Malam itu aku hendak tidur. ‘Pukulan’ yang tiba-tiba mengarah tepat pada kedalaman mataku lalu merambat pada pikiran. “Mengapa?”, “Aku membuat masalah apa dengannya?” Aneh saja.
Di kamar yang menjadi tempat menyepiku yang saat itu sedang tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba datang ‘pukulan’ itu. Aneh saja, aku ulangi lagi: ANEH SAJA.
Pikiranku mengembara pada setiap loncatan neurotransmiter di dalam otakku. Tentang diri, pekerjaan, dan kesuksesan. Aku tak bisa jelas menggambarkan diriku seperti apa.
Memang pada dasarnya aku masih abu terhadap diri. Diri itu seperti apa? Apakah aku yang wujud ini? Atau aku yang di dalamnya terdapat roh? Atau aku yang berada dalam dunia ide?
Yang jelas, ‘diri’ yang aku pelajari dari ibu-bapakku dan terbentuk pada perilakuku adalah tidak menyakiti hati orang lain. Berpikir sebelum berbicara. Berkawan sebaik-baiknya. Berani melawan jika tidak salah.
‘Pukulan’ salah sasaran itu memang mengenai semua diriku. Tapi diriku masih berdiri tegak, kokoh, dan tetap melawan kepada yang tidak benar demi lurusnya kenyataan dan terhempasnya fitnah keji dari muka bumi ini, khususnya dari aku.
Aku yang tumbuh dalam kesederhanaan, bahkan terkadang pada titik kemisikinan membuatku belajar untuk tidak merendahkan setiap orang dan percaya bahwa dunia adalah rentetan peristiwa yang mesti dilewati. ‘Pukulan’ semalam memukulku soal ini.
Aku terpukul karena katanya, aku meningjak-injak si pemukul. Katanya, aku yang kaya dan dia yang miskin dan aku sebagai yang kaya menginjaknya sebagai yang miskin. Duh gusti...
Namun aku tetap berdiri tegak, gagah, kokoh, menerima semua ‘pukulannya’ dan aku membalasnya, tapi tidak dengan ‘pukulan’. Bahasa adalah media terbaik sebagai penyalur dan kata-kata adalah senjata sekaligus ornamen yang tajam dan indah untuk digunakan. Maka aku memilih jalan ini.
Kiranya begini, ‘pukulan’ yang awalnya mengarah pada diriku tiba-tiba berpindah soal status keberadaan ini: kaya atau miskin. Aneh saja, awalnya menyerang ke-diri-an mengapa berpindah pada status keberadaan? Salah pula label statusnya.. Mungkin saja ia mendoakanku dengan cara menuduhku sebagai si kaya.
‘Pukulan’ tidak berhenti pada itu saja. Ia lebih lincah, kencang, dan bertenanga kali ini. Aku hampir kehabisan tenaga untuk mengelaknya. Mundur, maju, menyilang kaki, kanan – kiri, semua sudah dipergerakkan. Ia tak henti-henti. Aku adalah seorang guru bimbingan belajar.
Jadi sedikit menguasai beberapa ilmu dan sedikit lebih banyak wawasan. Aku belajar mengelak semua ‘pukulannya’ dari pengalamanku mengajar. Aku mengajar sejak umur 18 tahun. Pengalamanku dalam dunia pekerjaan sudah lebih dulu. Bukannya aku besar kepala, tapi ‘pukulan’ itu sih semalam mengarah pada soal ini.
Katanya, yang penting ‘pukulan’ ini tidak menganggur. Ia bangga dengan ‘pukulannya’ yang bekerja. Ia gunakan sebagai melawan musuhnya. Yang benar saja kau, hei? Kau mesti cium tangan pada diri ini yang sudah mulai mengais dan berkeringat sejak umur 18 tahun. Bahkan sekurangnya dari itu.
Aku tidak tahu apa yang sudah kau lakukan di umur segitu. Aku tidak mau tahu dan memang kita tidak seakrab ketimbang aku dengan pelukan. Karena kau adalah 'pukulan' dan kawan-kawanku adalah 'pelukan'. Banyak sekali kawan yang memelukku. Ia meredamkan, mendingin-dinginkan. Memang yang baik dan benar berpihak pada yang baik dan benar pula!
Pekerjaan yang ujungnya adalah kesuksesan sudah menjadi wacana wajib dan selalu bergaung dan menempel pada daun telinga kita semua. Kesuksesan memiliki makna dan maksud tersendiri bagi tiap-tiap orang yang menjalankannya.
Lagi-lagi ‘pukulan’ itu tidak mau berhenti ia menyerang apa saja. Bahkan kaki-tangannya merambat pada apa saja di sekelilingnya. Tangannya mengenai kepala seseorang, kakinya menendang bangku ruang tunggu. Semua dikenainya.
Katanya, aku diajak berlomba. Siapa yang lebih dulu sukses ia pemenangnya. ‘Pukulan’ itu memukulku sebanyak 10 kali dan semuanya berhasil aku hindari. Megajakku berlomba kesuksesan sama saja mereduksi nilai sukses yang kupegang. Sama saja menyamakan arti suksesku dan suksesku, dan itu aku tidak mau juga tidak sudi!
Arti suksesku dan suksesmu itu berbeda. Hidup bukan tentang perlombaan. Siapa yang lebih dulu ia yang menang. Bagaimana jika kematian menjemputmu terlebih dulu? Apakah kau yang menang? Bukan toh? Ya begitu itu hidup sama seperti kematian, karena mereka selalu berjalan beriringan.
Aku tak tahu diriku itu seperti apa. Aku masih abu dengan diriku. Yang aku ketahui, bapak ibuku mengajarkan untuk berhati-hati dalam berbicara dan mengeluarkan kata-kata. Bagaimana jika kelak yang telah kita keluarkan dengan menggebu-gebu dan ludah yang semburat malah berakhir sebaliknya?
Satu lagi, bersilat lidah yang baik adalah beradu argumen soal siapa yang benar dan bukan merasa paling benar sendiri. Bersliat lidah dengan memindahkan masalahmu pribadi dengan musuhmu kepada orang yang tak mengerti apa-apa dan hendak tidur itu dan menjadikannya seolah-olah benar di mata banyak orang adalah sekeji-kejinya perbuatan.
Aku tak tahu diriku seperti apa. Aku masih abu dengan diriku. Yang kutahu: SEKALI KAU SAKITI HATI PENULIS, MAKA HABISLAH KAU DALAM TULISANNYA.