Orang yang terjun dalam dunia kepenulisan, khususnya pada bidang sastra, pasti tidak asing dengan sastrawan Hasan Aspahani yang terkenal lewat edukasinya dalam menciptakan puisi atau karya-karya sastra lainnya. 

Sehari yang lalu, saya melihat postingan Bang Hasan Aspahani dalam akun Instagram @skalamata. Postingan gambar menyatakan, “BAKAT ITU TIDAK ADA! YANG PENTING KERJA KERAS, SEMANGAT...” Lengkap dengan caption:

“....dan saya terharu kalau ada yang bilang begitu. Salut pada semangat dan keyakinannya.

Bagi saya bakat itu ada dan penting. Penting bagi kita untuk mengenali bakat apa yang kita bawa.

Bakat adalah kemampuan bawaan yang diberikan Tuhan dan manusia. Dengan itu kita bisa menguasai sesuatu dengan mudah.

Tentu saja kita tak perlu memiliki bakat untuk semua hal. Kita juga tak perlu taruh minat pada semua hal. Kita hanya akan jadi medioker kalau begitu.

Bakat itu kayak tiga orang dikasih sekop, sendok, dan tak diberi apa-apa. Mereka disuruh menggali sumur. Bisa? Bisa saja. Siapa yang lebih cepat? Yang punya sekop. Yang tangan kosong bisa? Bisa juga, tapi dengan usaha yang lebih keras. Dan lebih lama.

Maka mengenali dan menyadari bakat apa yang ada pada diri kita itu ya seperti mengenali apakah kita punya sendok atau sekop?

Kalau kita tak punya apa-apa, jangan ikut-ikutan bikin sumur. Jadi pemanjat pohon lebih cocok, mungkin itu kelebihan bakat kita, karena sekop (apa yang kita tak punya) sama sekali tak diperlukan disitu...”

Ada yang keberatan dengan tulisan Bang Hasan di atas? Tentu. 

Selama ini, mindset yang terus berpendar dalam pikiran kita adalah bahwa bakat itu tidak ada. Artinya, bakat bukan bawaan sejak lahir, tapi merupakan hasil dari latihan dan kerja keras kita. 

Tidak sepenuhnya salah. Mindset itulah yang menjadikan sebagian orang bersemangat untuk menekuni suatu bidang meski sebenarnya mereka sadar bahwa tidak ada bakat yang mereka miliki sedikitpun pada bidang tersebut. Akibatnya, ada yang merasa terbebani, sebab mereka hanya dikaruniai sebuah sendok namun impiannya ingin menggali sumur. Tentu harus punya sekop, kan?

Sejujurnya, ketika melihat tulisan di atas, saya teringat pada seseorang yang pernah menegur saya, “Kamu sebenarnya mau fokus apa?” Wajar saja, waktu itu (mungkin masih sampai sekarang), dia bingung memperhatikan kesibukan yang saya tekuni selain kuliah. 

Sebagai mahasiswa akuntansi, mungkin akan merasa berat jika harus fokus menulis puisi atau cerpen yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan akuntansi. Walau sebagian orang berpendapat bahwa hal itu sah-sah saja.

Dalam pandangan Islam, kita juga dianjurkan untuk mengenali diri kita, termasuk memperhatikan bakat dan kemampuan yang telah dikaruniai oleh Allah sejak lahir. Setelah itu, kita harus berusaha dengan maksimal untuk mengembangkan kemampuan tersebut. 

Jika kita sering menelaah sejarah para salafus shalih terdahulu, pasti akan banyak menjumpai penemuan-penemuan mereka di berbagai bidangnya masing-masing. Satu kunci mereka adalah mengenal bakat, lalu fokus untuk mengembangkannya.

Ahmad bin Shalih Az-Zahrani dalam bukunya yang berjudul “Kiat Sukses Membentuk Karakter dan Jati Diri” mengungkapkan:

“Hendaknya tidak meletakkan dirinya pada tempat yang tidak semestinya, hingga menanggung beban yang tidak sanggup dia pikul, dan membebani dirinya pada hal yang tidak Allah karuniakan kemampuan padanya, hingga dia menampakkan kepuasan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya. Hal ini tak ubahnya seperti seseorang yang memakai pakaian kepalsuan.”

Rupanya, keharusan untuk mengenali bakat dan kemampuan merupakan sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang telah diterapkan pada zaman beliau. Nabi melakukan pengelompokan tugas kepada para sahabatnya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.

Di antara sahabat-sahabat Nabi tersebut, yaitu Abu bakar, Umar, Utsman, dan Ali yang dianugerahi kemampuan berupa pemahaman dan fatwa, sehingga mereka ditempatkan sebagai menteri dan konsultan Nabi. 

