"Antre woy!" Salah seorang pengendara berteriak kepada sedan hitam yang telah mencuri antrean. Lalu menyusul protes dari pengendara lain, tapi kali ini muncul dari seorang ibu-ibu yang hendak mengantar anaknya ke sekolah. "Budayakan tertib, pak!"
Peristiwa itu terjadi di suatu pagi, di sebuah pom bensin yang berlokasi di Jalan Wolter Monginsidi. Orang-orang memang sering kali berangkat begitu pagi. Memburu waktu supaya kebagian antrean yang paling depan, dan berharap di akhir bulan upahnya tidak digorok oleh kantor lantaran keterlambatan. Saya adalah salah satunya. Maka lumrahlah bila ikut geram lantaran sedan hitam tiba-tiba nyelonong di antrean paling muka.
Namun siapa sangka, suara salah seorang pengendara bisa memicu terjadinya aksi massa. Orang-orang berteriak garang. Dentuman klakson membuat suasana semakin tegang. Dan yang terjadi selanjutnya ialah keriuhan, seperti kampanye PDI di pertengahan tahun 90-an.
"Kalian tahu siapa saya?" teriak lelaki pemilik sedan, setelah keluar dari pintu depan. "Saya ini Anggota Dewan!" lanjutnya.
Orang-orang seketika berhenti bicara. Mulut mereka menganga seperti tersihir oleh sekelumit kalimat mantra. Dan hanya bisa pasrah menyaksikan si sedan mengisi bensin lalu melaju dengan aman.
Saat itu saya berpikir, betapa dahsyatnya jabatan anggota dewan. Keampuhannya seperti jimat pemberian dukun tersakti, mampu menjungkirkan persepsi massa dalam tempo sesingkat-singkatnya. Meskipun sebenarnya tak ada relevansi-nya juga antara anggota dewan dan perilaku nyerobot antrean.
***
Sementara itu, beberapa hari yang lalu seorang warga Banyuwangi bernama Mashuri berhasil dibekuk oleh Petugas Kepolisian. Dia telah melakukan penipuan dengan modus bisa meloloskan orang untuk menjadi pegawai PT KAI. Dengan berbekal seragam TNI, Mashuri men-simsalabim banyak orang agar percaya dengan cerita ngibulnya dan rela menggelontorkan uang berjuta-juta.
Tentu saja pengalaman saya bertemu anggota dewan hanyalah kisah recehan. Sedangkan Mashuri, sang TNI Gadungan, masuk kategori yang patut diseriusi, lantaran dilirik oleh media, berurusan dengan banyak orang, dan yang paling utama, melibatkan fulus berjuta-juta.
Tapi bila anda jeli, dua kasus tersebut sebenarnya berangkat dari serabut akar yang sama. Bahwasanya jabatan anggota dewan dan seragam TNI adalah simbol otoritas yang bisa memanipulasi pikiran manusia. Sama halnya seperti title, profesi, pakaian dan simbol-simbol otoritas lain yang tak mungkin saya sebutkan satu persatu, semua memiliki kemampuan menuntun orang lain untuk merespon "ya, ya, ya, ya" pada permintaan kita.
Oleh karena itu, bila pemilik simbol-simbol otoritas tersebut adalah manusia semacam Mashuri, tentu bisa menjadi ancaman bagi yang liyan. Apa lagi jika tidak disikapi dengan bijak, simbol otoritas bisa membuat pemiliknya sok-sokan dan lupa daratan.
Sebelum lanjut, alangkah baiknya anda saya ajak berkeliling untuk menengok perbedaan antara otoritas dan simbol otoritas.
Otoritas adalah kewenangan dan setiap kewenangan memiliki fungsi serta lingkup yang terbatas. Sedangkan simbol otoritas adalah bagian dari legitimasi kewenangan tersebut. Jika seseorang dilantik oleh suatu lembaga, dia akan menerima sebuah simbol otoritas berupa jabatan, sekaligus otoritas untuk menjalankan fungsi jabatannya tersebut.
Maka idealnya sebuah simbol otoritas hanya berfungsi selama dia berada di dalam lingkup otoritasnya. Anda tidak bisa menuntut minta dilayani pertama saat jajan bakso hanya karena anda pejabat, kenapa? Karena warung bakso tidak berada di dalam lingkup otoritas anda.
Namun tak jarang ditemukan seorang pejabat yang lupa daratan dan hobi menggunakan simbol otoritas (jabatan) nya dengan semena-mana. Biasanya ada dua ciri: Pertama, membawa jabatannya ke mana pun dia berada. Contohnya ya pengalaman saya bertemu anggota dewan yang telah saya ceritakan di atas.
Dan yang kedua, berbicara panjang lebar di luar bidang keilmuannya. Maka jangan heran bila suatu ketika anda bertemu seorang Dosen Sastra yang cerewet soal agama, bidang keilmuan yang sama sekali tidak dikuasainya.
Bila hanya sekelas dosen, tentu bukanlah hal yang krusial. Lha tapi kalau kasusnya setingkat yang terhormat Bapak Dr. Syahrul Yasin Limpo, S.H., M.H selaku Menteri Pertanian, ini, kan, repot jadinya. Menggegerkan dunia persilatan lantaran me-rilis Kalung Anti Virus yang diklaim mampu membunuh Virus Corona. Padahal jelas-jelas itu bukan wilayah ilmu yang selama ini dia tekuni.
Bahkan langkahnya begitu cermat. Bagaimana tidak, kalung tersebut sudah dipatenkan dan akan diproduksi secara masif pada bulan Agustus mendatang. Selain itu versi olesnya juga telah diwacanakan penerbitannya. Jangan-jangan dia telah nembusi Agnes Monica juga, untuk jadi model iklan produknya di media.
"Kalau disebut sebagai obat Anti Virus COVID-19 belum bisa. Apalagi kalau digunakan per-oral untuk obat tidak direkomendasikan karena jika dosis penggunaan tidak tepat akan berbahaya,” kata Suwijiyo Pramono, di salah satu artikel yang ditulis di Tirto.id. Dia adalah Guru Besar Fakultas Farmasi di UGM yang tergelitik oleh tingkah polah Pak Menteri Pertanian.
Bahwasanya simbol otoritas menteri dipakai untuk memuluskan urusannya pribadi, ok-lah, saya bisa memaklumi meski dengan berat hati. Tapi bila kebijakannya mengganggu kewarasan berbangsa dan bernegara, mbok ya tolong Pak Presiden, yang seperti ini di-reshuffle aja.