UNTUK MATAMU & SEBUAH MOMEN MENGINGAT
Untuk Richard Oh,
Hari kita berlalu
Angin dingin menjemputmu
Dengan bahagia dengan bahagia
Aku melihat matamu sekali saja
Diantara tebing Breksi dan juga lomba panahan
Aku melihatmu membuat layar
Layar tancap
Kadang aku bermimpi ingin menjadi satu saja pemain di dalam sebuah cerita yang Mbak Ratih buat
Lalu engkau memanggungkannya di layar tancap
Pada nyala lilin dan api yang dibawa Joko, kau bilang, aku suka ceritanya
"Aku punya uang. Aku punya semua uang yang orang lain tak miliki. Dan masalahnya kamu butuhkan. Asal ceritanya bagus. Aku pasti ada di belakangmu. Mengangkatmu jadi sutradara. Asal ceritanya bagus!"
Lalu aku terduduk lemas pada pencerita tua, kusut dan kumal. Apakah ia akan dapat giliran?
"Aku lebih suka perempuan itu. Namanya Ratih, si Gadis Kretek. Aku ingin sekali melihatnya di layar yang besar. Aku bayangkan dia perempuan Jawa yang sangat cantik karena ketulenannya. Sambil merokok kretek sepanjang hari di dalam rumah. Rumah yang sebenarnya tak ada penghuni, sepi. Hanya dia dan kretek juga kepulan asap dimana-mana. Aku membayangkan seperti Setan Jawa. Jadinya ia. Tapi aku juga tak tahu apakah Joko akan membuatnya untukku? Tapi yang jelas aku suka sekali perempuan itu, namanya Ratih. Mungkin dia Kamaratih. Dan rumah itu begitu sepi. Rumah si Gadis Kretek. Ia nikmati hari-harinya dalam damai".
Aku hanya melihat matanya yang selalu saja menyudut
Seperti kursi pojok tempat paling losing
Mungkin di tengah banyak orang yang mengaguminya
Ia menjadi pialang yang selalu diharap-harap kehdirannya
BANTAL IBU
Hari-hari yang gelap itu telah kita pulangkan
Pada sekotak surat dan kaleng biskuit Holland
Beberapa ikat kertas berisi tagihan listrik
Membawa kita pada hari-hari di awal bulan September
Tentang dinding bambu
Sudah mulai tua, rapuh dan berayap
Kita sering menuang minyak pada pangkalnya
Agar tak tambah ranggas ia dikemudian hari
Rumput-rumput teki yang bernyanyi
Lalu becek tanah setelah hujan siang hari
Hujan yang begitu panjang, di atas daun-daunan pisang
Mengisi khayalan kecil tentang rumah pohon
Menggelar tikar dan membuat sate bekicot
Hidup kita begitu sederhana
Setelah sepanjang hari bermain di kali
Bantal Ibu yang lusuh dan berpulau seperti Indonesia itu
yang kita peluk sepanjang hari, dibuat dari kapuk-kapuk pilihan,
yang begitu tebal
yang begitu putih
LEMBAH MANAH
Di zaman yang serba awas ini
Bisakah engkau lembah manah
Menerawang kemungkinan
Dimana engkau akan direbahkan
Tabah, pasrah
Menjemput atau dijemput
Dipahami atau memahami
Disimpulkan atau menyimpulkan
Malam,
pagi,
siang,
kembali
Merebah seperti daun di atas tanah
Bukan ikan segar yang menggelepar-gelepar ketika dipancing dan dipisah dari kait
Aku ingin mati sedamai itu sayangku
BERHENTI
Jangan disini lagi kita berhenti
Kita bosan dengan rasa sepi
Sepi yang kosong dan dikosongkan
Oleh bisik-bisik dan endap kaki
Seperti terawang di atas injakan kaki
di atas daun-daun kering
Daun-daun pohon Mahoni
Sebab,
Kita telah direbahkan kata-kata
Minum air tuak atau air kendi
Minum dari sumber air mata Ibu
Ibu pertiwi
Dimanakan kita berhenti
PEKARANGAN RUMAH
Bunga yang berderet-deret itu
Warnanya merah delima
Sesekali rumput menyelia
Sudah lama tak kita pangkas,
pekarangan rumah
Pekarangan dengan bebatu kecil
Kita seringkali duduk menatapnya
Menunggu pohon duku, masak buahnya
RUMPUT LIAR
Rumahku dari timbunan batu
Hiasan rumput dan beberapa tanaman cabai
Rasanya hembusan angin tak habis-habis
Mengisi hari-hari kami yang layu
Seperti bunga terompet yang masgul
Segunung timbunan jasad tanpa nisan
