Pengantar
Media sosial telah menjadi sarana bagi umat manusia untuk berkomunikasi. Berbagai aplikasi seperti Facebook, Instagram, WhatsApp dan lainnya menjadi bukti bahwa komunikasi antar sesama dapat dimungkinkan tanpa perjumpaan langsung.
Selain berkomunikasi, media sosial juga mempermudah pengiriman dokumen, foto dan video secara cepat. Melalui beragam kemudahan yang ditawarkan media sosial, kehidupan manusia terasa begitu sempit.
Fakta yang terjadi pada abad ke-21 menjadi kejadian lumrah untuk dikonsumsi. Setiap orang berusaha untuk membeli alat komunikasi demi memperlancar aktifitasnya, bukan menjadi mitos belaka.
Bila melihat kembali pada sejarah, perbandingan kemajuan tersebut sepertinya mustahil terjadi. Manusia sebelum abad 20 atau 21 masih tergantung pada pengiriman manual yang membutuhkan waktu berhari-hari agar pesan dapat sampai kepada penerima.
Cara kerja media sosial yang cepat dan efisien sesungguhnya bersifat untuk memudahkan pekerjaan manusia. Bahkan dengan madia sosial, manusia dapat menjangkau penerima pesan yang beragam.
Selain media sosial, terdapat film sebagai salah satu alat komunikasi sosial. Film melalui tampilan visual dan alur cerita melahirkan pesan yang dikomunikasikan kepada para penonton dalam tema yang digunakan.
Pada tulisan ini, saya hendak memberikan pandangan tentang film The Two Popes. Film yang berbicara tentang relasi antara Paus Fransiskus I dan Paus Benediktus XVI tentang dialog wajah Kerajaan Allah.
Dialog tentang wajah kerahiman ditunjukan melalui scene tulisan pada tembok yakni “build bridges not walls”. Kekuatan pesan tersampaikan dalam tulisan tersebut yang mengarah pada tindakan Gereja menjadi jembatan untuk terbukanya keluhuran martabat manusia.
Media Sosial Sebagai Sarana
Komunikasi antar sesama merupakan kebutuhan utama manusia. Hal ini didasarkan pada kehidupan manusia sendiri yang tidak mampu tanpa kehadiran manusia lain.
Kebutuhan akan komunikasi menuntut manusia untuk menciptakan beragam cara dalam melakukan interaksi dengan sesama. Cara yang muktahir dalam berkomunikasi saat ini adalah media sosial.
Media sosial sebagai cara muktahir, telah membawa dampak perubahan bagi kehidupan manusia. Bagaikan dua sisi dalam satu koin, media sosial dapat membawa manusia pada perubahan baik ataupun sebaliknya.
Gereja Katolik memiliki pandangan untuk menjadikan sarana tersebut (Media Sosial) sebagai karya pewartaan. Namun disadari pula konsep tersebut selalu berbenturan dengan realitas kehidupan.
Dokumen dewan kepausan untuk komunikasi sosial menerangkan “media melakukan hal ini dengan mendorong para pria dan wanita untuk menyadari martabat mereka, masuk dalam pikiran dan perasaan orang lain, memupuk perasaan timbal balik dan bertumbuh dalam kebebasan pribadi, menghormati kebebasan orang lain dan mampu berdialog.” [1]. Kehadiran Gereja dalam dokumen tersebut sesungguhnya memberikan arahan agar media sosial mampu memberikan dampak positif dalam kehidupan manusia. Sebagai sarana, hendaknya media sosial menjadi jejaring untuk mengutuhkan martabat manusia.
Martabat manusia menjadi akhir dari dampak positif media sosial. Penyebaran berita tentang kebohongan, kekerasan bahkan fitnah perlu dimurnihkan melalui tujuan mulia media sosial.
Kompleksitas realitas menunjukan bahwa perang antara perjuangan kebaikan dan keburukan dari media sosial sepertinya tanpa akhir. Walau demikian sarana komunikasi tetap menjadi cara untuk menunjukan kualitas kemanusiaan melalui terang Roh Kudus dalam memberikan kesaksian akan kerajaan Allah.
“Bangun Jembatan Bukan Dinding”
Ajaran iman adalah penting dalam mengatur batasan-batasan Gereja sebagai perketuan, tetapi melihat martabat manusia yang rusak akibat penderitaan lebih utama. Keduanya memiliki tujuan yang sama untuk menunjukan wajah Allah tetapi berbeda dalam mewujudkannya pada dunia.
Perbedaan pandangan keduanya dimulai dengan perjumpaan Paus Benediktus XVI dan Kardinal Jorge (kemudian menjadi Paus Fransiskus I) di Castel Gandolfo dan berakhir di sakraristi kapel Sta. Sistina.
Perjalanan perbedaan digambarkan antar tembok besar yang hadir melalui ajaran Gereja dan jembatan untuk menghubungkan antara kedua sisi. Perbedaan itu pun melahirkan kesimpulan yang dikutip Kedinal Jorge dalam dokumen “Caritas in Veritate” karya Benediktus XVI. Kardinal Jorge berkata “dan mengingatkan anda kebenaran itu mungkin penting,tapi tanpa kasih, itu tak tertahankan”
Penutup
Perlu penegasan bahwa film “The Two Popes” merupakan film fiksi yang dicampurkan dengan kenyataan hidup kedua Paus. Akan tetapi pesan tentang Gereja bersifat konserfativ dan Gereja yang membumi menjadi tema sentral dalam film garapan Meirelles.
Media sosial sebagai sarana untuk pewartaan kasih Allah kepada sesama. Jejaring hubungan yang hadir melalui media sosial sesungguhnya menjadi cara untuk mewartakan kasih Allah kepada sesama.
Kehadiran film meski tak dapat dikategorikan sebagai sarana media sosial, namun film dapat menjadi representasi dari komunikasi itu sendiri. Film dan media sosial adalah cara untuk menyampaikan pesan kepada para penerimanya.
[1]. Dewan Kepausan untuk Komunikasi Sosial, Etika dalam Komunikasi., (4 Juni 2000), dalam Seri Dokumen Gerejawi No. 58B (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2022), No. 6.