Selain itu, ada pula Abdullah bin Mas’ud yang memiliki kemahiran dalam hal membaca Alquran sehingga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendorong manusia untuk membaca Alquran seperti bacaan beliau.

Rasululllah menugaskan Abu Hurairah, Al-A’la bin Al-Hadhrami, dan Ali Radhiyallahu Anhum untuk mengepalai tugas-tugas negara, sebab mereka memilliki kemampuan dalam hal kecerdasan dan sifat amanah, serta kelihaiannya dalam mengarahkan umat. 

Sedang dalam hal mengepalai pasukan perang, Nabi menugaskan kepada Khalid bin Al-Walid, Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarrah dan Sa’ad bin Abi Waqqash, sebab mereka memiliki pengalaman, pengetahuan, dan kepiawaian dalam mengatur pasukan. Dan masih banyak sahabat-sahabat Nabi lainnya dengan tugas yang berbeda sesuai dengan kadar kemampuan mereka.

Namun, beda kisah dengan sahabat Nabi yang lainnya, yaitu Abu Dzar. Beliau adalah salah seorang sahabat yang diakui kejujurannya. 

Ketika suatu hari, Abu Dzar berniat untuk mengajukan dirinya menjadi pemimpin salah satu wilayah kaum muslimin, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menolak permintaan Abu Dzar tersebut. Mengapa? Apa alasannya? Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memahami bahwa Abu Dzar tidak memiliki kemampuan dalam hal memikul beban kepemimpinan.

Alasan tersebut tertuang dalam hadis:

“Rasulullah Shallalahu Alaihi wa Sallam, berkata : ‘Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan), padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat, jabatan adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.’” (HR. Muslim).

Kata “lemah” yang dimaksudkan oleh Nabi dalam hadits di atas, bukan berarti lemah dalam hal kemampuan fisik. Namun, penjelasan Adz-Dzahabi Rahimahullah menuliskan bahwa, “lemah” yang dimaksud adalah lemah dalam hal pemikiran, khususnya dalam mengatur kepemimpinan.

Sikap yang dilakukan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, menegaskan bahwa bakat dan kemampuan yang kita miliki harus diposisikan pada tempat yang sesuai sehingga tidak ada yang terbebani dengan sesuatu yang bukan keahliannya.

Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis:

“Orang yang bangga dengan apa yang tidak dia miliki (dengan menampakkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada padanya, dan memperindah kebatilan) maka dia (dicela) seperti dicelanya orang yang memakai dua pakaian kepalsuan.” (HR. Al-Bukhari).

Setelah mengulik berbagai hadits tentang bakat dan kemampuan, saya merasa ada relevansi antara tulisan Bang Hasan Aspahani dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah pada zaman beliau dalam menempatkan tugas sesuai bakat para sahabatnya. Jadi, bakat benar-benar ada dan harus digali dengan ketekunan, serta kerja keras untuk mengembangkannya. Fokus.

Namun kenyataannya, dunia ini penuh dengan nafsu dan tidak sedikit orang yang terjerat oleh sesuatu yang sementara itu. Dunia selalu menyuguhkan banyak pilihan jalan untuk menuju kesuksesan. Kita bebas memilih mau menekuni yang mana. Saking banyaknya pilihan itu, kita kadang bingung, mau pilih jalan yang mana? 

Dari kebingungan itu, tanpa sadar kebebasan membuat kita terjatuh pada banyak pilihan. Pada akhirnya, kita terbentur pada sebuah pertanyaan, sebenarnya mau fokus pada pilihan yang mana?

Sebenarnya ada kepuasan lain yang kita dapatkan ketika mencoba menekuni suatu bidang yang tidak sesuai dengan kemampuan. Ada yang mengatakan, “Wah, kamu hebat. Anak akuntansi bisa jago nulis puisi, dan bla bla bla,” misalnya. Alasan seperti itu yang kadang membuat kita galau dalam mengambil keputusan, meninggalkan atau tidak sesuatu yang bukan kemampuan kita? 

Namun, perlu kita sadari dan renungkan bahwa apakah kemampuan yang kita tekuni itu dilandaskan niat dan tujuan hanya untuk Allah? Karena sesungguhnya, segala perbuatan yang kita lakukan di dunia ini hanya untuk mendapatkan ridha Allah.

Be focus.

Ingat kata Pak B.J. Habibie, “Apabila kamu sudah memutuskan menekuni suatu bidang, jadilah orang yang konsisten. Itu adalah kunci keberhasilan yang sebenarnya.”

Kenali bakat (sekop atau sendok), lalu kembangkan dengan fokus dan konsisten. Jangan rakus dengan keinginan untuk menguasai bidang lainnya, karena masing-masing telah dianugerahi bakat oleh Allah Ta’ala.

“Orang yang mengejar dua ekor kelinci, akan kehilangan keduanya.” – Konfusius