Tanpa ingatan akan perangai
Menjadi ujung jalan setapak itu
Menjadi penanda tanpa penanda,
Zaman
TATAP MATA
Jika jembatan telah putus tali
Aku berikan kau penandanya
Juga aku yang bangkit dari kubur
Membisik kepada kalian semua
Tentang rentang zaman
Aku tak butuh terlalu lama
1000 tahun terlalu lama
SAJAK
Sajak Putih dari Chairil;
aku menyukainya sekali saja
Begini ia berceritera
"Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutera senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut sendu"
Hidup dari hidupku terbuka, seperti pintu
di pagi hari dan malam kala purnama
Dalam dadanya, dalam buku-buku
Aku mencari zaman yang tenggelam di tubuhnya
BIVAK
Aku menatap ke pembaringan
Sepi seperti sajak-sajaknya
perkara "nasib adalah kesunyian
masing-masing",
Di hembus angin daun-daun pohon karet
Beberapa langkah kaki tiba di Bivak
Aku sepi sendiri, tetapi aku tak merindukan
keramaian
Maka biarlah aku berbaring di sini
Tertidur, tidur paling lelap,
paling senyap,
untuk selama-lamanya
SENJA DI PELABUHAN KETAPANG
Senja itu hujan gerimis jatuh
Diantara dek-dek kapal
Pada utas tali yang bersauh
Anak-anak manusia berjelaga dengan ombak
dengan ikan-ikan juga ubur-ubur beracun
Koin dilempar ke samudra, oleh para pengelana
berdiri mereka di atas perahu, menikmati angin Timur Laut
PULANG
Apakah kita telah pulang dan dipulangkan
Semoga lunas kerinduan sepanjang zaman
yang kita kubur sedalam dada
Pastilah ia ingin berlari dan terbang dengan bebas
Seperti burung-burung di langit yang biru
Saat air matamu bersaut, pastilah genap
Segala
Tapi rumahku adalah laut yang menggeliak ombaknya
Juga kebun yang banyak sekali pohon pisang san juga rumput
Aku ingin sekali saja tidur di matamu
BIRU LANGIT
Biru langit atau biru laut
Membawa riuh gemuruh bersauh
Merebahkan beban di punggung dan dadamu
Seperti berkarung biji kopra dan kopi
yang kau letakkan di gardu bambu
Sejenak menelentang tangan dan seluruh tubuh itu
Seperti alir sungai telah lama dibendung
Menemukan kanal untuk mengalir sekali lagi
Pada dunia, kita tidak berjanji
Sebab,
Kita adalah langit dengan warna biru
Tak butuh sauh, tak butuh janji siapa-siapa
Aku mencintaimu apa adanya engkau
Seperti tetes hujan setelah kemarau panjang dan paceklik di lahan yang setiap hari kutanami padi
Aku berbuih di lautan dan memanggil namamu ke ujung kapal orang
Juga jaring laba-laba belang kuning
Aku pernah menggemuruh sebelum akhirnya tenang seperti daun tumbuh di batang muda dari sebuah tanaman agrenium
RUMAH POHON
Rumah pohon adalah tempat kita berlari dari kejaran anjing liar
Menggonggong seperti malam ganjil yang penuh misteri
Kita tidak sedang dikejar, kita dibuntuti, oleh bayang-bayang
Menari seperti rasa haus, mengering seperti rasa lapar
Tapi kita selalu mampu, menerjang, sangat jauh
Lebih jauh
Kita lantas tak butuh rumah pohon untuk mengamat-amati pencuri
Kita hanya butuh tanah lapang untuk bermain perahu
Mencari bukit untuk dapat terjun dan berlari
Berlari seperti angin, bernyanyi seperti tak ada petang hari
Tak ada Ibu yang memanggil menuju peraduan
Tak ada mitos Batara Kala di hari-hari yang gerhana
Terkadang pada langit di atas pohonan jati yang lurus itu
Kita tahu, kita tak pernah takut pada apa pun
Kita anak-anak paling berani
yang pernah dilahirkan zaman
yang pernah dilahirkan Ibu
SEPILIHAN PAGI
Sepilihan pagi yang berlalu
dengan setengah gelas kopi
juga singkong goreng di atas meja
tanpa keju,
sayangku
Juga sepiring pisang gepok
yang digoreng lalu dibumbui tepung beras,
Inilah sepilihan pagi, yang kita tinggal
Aku ingin menjemputnya sekali saja
Ubud, 9 April 2022