama hidup di dunia, kami yang lebih tau mana yang baik untuk kamu, bahkan hidup dan mati kamu ada di tangan kami” ucap bapak dengan nada marah.

Saya masih ingat betul bagaimana rasanya ada di posisi itu, karena hingga sekarang pun saya kuliah ucapan itu selalu keluar ketika saya memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan pilihan hidup orang tua saya, saat mengkritik segala usaha saya, saat tidak pernah puas dengan usaha saya, seperti nilai-nilai sekolah.

Pengalaman lain saya juga dapati kritikan ketika sesekali waktu saya juga mengisi waktu luang dengan membuka jasa ukir henna pernikahan, karena hal tersebut termasuk hobi yang sangat saya sukai, orang tua saya malah mengatakan saya membuat malu mereka, karena sudah di sekolahkan sampai kuliah dengan biaya mahal malah membuka jasa ukir henna. Mereka mengharuskan saya untuk bekerja sesuai jurusan kuliah yang saya pilih.

Sejatinya mungkin jika di pikir-pikir lagi memang ada benarnya segala hal yang di lakukan orang tua ialah menginkan yang terbaik untuk anaknya. Meskipun dengan maksud baik terkadang beberapa hal yang dilakukan oleh orang tua bisa mengakibatkan luka di hati seorang anak, tidak adanya ruang bagi anak untuk memilih, tidak ada ruang untuk berpendapat.

Karena terlalu sering mendapat kritik dan di anggap salah oleh orang tua, setiap kali mereka marah, saya selalu menangis di depan mereka, herannya malah mereka mengatakan saya terlalu mengambil hati ucapan mereka, “gampang baper” Saya sendiri manusia biasa yang punya perasaan, apa salahnya jika menangis. Hal tersebut selalu terulang dan berakhir dengan mengurung diri di kamar sambil menangis.

Sejak saya terbiasa mengurung diri di kamar tiap kali orang tua marah, saya mulai mengalami gemetar dan ketakutan untuk berdekatan dengan mereka, mengalami kecemasan di dalam hati karena segala hal yang saya lakukan selalu salah di mata orang tua dan saya sempat mengalami stress karena tidak bisa menerima diri sendiri, berfikiran bahwa saya tidak bisa menjadi anak yang baik bagi mereka.

Kasus kasus mengenai yang saya alami adalah masuk kedalam kasus toxic parents, tetapi herannya dari hasil pencarian saya, para korban yang mengalami hal yang sama dengan saya hanya beberapa orang saja berani speak up, sisanya tidak ada yang pernah melakukan speak up ke ruang publik, mungkin alasan mereka  tidak melakukannya adalah ketakutan mendapat hujatan orang-orang dan tidak akan ada yang membela suara mereka.

Faktanya kasus toxic parents korban yang berani speak up hanya dalam tulisan Annisa Steviani seorang parenting blogger mengupas masalah Toxic Parents dan membagikan cerita dari followersnya yang menjadi korban dari Toxic Parents itu sendiri. 

Di Indonesia sendiri sudah melekat dengan budaya “orang tua selalu benar”, padahal orang tua juga manusia yang memiliki kekurangan, kelebihan, dan juga masih butuh belajar. 

Kasus korban toxic parenting yang ada di Indonesia ini banyak didapatkan dari pola asuh otoriter. Menurut hasil penelitian yang di lakukan Baumrid dalam Stiwart & Koch (1983:96), pola asuh otoriter merupakan pengasuhan yang dilakukan para orang tua dengan cara memaksa, mengatur, dan bersifat keras. 

Orang tua menuntut anaknya agar mengikuti semua kemauan dan perintahnya berdampak pada konsekuensi hukuman atau sanksi.

Hal ini menunjukan bahwa para orang tua melihat anak harus sesuai dengan kemauan mereka, hingga akhirnya banyak anak menjadi korban toxic, coba jika di fikir ulang, jika orang tua menginginkan hal terbaik untuk anak, apa salah anak memilih hidupnya sendiri, karena pada dasarnya setiap pilihan yang ia pilih sudah di pikirkan dengan matang.

Jika tetap saja kami para anak tidak boleh memilih hidup kami, setidaknya mari bersama-sama kita generasi yang mengalami toxic parents berjanji ke diri sendiri untuk menjadi orang tua yang baik di masa depan.