Kami lahir di suatu desa yang terbilang makmur dengan hasil pertaniannya, sejauh mata memandang nampak hamparan sawah-sawah yang penuh ditanami padi dan palawija.
Tak ayal desaku tergolong desa yang swasembada pangan dimasanya, tanaman padi dan palawija menjadi andalan para petani dalam bercocok tanam.
Begitu tumbuh suburnya padi di persawahan desaku yang membentang begitu luas bahkan menyambung dari satu desa ke desa lainnya sehingga pada saat itu banyak berdiri tempat penggilingan padi di kota kecamatan.
Kami tumbuh dan berkembang seperti layaknya anak desa lainnya yang senantiasa berkutat dengan lumpur disawah, tempat di mana kami dan kawan-kawan usia sebaya menghabiskan waktu sepulang jam sekolah.
Angon bebek (menggembala itik) di sawah, mandi dan mencari ikan di sungai adalah habitatku bersama dengan kawan seusiaku, kadang sesekali mencari belut dimalam hari hanya sekedar untuk dibakar saat malam libur sekolah dengan ditemani bintang-bintang di langit dan suara jangkrik.
Saat duduk di bangku SD kami memiliki empat (4) orang kawan sepermainan yang rumahnya saling berdekatan.
Kami terbiasa melakukan kegiatan secara bersama-sama, dari berangkat sekolah, pulang sekolah, angon bebek (menggembala itik) di sawah, mandi di sungai, mencari ikan, bermain layang-layang senantiasa kami lakukan secara bersama bahkan beribadah ke Gereja juga kami lakukan bersama.
Suatu ketika menjelang hari Raya Natal, gaung dan suasana hari raya sudah begitu terasa. Kami berempat sekolah di sekolah swasta Katolik yang berada di kota Kecamatan.
Sekolah senantiasa berbenah diri menjelang hari Raya Natal dengan beberapa kegiatan, seperti kebersihan ruang kelas, kebersihan halaman sekolah, pengecatan pagar sekolah dengan menggunakan gamping (semen putih), merapikan tanaman sekolah, dsb.
Kegiatan tersebut dilakukan setiap hari Sabtu sepulang jam sekolah sampai dengan menjelang hari Raya Natal tiba.
Murid-murid sangat antusias melakukan gotong-royong dengan peralatan seadanya yang sudah dipersiapkan dari rumah masing-masing, penuh suka cita dalam melaksanakan kegiatan bersama para guru di sekolah.
Tiba saatnya hari Raya Natal, rumah umat Katolik yang berada di kota Kecamatan senantiasa dipenuhi nuansa pohon Natal dan palungan yang diidentikkan dengan tempat lahirnya Yesus Kristus.
Gereja di kota Kecamatan senantiasa penuh dengan umat Katolik bahkan nampak beberapa warga perantau beserta keluarganya turut hadir merayakan Natal di malam itu, suasana keramaian dan padatnya umat terasa berbeda apabila dibandingkan dengan hari-hari biasa.
Anak-anak yang sebaya denganku sangat ceria apalagi dengan menggunakan baju-baju baru yang penuh warna-warni, hal ini semakin menambah ramainya suasana di malam Natal juga ditambah dengan hiasan lampu Natal yang serba gemerlap.
Mereka bersama orang tuanya baru datang dari kota-kota besar di mana orang tuanya telah sukses dan mapan hidupnya sebagai seorang perantau.
Pada saat hari Raya Natal suasana di kota Kecamatan nampak berubah, jalan-jalan dipadati kendaraan dari luar kota. Rumah-rumah yang biasanya sepi nampak keramaian anak-anak beserta keluarganya yang baru datang dari rantau.
Kami tidak mengenalnya karena mereka tidak pernah nampak keseharian mandi di sungai, mencari belut dan bermain lumpur di sawah yang biasa kami lakukan berempat sepulang sekolah.
Mereka hanya nampak pada saat hari besar keagamaan tiba, namun setelah itu anak-anak bersama Otang tuanya meninggalkan kota Kecamatan untuk kembali ke kota dan suasana menjadi sepi.
Dari tahun-ke tahun setiap hari Raya Natal mereka hadir bersama keluarga senantiasa mengisi keramaian Gereja dengan mengenakan baju baru.
Sementara kami tak ubahnya kawan lainnya tetap menggunakan baju harian yang biasa kami kenakan saat diajak orang tua dalam acara hajatan di desa.
Tak terasa kami sudah menginjak usia SMP, perayaan hari Raya Natal senantiasa tetap meriah dan khidmat, tidak ketinggalan hiasan pohon Natal beserta pernak-pernik lampu hias senantiasa mewarnai indahnya suasana malam Natal di Gereja di mana kami berempat senantiasa merayakannya.
Namun ternyata ada yang berubah saat perayaan hari Raya Natal di tahun ini, kami mencoba mengamati suasana sekitar Gereja.
Semua menjadi berubah, anak-anak kota yang biasa menghadiri perayaan hari Raya Natal bersama keluarganya sudah tidak memakai baju baru yang penuh warna-warni seperti waktu-waktu sebelumnya.
Mereka nampak dengan baju yang warna dan coraknya sama seperti baju yang kami kenakan sewaku beribadah ke Gereja. Baju yang mereka pakai biasa saja, sama seperti yang biasa kami kenakan saat acara di desa.
Nampak mereka berubah, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang senantiasa penuh dengan corak baju baru, baju baru yang warna-warni, bahkan sepatunya pun nampak mengkilap.
Sering kita melihat dalam kehidupan di masyarakat, kita sering menjumpai anak-anak dan bahkan orang dewasa masih mengutamakan fashion sebagai ekspresi diri agar lebih terhormat dan diakui oleh lingkungannya.
Pakaian, sepatu, aksesoris, riasan wajah, gaya rambut masih menjadi perhatian utama tatkala seseorang akan berangkat ke tempat Ibadah.
Orang merasa tidak percaya diri manakala tidak menggunakan baju baru atau tidak berpenampilan menarik di saat beribadah, seolah-oleh dengan menggunakan baju baru akan menambah kekhusyukan dalam beribadah.
Tak ayal mereka harus meninggalkan kesopanan dalam berpenampilan, pakaian yang dikenakannya kadang terlihat risi di mata orang lain yang melihatnya. Mulai dari model, corak, warna, bahkan aksesoris yang dikenakannya jauh dari etika berbusana.
Sementara mereka melupakan tujuan yang hakiki dalam beribadah, seharusnya kemurnian hati yang harus dipersiapkan diri agar layak untuk menyembah-Nya.
Kemurnian hati merupakan baju utama yang harus dikenakan oleh setiap insan manusia pada saat beribadah, sehingga keikhlasan diri, rasa bersyukur, dan tawakal dalam kehidupan akan menjadi baju yang utama bagi manusia.